Topswara.com -- Menayangkan drama radikalisme seolah menjadi ‘end game’ dari pemerintah untuk menutupi masalah-masalah yang ada dan ketidakmampuannya dalam menangani permasalahan yang terjadi.
Standar pemerintah dalam memaknai kata radikalisme pun membebek pada standar yang digunakan Barat yaitu mengacu pada paham agama yang keras, intoleran, dan berujung pada terorisme.
Di tengah menumpuknya permasalahan di negeri ini, mulai dari minyak goreng yang mahal dan langka, kebijakan JHT, urgenitas pemindahan ibu kota yang dipertanyakan, harga daging sapi yang mahal, persyaratan BPJS untuk pengurusan administrasi, gerakan separatis oleh teroris KKB di Papua yang semakin banyak menelan korban jiwa, penistaan agama oleh Menteri Agama Yaqut Cholil, dan banyak lagi.
Pemerintah bukannya mengeluarkan solusi yang mutakhir, malah menurunkan instruksi melalui grup whatsapp agar mem-blacklist sejumlah nama dari penceramah yang berpotensi menyebarkan paham intoleransi dan radikalisme.
Dari sejumlah nama yang muncul di dapati beberapa penceramah yang sering mengamar makruf pemerintah yang kebijakannya menzalimi rakyat, seperti Felix Siaw, Ismail Yusanto, dan Abdul Somad.
Penceramah yang berani menyampaikan amar makruf pemerintah memang lebih digandrungi masyarakat saat ini. Karena masyarakat seperti mendapatkan tempat dan solusi dari menghadapi kebijakan-kebijakan pemerintah yang sering kali kontra terhadap kepentingan rakyat dan lebih berpihak pada kepentingan elite pejabat dan pengusaha atau kapitalis.
Ritme dari penayangan isu radikalisme ini pun selalu sama. Yakni di saat persoalan masyarakat sudah menumpuk. Lagi-lagi yang di senggol adalah Islam, ulama, dan kaum Muslim.
Inikah potret pemerintahan yang demokratis di negeri ini? Yang katanya menjunjung tinggi kebebasan beragama, dan berpendapat? Lalu mengapa hanya Islam dan umatnya saja yang selalu menjadi sasaran?
Inilah buah penerapan sistem kapitalisme global yang ikut mencengkeram negeri ini. Sistem yang legitimasinya materi, untung dan rugi, sistem yang asasnya pemisahan agama dari kehidupan bermasyarakat dan bernegara (sekularisme), sistem yang mengabaikan halal dan haram.
Justru kapitalisme-sekularisme inilah yang berbahaya karena telah merusak tatanan hidup di berbagai negara penganutnya. Negeri ini contohnya dengan mayoritas penduduk beragama Islam, pemerintah terus mengobok-obok norma-norma agama (Islam). Karena Islam memiliki aturan yang mengatur sistem pemerintahan, sehingga akan ada upaya masif untuk menggerus eksistensi agama di tengah-tengah masyarakat.
Agar masyarakat tak lagi peka terhadap kezaliman pemerintah dan mengikuti setiap tindak tanduknya atas dasar nasionalisme. Sehingga dapat disimpulkan bahwa isu radikalisme ini hanyalah pengalihan isu semata atas kesemerawutan permasalahan masyarakat yang gagal ditangani oleh pemerintah.
Padahal Islam tidak mengenal istilah radikal ataupun moderat dalam beragama. Allah SWT hanya memerintahkan manusia agar beriman dan bertakwa yang diwujudkan dalam berislam secara kaffah (keseluruhan). Artinya mengimani serta melaksanakan seluruh aturan Allah yang berisi perintah dan larangan atau syariat Islam.
Wallahu a’lam bishshawab.
Oleh: Vindy W. Maramis, S.S.
(Pegiat Literasi Islam)
0 Komentar