Topswara.com -- Isu tentang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kembali meningkat. Hal ini bermula dari sebuah
potongan video ceramah Ustadzah Oki Setiana Dewi yang diklaim menormalkan perbuatan KDRT.
Dalam video ceramahnya tersebut, Oki berbicara soal seorang istri yang baru saja dipukul suaminya. Namun, Oki mengatakan istri tersebut tidak menceritakan tindakan suaminya ketika orang tuanya datang berkunjung. Ceramah itu kemudian mengundang kritikan. (detik.com, 5/02/2022)
Salah satu kritik datang dari Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah, beliau menyesalkan ceramah yang berisi anjuran untuk tidak menceritakan kekerasan dalam rumah tangga atau kekerasan terhadap istri yang dialami perempuan kepada orang tuanya.
Dari ceramah itu, ada tiga poin yang dikritisi, yaitu, pertama, tidak masalah suami memukul istri. Kedua, istri tidak boleh menceritakan kekerasan yang dialaminya karena merupakan aib rumah tangga. Dan ketiga, tidak mempercayai korban dan menilai dilebih-lebihkan.
KDRT sebenarnya bukan suatu hal yang baru. Konsep ini dipopulerkan oleh kaum feminis dengan ide kesetaraan gendernya. Di Indonesia, konsep ini berhasil masuk dalam ranah perundang-undangan, yaitu
dalam UU 23/2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT).
Penerapan UU ini ternyata tidak membuat kasus-kasusnya berhenti. Alih-alih menjadi solusi, penerapannya justru menimbulkan persoalan baru. Dalam beberapa kasus berakhir dengan pemenjaraan terhadap suami.
Tindakan KDRT seperti memukul, menampar, dan sebagainya, biasanya diawali dengan pertengkaran yang dipicu banyak hal. Misalnya masalah ekonomi, hubungan suami istri yang tidak harmonis, adanya orang ketiga, dan lainnya.
Kaum feminis yang mengusung ide kesetaraan gender memandang bahwa akar masalah KDRT adalah adanya ketaksetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga. Posisi laki-laki sebagai pemimpin bagi perempuan dipandang menjadikan perempuan berada di bawah kekuasaan laki-laki. Inilah yang menjadikan perempuan sebagai pihak yang lemah sehingga menjadi korban kekerasan laki-
laki.
Tentu ini cara berpikir yang salah. Jika demikian halnya, bagaimana dengan kepemimpinan lainnya, seperti kepemimpinan organisasi, perusahaan, atau bahkan negara? Apakah ini berarti setiap pemimpin pasti akan melakukan tindakan otoriter terhadap yang dipimpinnya? Jelas tidak.
Pada dasarnya, akar masalah KDRT bukan karena kepemimpinan suami, tetapi karena tidak adanya penerapan aturan yang benar yang mengatur hubungan antara suami dan istri, hubungan antara
seorang pemimpin dan orang yang dipimpinnya.
Aturan tersebut adalah aturan Islam, aturan yang berasal dari Allah SWT. Hanya dengan penerapan aturan Islam yang bisa mewujudkan keluarga yang sakinah, mawadah, wa rahmah, jauh dari pertengkaran, apalagi sampai berakhir dengan kekerasan.
Islam memiliki aturan paripurna terkait kehidupan berumah tangga sekaligus solusi terhadap berbagai masalah yang menimpa. Islam menetapkan bahwa kehidupan rumah tangga adalah kehidupan persahabatan.
Pergaulan antara suami dan istri adalah pergaulan persahabatan, yaitu yang dapat memberikan kedamaian dan ketenteraman satu sama lain. Demikianlah yang Allah tetapkan (lihat QS. Al-A’raf [7]: 189, Ar-Rum [30]: 21)
Agar persahabatan suami istri menjadi persahabatan yang damai dan tenteram (sakinah), syariat Islam menjelaskan hak istri atas suaminya dan hak suami atas istrinya. Hal ini sebagaimana firman Allah, “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf.“ (QS Al- Baqarah[2]: 228)
Dalam rumah tangga Rasulullah SAW., beliau merupakan sahabat karib bagi istri-istrinya, bergaul dengan mereka dengan pergaulan yang sangat baik. Diriwayatkan bahwa beliau saw. bersabda, “Orang yang
paling baik di antara kalian adalah yang paling baik kepada keluarga (istri)nya. Dan aku adalah orang yang paling baik terhadap keluarga (istri) ku.” (HR Al-Hakim dan Ibnu Hibban dari jalur Aisyah ra.)
Rasulullah SAW. pernah bertanya kepada seorang wanita, “Apakah engkau sudah bersuami?” Wanita itu menjawab, “Ya.” Beliau lantas bersabda, “Sesungguhnya ia (suamimu) adalah surga atau nerakamu.”
(HR Al-Hakim dari jalur bibinya Husain bin Mihshin) Selain itu, penerapan hukum Islam dalam keluarga tidak bisa hanya oleh individu-individu keluarga Muslim, melainkan juga butuh kontrol masyarakat dan adanya peran negara.
Kontrol masyarakat terwujud dengan mendakwahkan Islam kepada keluarga keluarga muslim yang ada di sekitar kita sehingga mereka paham dan mau menjalankan aturan tersebut. Ketika terjadi pertengkaran, kita bisa menasihati keduanya (suami istri) agar menjadikan Islam sebagai acuan dalam menyelesaikan semua problem rumah tangga.
Sedangkan negara berperan penting untuk menerapkan syariat Islam kaffah dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk aturan keluarga. Penerapan Islam kaffah akan mewujudkan masyarakat yang
sejahtera, aman, dan damai, serta akan menciptakan lingkungan yang sangat kondusif bagi terwujudnya keluarga muslim yang taat syariat.
Saat istri berusaha mentaati suaminya, maka suami harus bersikap ramah dan toleran serta lembut dalam meminta sesuatu dari istrinya.
Ketika terjadi pelanggaran syariat Islam, seperti tindakan kekerasan suami yang mengancam keselamatan, Islam menetapkannya sebagai tindak kejahatan (jarimah). Untuk itu, negara akan
menerapkan sistem sanksi Islam yang akan menghukum para pelakunya dengan hukuman berat sesuai ketetapan Islam.
Sanksi yang diberikan Islam akan membuat pelaku kejahatan menjadi jera dan mencegah siapa pun bertindak serupa. Sanksi tersebut pun tidak akan berpengaruh bagi perekonomian keluarga karena negara akan menjamin penuh semua kebutuhan hidup mereka.
Demikianlah aturan dalam Islam menjadi solusi terhadap persoalan KDRT. Inilah solusi terbaik karena berasal dari Allah SWT., Sang Khalik yang mengetahui segala yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya.
Sudah seharusnya kita menjadikan Islam sebagai satu-satunya solusi dalam seluruh masalah umat, bukan solusi kesetaraan gender ataupun solusi lainnya. Wallahua'lam bish-shawwab.
Oleh: Mesi Tri Jayanti, S.H.
(Sahabat Topswara)
0 Komentar