Topswara.com -- Siapapun tidak menyangkal jika para elite pemegang kekuasaan memiliki skandal yang semakin besar. Melihat realita ini pakar ekonomi senior, Faisal Basri memprediksi pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) – Ma’ruf Amin akan ambruk secara moral sebelum 2024.
Dia juga memproyeksikan mayoritas-mayoritas elite di lingkungan pemerintahan sudah tidak bisa menutupi skanda-skandal yang telah dilakukan. Hal itu disampaikan dalam WebinarIM57+ Institute bertema “Benturan Kepentingan dan Bisnis Pejabat : Dampak Kerusakan & Modus Operandinya” yang digelar secara daring, (Sabtu,29/1).
Selain itu Faisal juga memproyeksikan jika mayoritas elite sudah tidak bisa menutupi skandal-skandal yang telah dilakukan. Beliau melihat sudah pada situasi “critical moment”, dimana para oligarki ini sebetulnya mirip koalisi jahat.
Kalau koalisi jahat itu tidak langgeng, mereka akan saling buka-bukaan karena pembagiannya tidak merata. Lebih lanjut Faisal mengingatkan bahwa konflik kepentingan yang berbahaya adalah kala pejabat ikut berbisnis.
Menurutnya kekuatan negara dan korporasi di Indonesia sudah menyatu, sehingga Indonesia berpotensi menjadi despotic leviathan alias raksasa lalim yang memiliki kekuatan besar yang luar biasa. Artinya semakin kuat negara dan korporasi ini masyarakatlah yang akan dirugikan.
Terjadinya critical moment dan despotic leviatahan seperti yang dikatakan Faisal Basri adalah konsekuensi khas dari penerapan sistem buatan manusia.
Seperti yang diketahui perpolitikan saat ini dikendalikan oleh sistem sekuler demokrasi yang sudah bukan rahasia lagi biaya politik dalam sistem demokrasi sangatlah mahal.
Siapa yang bisa mengantarkan pemimpin meraih kursi kekuasaan menjadi tuannya, yaitu para cukong dan pemodal asing yang bisa membiayai biaya politik yang mahal. Akibatnya ketika penguasa berbayar sudah berkuasa mereka harus memberikan kemudahan pada pemodal untuk menguasai kekuasaan milik umat.
Pemimpin tidak berdaya dihadapan orang yang sudah membiayai aktivitas politiknya untuk meraih kekuasaan. Alhasil lahirlah peluang bagi pengusaha kaya mengendalikan, menguasai ataupun menjalankan ragam kebijakan ekonomi, politik maupun budaya dalam suatu negara.
Inilah yang disebut negara korporatokrasi atau dalam istilah ekonom senior Faisal Basri adalah “semakin menguatnya state dan market”. Dampak buruk dari korporatokrasi adalah lahirnya kebijakan dan peraturan perundangan yang hanya menguntungkan para pemilik modal. Merugikan rakyat banyak serta menindas ekonomi lemah di level global di depan bangsa-bangsa dunia korporatokrasi menampilkan diri seolah mereka sungguh-sungguh bekerja untuk demokrasi dan transparansi.
Namun korporatokrasi tetaplah kepemimpinan diktator yang imperialistik, mereka bisa melakukan apapun demi keuntungan bisnis mereka. Tidak peduli bila merugikan bahkan menghancurkan negara lain. Hal ini bisa dilihat dari kebijakan AS atas Irak beberapa tahun lalu. Atas dorongan Dick Cheney, CEO Halliburton kontraktor migas terbesar di dunia yang boleh disebut sebagai ikon korporatokrasi.
AS menyerbu Irak lewat alibi penghancuran senjata pemusnah massal. Padahal senjata tersebut pada kenyataannya tidak pernah ada dan akhirnya diakui memang tidak ada. Kini Halliburton bersama MNC lain khususnya di bidang konstruksi, seperti Bachtel menikmati keuntungan dari ladang minyak Irak dan proyek rekonstruksi di sana.
Di tengah penderitaan rakyat Irak yang terpaksa hidup di tengah kehancuran negara akibat inflasi AS. Sebuah tindakan keji yang didorong nafsu serakah korporat yang memegang kendali pemerintahan.
Dalam skala nasional terungkap setelah resmi dilantik pada 1 Oktober 2019, para DPR periode 2019-2024 sudah mulai bekerja dan dari 575 anggota DPR, 262 memiliki latar belakang sebagai pengusaha. Mereka tercatat memiliki saham, menjabat komisaris hingga menduduki kursi direksi di 1.016 perusahaan. Selain itu, bisnis mereka merambah sektor penyiaran, perdagangan umum hingga industri ekstratif.
Oleh karena itu pemerintah tidak cukup hanya mengkritik moral penguasa namun juga sangat penting untuk menyadari adanya kerusakan atau cacat bawaan pada sistem sekuler demokrasi.
Umat butuh sistem alternatif untuk menghentikan negara model korporatokrasi dan tidak ada sistem lain yang layak yang layak dijadikan sebagai alternatif kecuali sistem Islam yang disebut khilafah. Sebab kepemimpinan dalam khilafah di dasarkan pada perintah hukum syariat sebagaimana Rasulullah SAW bersabda: “ Imam (khalifah) adalah ra'in (pengurus rakyat dan Ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya”. (HR Al-Bukhari)
Perintah inilah yang membuat arah perpolitikan Islam selalu berpihak pada rakyat. Karena tujuan politiknya adalah untuk mengurusi urusan rakyatnya. Pemimpin dipilih umat untuk menjalankan syariat ketika berkuasa.
Oleh karena itu, dalam khilafah tidak ada ruang bagi korporat membeli penguasa yang akan mereka jadikan pion. Alhasil khilafah sangat memprihatinkan rakyatnya dan kepentingan mereka menjadi skala prioritas.
Hal ini tampak jelas dari sekian kisah pemimpin dalam Islam. Diantaranya, ada seorang khilafah rela memanggul bahan makanan pokok pada rakyat yang sangat membutuhkan karena beliau menyaksikannya sendiri ada rakyatnya yang tidak memiliki bahan makanan untuk dimasak.
Dalam kisah yang lain ada seorang khalifah yang enggan menggunakan fasilitas negara untuk urusan pribadi. Sungguh hanya dalam kepemimpinan khilafah rakyat menjadi prioritas penguasa bukan para pengusaha.
Wallahu a'lam bishawwab
Oleh: Lesa Mirzani, S.Pd.
(Sahabat Topswara)
0 Komentar