Oleh: Soelijah Winarni
(Sahabat Topswara)
Topswara.com -- Salam pancasila yang pertama kali disampaikan oleh ketua dewan pengarah Badan Pengarah Ideologi Pancasila (BPIP), Megawati Soekarno Putri di Istana Negara pada 12 Agustus 2017 telah menimbulkan gejolak reaksi penolakan di masyarakat khususnya kaum Muslim. Saat ini kembali dimunculkan oleh Yudian Wahyudi, Ketua BPIP yang semakin gigih memperjuangkan salam pancasila yang menurutnya sebagai jalan tengah dari salam berdasarkan agama yang beragam. Jadi bukan untuk mengganti salam umat Islam yaitu Assalamu'alaikum, melainkan salam dalam hubungan kemanusiaan (antaranews, 23/1/2022).
Bahkan salam pancasila akan dimasukkan dalam kurikulum pendidikan.
Argumentasi yang muncul adalah salam pancasila mampu menjembatani dan menjadi titik temu bagi rakyat tanpa melihat latar belakang apapun. Salam pancasila adalah perbuatan adat yang jika diniati ibadah akan mendapatkan pahala. Pengucapannya di ranah publik bertujuan agar bangsa Indonesia tetap bersatu, tidak pecah dan mendapatkan pahala dari Allah SWT.
Opini tersebut disampaikan kepala BPIP, saat menghadiri acara bedah buku karya dosen Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga di Yogyakarta, Khoirul Anam yang berjudul "Salam Pancasila sebagai salam kebangsaan, memahami pemikiran kepala BPIP Republik Indonesia (detiknews.com, 23/1/2022).
Opini tentang salam pancasila yang akan mengeliminasi salam agama (dalam hal ini agama Islam) dikatakan mengada-ada oleh pihak pengusung kebijakan. Namun, tentu harus diingat bahwa praktik politik sering berbeda dengan teori dan argumentasi. Maka ketika hal itu direalisasikan secara sistematis, tentu saja dapat menghapus salam berdasarkan keagamaan. Inilah yang harus diwaspadai dan ditolak pemberlakuannya karena patut dikhawatirkan karena targetnya untuk menafikkan salam keagamaan tersebut.
Faktanya sebuah bangsa memang terdiri dari berbagai suku, budaya dan keyakinan. Oleh karena itu mewujudkan persatuan, kerukunan maupun perdamaian yang menjadi cita-citanya tak mungkin hanya sekedar dengan salam tertentu saja. Melainkan dengan sebuah ikatan yang khas yaitu ikatan ideologis.
Hal tersebut telah dibuktikan dalam perjalanan sejarah peradaban gemilang Islam yang menyatu dalam ikatan ideologis mewujud dalam sebuah institusi negara Islam yang disebut Khilafah. Hal inilah yang mampu tidak saja menyatukan bangsa Arab namun juga mampu menyebar hingga di wilayah kekuasaan Persia dan Romawi.
Kekuasaan khilafah sangat luas meliputi multi bangsa, multi etnis dan multi budaya. Semuanya berakulturasi dalam ikatan akidah Islam hingga sejarah mencatat kekuasaan khilafah meliputi 2/3 dunia dan tegak berdiri 1300 tahun lamanya. Bagi mereka yang tetap memilih agama nonIslam maka khilafah membiarkannya. Bagi mereka yang menyatakan keislamannya, khilafah akan menerimanya. Keduanya diperlakukan sebagai warga negara hingga mereka mendapat jaminan dan kesejahteraan yang sama.
Namun ketika khilafah runtuh di tahun 1924, maka ikatan ideologis Islam-pun turut hancur hanya menyisakan ikatan akidah secara personal. Umat Islam khususnya kaum Muslim justru diikat oleh ikatan selain Islam. Mereka diikat dengan sebuah sistem kehidupan dari Barat yaitu sekuler kapitalis.
Sistem ini menjauhkan agama dari kehidupan. Manusia akhirnya menjadi pembuat hukum dan bebas menentukan jalan hidupnya sendiri.
Jelas saja ketika sistem sekuler kapitalis yang mengikat manusia saat ini dapat memicu timbulnya berbagai konflik, kesenjangan, perpecahan dan disintegrasi. Sebab aturan yang dibuat dan dilaksanakan pasti sarat kepentingan tertentu. Sistem sekuler menimbulkan ketidakadilan dan ketidaksejahteraan terutama dalam hal pemerataan ekonomi yang bisa berujung pada perpecahan wilayah.
Tentu saja, berbagai upaya penyatuan dalam sebuah bangsa akan mengalami kegagalan.
Maka tidaklah lain yang harus dipilih dalam mewujudkan harmonisasi berbangsa hanyalah dengan pengaturan Islam. Sebab sistem yang mengikat manusia yang hidup didalamnya adalah ikatan ideologis shahih yang berasal dari Allah, Sang Khaliq, Pencipta manusia dalam naungan khilafah.
Wallahu a'lam bishawab
0 Komentar