Topswara.com -- "Yah, sekarang masjid tambah sepi aja?"
Hamzah mengalungkan serban yang baru dipakainya sebagai sajadah. Ia mensejajari langkah pria berusia setengah abad.
"Ya, kamu tahu sendiri masyarakat di sini. Kalau mereka sudah termakan fitnah, mengembalikan kepercayaan mereka itu tak mudah."
Pak Mukhlis mengenakan sandal japit berwarna hijau putih. Hati-hati ia menuruni anak tangga yang cukup licin karena sisa air hujan semalam.
"Gara-gara kita mengadakan acara pengajian akbar pekan lalu?"
Hamzah memegangi lengan ayahnya.
"Iya. Ustaz yang kita undang dikabarkan masuk jajaran ustaz radikal. Bahkan, isi ceramahnya dipotong dan disebar dengan tuduhan macam-macam. Kamu pastinya sudah lihat kan?"
Pak Mukhlis menoleh pada putra sulungnya.
Hamzah mengangguk, "iya, hanya saja Hamzah tak habis pikir, mudah sekali masyarakat terpengaruh narasi-narasi tak menyesatkan semacam itu."
"Masyarakat kita awam Zah. Mereka tak mengerti duduk perkaranya. Itulah tugas kita, Nak, menyadarkan mereka bahwa apa yang mereka pahami itu salah," ucap Pak Mukhlis dengan menepuk pundak putranya.
"Iya, Yah, tugas berat."
"Tidak seberat di masa Rasulullah berdakwah di Makkah bukan?"
Pria setengah abad itu menoleh pada putranya. Ia ingin memastikan bahwa semangat dakwah putranya tidak luruh hanya karena halang rintang yang ada di hadapannya.
"Ayah bisa saja. Jelas bagai langit dan bumi tantangan dakwah kita dengan Rasulullah. Kita ini belum ada apa-apanya dibandingkan dengan beliau."
Pak Mukhlis mengangguk mantap.
"Rasulullah dulu pernah dituduh gila, penyihir, bahkan diancam secara fisik sampai yang paling berat adalah diboikot. Sedangkan kita, kalau tidak dituduh radikal, ya teroris, nyatanya tuduhan itu hanya narasi-narasi sesat yang tak bisa dibuktikan. Untuk ancaman fisik sementara ini mungkin hanya pelarangan aktivitas atau pembubaran."
"Betul," ucap Pak Mukhlis. Kakinya terpeleset plastik yang terserak di jalan. Beruntung Hamzah segera menangkap badan ayahnya yang hampir terjengkang.
"Hati-hati, Yah! Kita lanjutkan mengobrol di rumah saja biar bisa konsentrasi berjalan. Jalannya benar-benar licin."
Pak Mukhlis mengangguk. Lengan kanannya digandeng Hamzah. Mereka berdua berjalan beriringan.
Pintu rumah dibuka. Suara salam dari dua laki-laki beda usia terdengar nyaring. Aqila segera menjawab salam dan menoleh pada keduanya. Ia tergopoh-gopoh meletakkan Al-Qur'an yang dibacanya dan melangkah menyambut ayahnya yang berjalan pincang.
"Kenapa kaki Ayah, Mas?"
"Sedikit terkilir. Tadi, sempat terpeleset saat pulang dari Masjid. Jalanan licin."
"Ya Allah! Duduk dulu, Yah, Aqila ambilkan air hangat dan minyak urut untuk kakinya."
Aqila ikut memegangi ayahnya.
"Sudah. Kalian jangan terlalu khawatir. Istirahat sebentar juga sembuh," ucap Pak Mukhlis sambil merobohkan badannya di sofa ruang tamu.
"Tidak boleh meremehkan terkilir. Bahaya," ucap Aqila melenggang menuju dapur lalu kotak P3K.
Hamzah duduk di samping ayahnya, "Apa yang akan kita lakukan agar jamaah masjid ramai kembali, Yah?"
"Tak ada cara lain yang diajarkan Rasulullah selain bersabar dalam dakwah, Nak. Nanti, ayah bicarakan dengan anggota takmir yang lainnya. Sekarang banyak yang sakit, susah diajak koordinasi."
Aqila telah membawa baskom berisi air hangat dan dua cangkir jahe panas. Ia menyelipkan sebotol minyak urut di saku bajunya.
"Kakinya dimasukkan sini dulu, Yah biar rileks," pinta Aqila sambil meletakkan baskom di kaki dekat ayahnya. Ia lalu menghidangkan wedang jahe untuk kedua laki-laki yang ia banggakan.
"Dengar-dengar tadi perbincangan Mas Hamzah dan Ayah masjid jadi sepi. Kenapa, Yah?"
Pak Mukhlis menyeruput wedang jahe. Ia lalu bercerita tentang asal mula kenapa masjid yang tak jauh dari mereka dituduh masjid sesat. Aqila yang mendengarkan dengan seksama bergidik ngeri. Ia tak habis pikir dengan tujuan tuduhan miring penduduk sekitarnya.
"Kalian tak perlu bersedih jika masjid saat ini sedang sepi. Insyaallah jika kita tetap istikamah menyampaikan kebenaran, masjid akan ramai kembali. Ingat firman Allah dalam surat At-taubah ayat 18?"
"Hamzah hafal, insyaallah."
"Coba bacakan!"
Suara merdu pemuda bertilawah terdengar menggema. Setelah itu ia lanjut membaca artinya.
اِنَّمَا يَعْمُرُ مَسٰجِدَ اللّٰهِ مَنْ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَاَقَامَ الصَّلٰوةَ وَاٰتَى الزَّكٰوةَ وَلَمْ يَخْشَ اِلَّا اللّٰهَ ۗفَعَسٰٓى اُولٰۤىِٕكَ اَنْ يَّكُوْنُوْا مِنَ الْمُهْتَدِيْنَ
"Sesungguhnya yang memakmurkan masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta (tetap) melaksanakan salat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada apa pun) kecuali kepada Allah. Maka mudah-mudahan mereka termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk."
"Barakallah, nak. Inilah pedoman kita dalam meramaikan masjid. Jadi, yakinlah!"
Kedua anak Pak Mukhlis kompak mengangguk mantap.
Batu, 16 Maret 2022
Oleh: Choirin Fitri
(Sahabat Topswara)
0 Komentar