Topswara.com -- Pandemi Covid-19 hingga kini masih menyelimuti bumi Pertiwi, bahkan varian baru Omicron sudah mulai merebak di berbagai daerah. Hal ini berdampak pada perekonomian negeri yang kian sulit. Namun, dibalik masalah pandemi yang tak kunjung usai tersebut, nyatanya tidak menyurutkan tekat pemerintah untuk memindahkan Ibu Kota Negara.
Bahkan, Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) telah resmi disahkan menjadi undang-undang (UU). Pengesahan RUU itu disepakati dalam rapat paripurna DPR RI, Selasa (18/1/2022).
Dengan diresmikannya UU ini, rencana pemindahan ibu kota negara "Nusantara" dari Jakarta ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, kian nyata (kompas.com, 18/01/2022).
Pemindahan IKN seyogianya menjadi sorotan banyak pihak, terjadi pro dan kontra terhadap pengesahan UU IKN tersebut.
Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin berpandangan, anggaran pemindahan Ibu Kota Negara ( IKN ) Tahun 2022 yang akan mencatut anggaran Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) tidak tepat.
Menurut dia, kebijakan tersebut justru akan menimbulkan luka di hati masyarakat karena dilakukan di tengah pandemi Covid-19 yang masih mewabah.
"Mestinya, uang tersebut untuk rakyat yang terdampak Covid-19. Pemaksaan dana pemulihan ekonomi yang dialihkan untuk IKN, ini bisa melukai rakyat," kata Ujang saat dihubungi Kompas.com , Rabu (19/1/2022).
Hal tersebut jelas melukai hati rakyat, sebab kondisi rakyat seakan dikesampingkan oleh pemerintah. Pemerintah lebih memilih untuk memindahkan Ibu Kota Negara, padahal jika diperhatikan pemindahan IKN bukan menjadi masalah genting.
Hal ini jelas menjadi pertanyaan besar dalam benak rakyat. Mengapa pemerintah tetap ngotot ingin memindahkan IKN, padahal kondisi perekonomian negeri ini masih terpuruk, bahkan pandemi pun belum usai. Ditambah, banyaknya yang terkena Pemutus Hubungan Kerja (PHK). Sehingga, benarkah jika pemindahan tersebut demi kesejahteraan rakyat atau justru para elit dan segelintir pengusaha?
Terlebih kita ketahui, jika dalam sistem kapitalis peran negara seakan telah jauh panggang dari api. Negara tidak lagi berfungsi sebagai periayah rakyatnya, bahkan yang terjadi kebijakan-kebijkan yang diambil pemerintah kerap kali menjadi kado pahit bagi rakyat.
Saat ini pun terlihat, jika benar pemindahan IKN demi kepentingan rakyat, mengapa pemerintah tetap ngotot ingin melakukan pindah IKN, padahal banyak penolakan dari rakyat? apalagi hingga mencatut dana PEN. Padahal, dana tersebut dialokasikan untuk pemulihan ekonomi rakyat yang masih sulit akibat pandemi Covid-19.
Sehingga, benarlah kiranya jika pembangunan IKN ini lebih menguntungkan para elit politik yang bermain di dalamnya dan para penguasa, serta investor. Sebab, kita ketahui jika kawasan yang akan diproyeksikan sebagai IKN adalah kawasan yang sebelumnya sudah terpenuhi oleh izin-izin dan konsesi. Seperti pertambangan, kehutanan, perkebunan, PLTU, dan konsesi bisnis lainnya.
Sehingga, jelas yang diuntungkan dari proyek IKN baru adalah perusahaan-perusahaan pemilik konsesi karena menjadi penerima manfaat atas megaproyek ini.
Kemudian para investor, pembangunan IKN membutuhkan dana besar. Sehingga, Indonesia mau tidak mau nantinya jelas akan mengundang para investor untuk berinvestasi di dalamnya, sebagaimana pembangunan-pembangunan lainnya. Hal jelas sangat berbahaya, sebab investasi berbasis riba akan mengurus kewibawaan sebuah bangsa. Oleh karena itu, pemindahan IKN dalam situasi seperti ini akan membuat rakyat semakin sengsara.
Padahal, penguasa memiliki kewajiban untuk mengurus urusan rakyatnya dan membawanya pada kesejahteraan yang hakiki tanpa berpihak pada korporasi. Sebagaimana yang dicontohkan dalam Islam, para khalifah melayani rakyatnya dengan baik dan penuh kasih sayang, sebab rakyat adalah tanggungjawabnya. Satu orang rakyat kelaparan atau sengsara, maka dia akan dimintai pertanggungjawaban di sisi Allah kelak.
Lalu bagaimana dengan pemindahan ibu kota negara? Dikutip dari muslimahnews.net, pemerintahan negara Islam juga pernah memindahkan ibu kota negara khilafah sebanyak empat kali, mulai dari Madinah ke Damaskus, ke Bagdad, ke Kairo, terakhir ke Istanbul.
Alasan perpindahan ibu kota negara khilafah ke Bagdad adalah untuk kemaslahatan umat. Yaitu karena lokasinya strategis, air di sana tersedia sepanjang tahun, serta dan Bagdad menjadi kontrol atas rute perdagangan sepanjang sungai Tigris ke laut dan dari Timur Tengah ke Asia. Semua ini dilakukan bukan untuk ambisi penguasa atau kepentingan segelintir orang.
Perencanaan wilayah dan tata ruang kota di negara Islam juga diatur sedemikian rupa sehingga warga negara khilafah dapat mengakses masjid, sekolah, perpustakaan, taman, area komersial, dan lain-lain dengan mudah.
Semua itu berada tidak jauh dari tempat tinggal warga negara, bahkan dapat terjangkau dengan berjalan kaki. Semua fasilitas tersebut dibangun dengan kualitas yang standar dan merata sehingga tidak terjadi kesenjangan sosial.
Negara Islam juga menerapkan konsep kepemilikan yang khas. Terbagi menjadi tiga, yaitu kepemilikan individu, umum, negara. Pembagian ini adalah untuk kemaslahatan umat.
Kepemilikan individu (milkiyah fardiyah) atau disebut private property adalah hak individu memanfaatkan kekayaannya sesuai syariat Islam. Islam mengatur cara seseorang memperoleh harta yang diizinkan dan yang tidak diizinkan aeperti bekerja, waris, hibah, dll.
Kepemilikan umum (milkiyah ammah) atau public property adalah kepemilikan yang memiliki manfaat besar bagi masyarakat dan menyangkut hajat hidup orang banyak. Kepemilikan umum tidak dapat dikuasai perseorangan apalagi swasta. Negara juga tidak boleh menguasainya, melainkan mengelolanya untuk kepentingan umat. Contohnya, sumber daya alam, seperti air dan barang tambang.
Jenis kepemilikan ketiga adalah kepemilikan negara (milkiyah daulah) atau state property yang pada dasarnya adalah hak milik umum, tetapi hak pengelolaannya menjadi wewenang dan tanggung jawab negara/pemerintah. Contohnya, ganimah, fai, khumus, kharaj, jizyah, usyur, dan pajak.
Sehingga, dengan sistem Islam, maka dapat dipastikan jika rakyat akan sejahtera, sebagaimana gambaran pada masa Islam berjaya selama kurang lebih 14 abad silam. Rakyat bisa merasakan kesejahteraan yang hakiki.
Wallahu a'lam bishawwab
Oleh: Siti Komariah
(Freelance Writer)
0 Komentar