Topswara.com -- Belum lagi normal harga minyak goreng, kini masyarakat dihadapkan pada harga kedelai yang kembali melambung. Di pasaran harga kedelai mencapai Rp11.300,00 perkilogram.
Kenaikan harga kedelai ini mendapatkan reaksi dari perajin tempe dan tahu. Bahkan, perajin yang tegabung dalam Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu (Gakoptindo) mengancam akan mogok produksi pada 21 hingga 23 Februari 2022.
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menjelaskan dua penyebab harga kedelai impor mahal di Indonesia.
Penyebab pertama adalah cuaca buruk El Nina di Argentina, Amerika Selatan. Hal itu mengakibatkan harga kedelai per gantang naik, dari 12 dolar AS menjadi 18 dolar AS. Penyebab kedua adalah permintaan kedelai tinggi, terutama dari Cina (kompas.com, 19/02/2022).
Kedelai Mahal, Apa Penyebabnya?
Meski tahu dan tempe merupakan makanan populer bagi rakyat Indonesia, ironisnya bahan baku tempe dan tahu adalah produk diimpor. Bahkan kedelai termasuk komoditas nonlarangan terbatas (lartas).
Sebagai komoditas impor ketersediaan kedelai sangat bergantung pada pasokan negara pengekspor dan juga kurs rupiah terhadap mata uang negara yang bersangkutan.
Data Kementerian Pertanian menyebutkan sekitar 86,4 persen kebutuhan kedelai di dalam negeri berasal dari impor. Pada tahun 2020, Badan Pusat Statistik mencatat impor kedelai sebesar 2,48 juta ton dengan nilai mencapai US$ 1 miliar. Naik menjadi 2,49 juta ton kedelai dengan nilai mencapai US$ 1,48 miliar pada 2021.
Ada beberapa hal yang menyebabkan Indonesia harus mengimpor kedelai. Pertama, produksi kedelai dalam negeri yang rendah sehingga diperlukan impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Luas lahan panen kedelai dari tahun ke tahun terus menyusut akibat alih fungsi lahan pertanian ke sektor non-pertanian.
Kedua, kurang berminatnya produsen tahu tempe terhadap kedelai lokal. Kedelai impor lebih disukai produsen karena kualitasnya lebih bagus dari kedelai lokal.
Ketiga, petani menganggap budidaya kedelai tidak menguntungkan karena harga jualnya rendah. Sehingga petani lebih memilih menanam padi atau jagung.
Memang pemerintah melalui Kementan menargetkan peningkatan produksi kedelai di dalam negeri. Sehingga diharapkan mampu mengurangi ketergantungan terhadap kedelai impor. Sayangnya, program tersebut dipastikan akan sulit tercapai. Pasalnya, anggaran dipangkas akibat kebijakan refocusing karena pandemi Covid-19.
Sungguh sangat disayangkan, di negeri yang memiliki lahan yang sangat luas dan subur, rakyatnya justru memenuhi pangan dari impor. Ironisnya lagi, kebijakan impor tidak memberi keuntungan kepada perajin tahu tempe namun pengusaha importirlah yang mengeruk keuntungan. Inilah kenyataan yang terjadi akibat kebijakan pertanian dan perdagangan yang amburadul.
Islam Mewujudkan Swasembada dan Kestabilan Harga
Islam diturunkan dengan serangkaian hukum yang mampu mewujudkan swasembada pangan. Hal tersebut tampak dalam kebijakan politik pertanian yang dijalankannya. Pertama, kebijakan di sektor hulu untuk peningkatan produksi pertanian melalui ekstensifikasi dan intensifikasi. Intensifikasi pertanian dilakukan dengan menggunakan sarana produksi yang lebih baik. Untuk itu negara akan mengambil kebijakan memberikan subsidi bagi petani.
Subsidi ini diberikan dalam berbagai bentuk: baik modal, peralatan, benih, tekhnologi budidaya, pupuk, pemasaran dsb. Selain itu negara juga membangun infrastruktur pertanian, jalan dan komunikasi sehingga arus distribusi lancar.
Ekstensifikasi pertanian dilakukan dalam rangka memperluas lahan pertanian. Untuk itu negara harus menerapkan kebijakan yang dapat mendukung terciptanya perluasan lahan. Kebijakan tersebut berupa jaminan kepemilikan bagi yang menghidupkan tanah mati (ihya'ul mawat) dan pemagaran (tahjir).
Negara juga memberikan tanah pertanian (iqtha) yang dimiliki negara kepada siapa saja yang mampu mengelolanya. Negara juga bisa membuka lahan baru dengan melakukan rekayasa lahan seperti mengeringkan rawa yang pernah dilakukan Khalifah Umar bin Khattab di Irak.
Selain itu, negara juga memberlakukan kebijakan guna mencegah terjadinya alih fungsi lahan pertanian menjadi nonpertanian. Hanya lahan yang kurang suburlah yang diperkenankan untuk perumahan dan industri.
Kedua, kebijakan di sektor industri pertanian. Dalam hal ini negara hanya akan mengembangkan sektor riil. Sedangkan sektor non riil seperti bank ribawi dan pasar modal diharamkan oleh negara. Dengan kebijakan ini para pemilik modal akan menginvestasikan dananya di sektor riil. Baik di bidang pertanian, industri maupun perdagangan. Sehingga roda perekonomian terus berputar.
Di samping mewujudkan swasembada, syariat Islam juga mampu menjaga kestabilan harga pangan di pasaran. Untuk menjaga kestabilan harga, negara akan melakukan dua cara: pertama, menghilangkan distorsi pasar seperti penimbunan dan intervensi harga. Islam melarang keras penimbunan dengan menahan barang agar harganya naik.
Jika ada pedagang, importir atau siapapun melakukan penimbunan maka negara akan memaksa mereka untuk mengeluarkan barang tersebut ke pasaran dan bagi pelakunya akan dihukum.
Islam juga tidak membolehkan intervensi harga. Adanya asosiasi produsen, importir, pedagang dsb. Jika mereka melakukan kesepakatan harga untuk mengintervensi pasar maka itu termasuk yang dilarang.
Kedua, menjaga keseimbangan suply dan demand. Negara melalui lembaga pengendali semacam Bulog akan melakukan penyeimbangan. Melalui operasi pasar jika terjadi kekurangan suply, sebaliknya negara akan membeli hasil panen petani jika suply melimpah di pasar.
Demikianlah kebijakan Islam mewujudkan swasembada pangan dan kestabilan harga termasuk kedelai. Kebijakan di atas tentunya hanya akan bisa diwujudkan jika Islam diterapkan secara kaffah dalam bingkai khilafah.
Wallahu a'lam bishawab
Oleh: Atikah Ummu Tsabita
(Komunitas Muslimah untuk Peradaban)
0 Komentar