Topswara.com -- Pasca jatuhnya ibukota Kabul di Afghanistan, kelompok Taliban berjanji akan membentuk pemerintahan Islami yang inklusif, melindungi hak perempuan dan kebebasan pers, serta menjadi lebih moderat. Respon masyarakat dunia dan ahli pun menjadi beragam, mulai dari skeptis hingga tak sedikit yang optimis.
Negara itu sudah cukup lama dirundung konflik tak berkesudahan. Masyarakat Afghanistan yang mengalami perang dan konflik berkepanjangan dianggap sebagai kelompok yang rentan, terutama pada perempuan dan anak-anak.
Dilansir dari Republika.co.id (16/1/22), Puluhan perempuan Afghanistan kembali menggelar demonstrasi menuntut pemenuhan hak-hak mereka di bidang pekerjaan dan pendidikan kepada pemerintahan Taliban.
Mereka meneriakan “kesetaraan dan keadilan” seraya membentangkan spanduk bertuliskan “hak-hak perempuan dan hak asasi manusia (HAM)”. Respon yang diberikan dari anggota Taliban terhadap pendemo tidak sesuai harapan.
Sejak mengambil alih kekuatan di Afghanistan, Taliban belum memenuhi janjinya terkait pelindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan Afghanistan. Taliban justru memperkenalkan peraturan yang mengekang aktivitas perempuan.
Selain itu ada juga fakta yang menyayat hati bahwa sulitnya bertahan hidup di Afghanistan, apalagi bagi perempuan, misalnya, yang dialami Zaigul seorang ibu rumah tangga berusia 32 tahun dari Nangarhar yang tinggal di pengungsi internal di dekat ibu kota Kabul.
Zaigul, seperti jutaan orang Afghanistan lainnya tidak punya pekerjaan, kehilangan sebagian besar kebutuhan dasar, makanan, baju hangat dan peghangat ruangan. Rumah satu kamar Zaigul kosong kecuali beberapa kasur usang yang diletakkan di atas lantai semen yang dingin.
Di sudut berdiri kantong tepung kosong di sebelah oven berkarat yang dia gunakan untuk memanggang roti di malam hari. Sementara suaminya, Nasir bekerja sebagai buruh bangunan demi menghidupi tujuh anak-anak mereka, kini tidak lagi bekerja.
Hal ini terjadi karena sebagian besar kegiatan ekonomi terhenti sejak runtuhnya pemerintahan Presiden Ashraf Ghani yang didukung Barat dan penarikan pasukan Amerika Serikat (AS) dari negara itu pada Agustus lalu (merdeka.com, 15/1/22).
Kondisi yang dialami Zaigul tidak hanya menimpanya melainkan jutaan orang Afghanistan mengalami hal yang sama. Sejak Taliban kembali berkuasa, Afghanistan telah terjun ke dalam krisis ekonomi yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, di mana bank-bank kehabisan uang tunai dan para pegawai negeri tidak pernah digaji selama berbulan-bulan.
Sektor keuangan dan perbankan yang semakin melemah karena International Monetary Fund (IMF) mematikan akses pendanaan ke Afghanistan.
Imbasnya, ekonomi publik pun ikut terdampak, terutama pada orang-orang dengan pekerjaan di kelas menengah. PBB menyampaikan, sekitar 22 juta orang, lebih dari setengah populasi Afghanistan, menghadapi kelaparan akut.
Diperlukan bantuan hampir US$ 5 miliar untuk mencegah bencana kemanusiaan di Afghanistan. Permasalahan Afghanistan makin memburuk dengan terus membesarnya tekanan opini dan penghapusan bantuan internasional.
Malang nian nasib masyarakat Afghanistan, berharap dengan adanya pendudukan Taliban akan menerapkan Islam yang membawa kemakmuran justru praktik nyatanya tidak sesuai yang diharapkan. Perasaan masyarakat Afghanistan bercampur aduk.
Ketidakpastian praktik Islam yang tidak utuh oleh rezim ini menjadi celah menekan Afghanistan agar lepas dari keterikatan Islam. Sehingga memiliki efek yang sangat buruk tidak hanya pada sektor pendidikan, tetapi terhadap kelangsungan kehidupan sosial ekonomi dan budaya di Afghanistan.
Padahal Afghanistan merupakan salah satu negara Muslim yang memiliki beragam potensi baik itu SDM maupun SDA. Potensi-potensi yang dimiliki negara islam ini di antaranya:
Pertama, potensi demografi. Secara demografi, Afghanistan jumlah penduduknya 37.135.000 juta jiwa, merupakan 1 dari 57 negara muslim yang tergabung dalam OKI berdasarkan data Wikipedia per 19 Juni 2019 sebanyak 1.810.399.0704. Jumlah ini belum termasuk Muslim yang tinggal di negara-negara non OKI seperti Cina dan India.
Jika jumlah penduduk tersebut bersatu di bawah payung khilafah islamiyah tentu ini merupakan kekuatan luar biasa. Jumlah penduduk yang besar ini bisa menjadi kekuatan yang besar baik secara politik maupun ekonomi jika dikelola dengan baik. Jumlah penduduk yang besar merupakan pasar potensial bagi produk-produk industri.
Kedua, potensi ideologis. Pada saat Bush Junior akan menyerbu Afganistan, ia menyatakan bahwa perang tersebut merupakan perang peradaban. Musuh ideologi AS adalah islam, sehingga menjadi ancaman bagi AS bila Afghanistan yang merupakan negeri muslim ini, menjadi negara khilafah islamiyah.
Potensi Ideologis inilah yang dipandang sebagai ancaman oleh negara kafir imperialis. Bangkitnya Islam politik di Afghanistan maupun berbagai negeri Muslim termasuk Indonesia merupakan ancaman terbesar yang mampu merusak intervensi AS, Cina dan Eropa untuk terus menjajah dan mengekploitasi negeri-negeri Muslim.
Ketiga, ekonomi dan sumber daya alam. Afghanistan dikenal negara Muslim yang kaya dengan tambang dan sumber daya alam. Berdasarkan penyelidikan geological yang dilakukan sepuluh tahun lalu di AS, diperkirakan total nilai tambang dan SDA Afghanistan adalah US$ 1.000 miliar (Rp. 14.388 triliun).
Terdapat beberapa diantaranya masih ada tambang utuh dengan energi ‘harta karun’ lain yang jumlah hampir US$ 3 triliun atau setara dengan Rp. 43.163 triliun (kurs dolar Rp. 14.387) (finance.detik.com, 16/8/2021).
Adapun beberapa SDA yang dimiliki Afghanistan diantaranya adalah emas, minyak, gas alam, uranium, bauksit, batu bara, biji besi, logam tanah jarang, lithium, kromium, timah, seng, batu permata, bedak, belerang, travertin, gipsum, hingga marmer (cnbcindonesia.com, 23/8/2021).
Sungguh kaya negeri Muslim ini jika dikelola dengan baik dan mandiri tentu dengan aturan Islam kaffah. Maka akan menuntaskan permasalahan ekonomi negerinya. Sama halnya dengan Indonesia, negara yang melimpah SDA tak serta-merta menjadikan rakyatnya sejahtera. Lantaran SDA dikelola asing dan swasta. Padahal pengelolaan SDA telah diatur dalam sistem ekonomi islam. Sebagaiamana hadis Rasulullah SAW, “Manusia berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput dan api.” (HR. Abu Dawud).
SDA yang merupakan kekayaan milik umum, yaitu api (bahan tambang), air dan padang rumput (lahan) wajib dikelola oleh negara dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat. Dengan demikian pemasukan negara akan bertambah dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat seluruhnya, baik warga Muslim maupun nonmuslim tanpa diskriminasi. Sistem ekonomi Islam ini hanya dapat diterapkan secara sempurna dalam naungan negara khilafah islamiyah.
Keempat, potensi geopolitis. Afghanistan merupakan negara yang menjadi penyekat diantara sekumpulan kekuatan besar di wilayah Asia Tengah. Afghanistan adalah negara yang menjadi penghalang antara Rusia dan anak benua India.
Negara ini mengahalangi Rusia untuk mencapai perairan hangat di Samudera Hindia dan Laut Arab. Kondisi geografis Afghanistan yang amat sensitif serta keberadaannya sebagai negara yang tidak punya akses ke laut (Lockland), menempatkan Afghanistan sebagai negara tempat pijakan, lalu lintas dan pintu gerbang bagi setiap peperagan dan para penakluk di benua Asia.
Pasukan besar seperti Jengiskhan, Turki, India maupun persia pernah melintas negara Afghanistan. Selain itu, stategisnya posisi Afghanistan sangat dibutuhkan sebagai jalur minyak bumi dan gas dari Asia Tengah yang menyusuri Afghanistan menuju Pakistan.
Lalu mengarah keberbagai pelabuhan yang dibangun di sepanjang pantai Samudera Hindia maupun laut Arab. Karena pengaruh jalur minyak bumi itulah yang menempatkan Afghanistan bagaikan magnet bagi AS, yang selalu berusaha mengitervensinya.
Menjadi rahasia umum adalah bahwa konflik yang terjadi di Afghanistan sesungguhnya tidak terlepas dari intervensi negara Barat seperti Amerika, Inggris dan lainnya yang memiliki kepentingan untuk mengambil keuntungan dari konflik tersebut.
Melihat kemenangan Taliban tidak diraih secara mandiri melainkan diraih dari perjanjian Doha pada 29/2/2020. Melalui kesepakatan antara AS era Presiden Trump dengan Taliban ini, sehingga AS bersedia menarik pasukan dari Afghanistan serta membiarkan Taliban berkuasa tentu dengan syarat tertentu. Salah satunya yakni kekuasaan Taliban tidak akan mengancam eksistensi AS secara global seperti era sebelumnya.
Karenanya, menjadi jelas bagi kita bahwa selama Afghanistan maupun negeri Muslim lainya masih berkompromi dan meberikan kepercayaan dengan kafir penjajah, maka tidak akan ada kata sejahtera lantaran terus berada dalam kendali musuh dan menjadi negara boneka kafir penjajah. Sebab, orang-orang kafir tidak akan pernah menginginkan kebaikan untuk umat islam.
Sebagaimana firman Allah SWT, yang artinya: "Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu." (TQS al-Baqarah [2]: 120).
Terbukti salah satu isi perjanjian Doha adalah terkait dengan kontra terorisme, bahwa Taliban menjamin Afganistan tidak menjadi pusat kelompok teroris yang mengancam kepentingan AS dan sekutunya. Bukan hanya penjajahan yang dilakukan Barat untuk membendung kebangkitan Islam.
Barat pun menggunakan Taliban untuk memonsterisasi Islam. Terutama isu hak-hak perempuan yang terenggut, seperti hak terlibat dalam aktivitas publik dan kebebasan dalam bertingkah laku. Hingga munculnya fenomena seperti Bacha Posh (anak perempuan berperilaku seperti anak laki-laki untuk mendapat akses pendidikan) (nationalgeographic.co.id, 20/8/2017), dan Bacha Bazi (memperjual-belikan anak laki-laki) (bbc.com, 11/8/2020), sehingga fenomena ini mengakibatkan krisis identitas pada diri mereka kerap dialami anak-anak Afghanistan.
Dengan demikian, semestinya perempuan Afghanistan tidak terprovokasi opini Barat, semisal yang diaruskan aktivis feminisme seperti memperjuangkan kesetaraan gender, HAM dan sebagainya.
Saatnya muslimah Afghanistan bersatu untuk menuntut pemberlakuan Islam secara kaffah karena kesulitan hidup mereka akan terurai dengan tegaknya Islam kaffah dalam naungan negara khilafah Islamiyah. Saling membersamai dalam jamaah dakwah ideologis untuk membina umat dengan pemikiran ideologis.
Pemikiran ideologis yang telah dicontohkan Rasulullah dalam mewujudkan kebangkitan. Pemikiran ini yang akan membentuk kesadaran politik di tengah umat. Kesadaran ini pula yang akan mengantarkan pada terwujudnya kemenangan hakiki, yaitu terbentuknya peradaban Islam.
Kita pun harus meyakinkan umat bahwa tampilnya Islam sebagai peradaban dunia merupakan sebuah keniscayaan. Sebagaimana janji Allah dalam Al-Qur'an surat An-Nur ayat 55, yang artinya: “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal shaleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi,….”.
Keyakinan inilah yang akan medorongnya untuk terus bergerak dan terus melangkah hingga cahaya Islam itu bersinar, tidak lama lagi. Jalan syar’i inilah sebaik-baik jalan yang semestinya diambil oleh seluruh umat Islam yang sedang memperjuangkan kembalinya Islam sebagai mercusuar dunia.
Wallahu a'lam bishawab
Oleh: Saidawati, S.Pd.
(Aktivis Dakwah Kampus dan Mahasiswi)
0 Komentar