Topswara.com -- Demi mewujudkan ketahanan pangan nasional, pemerintah terus berupaya melakukan terobosan melalui pengembangan kawasan food estate holtikultura berbasis korporasi. Saat ini lokasi pengembangan dipersiapkan di kawasan Solokanjeruk Kabupaten Bandung seluas 4,5 hektare dari luas lahan lima hektare yang sudah dibebaskan dari masyarakat.
Menurut DR Ir. H. A Tisna Umaran, M.P., selaku Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Bandung, bahwa Kabupaten Bandung telah ditetapkan sebagai pilot project utama pusat bisnis dan edukasi kopi Indonesia. Penetapan tersebut dilakukan pemerintah pusat melalui Kementrian Pertanian RI sejak tahun 2019 lalu, dengan anggaran dari APBN sebesar 117 miliar. Pada tahap awal 2022 akan digulirkan anggaran senilai 50 miliar rupiah, dan selanjutnya akan dilakukan secara bertahap pada tahun 2023. (pikiranrakyat.com)
Para petani skala kecil nantinya akan dikorporasi menjadi usaha yang besar. Korporasi petani sendiri rencananya ditujukan untuk memperkuat kawasan food estate, di samping memberikan nilai tambah kepada para petani dan usaha tani, sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan para petani.
Sekilas korporasi menjanjikan prospek lebih baik bagi para petani, yang selama ini banyak permasalahan yang dihadapi mereka. Pemasaran hasil pertanian, kekurangan modal, fluktuasi harga, mahalnya harga bibit dan pupuk, serta teknologi.
Melalui korporasi petani, diharapkan kesulitan yang dihadapi akan tersolusikan di bawah kontrol pemerintah. Tapi sayang, jika pembiayaannya melalui mekanisme kredit yang mengandung riba, dan ternyata melibatkan investasi baik swasta maupun asing, maka sudah dipastikan terlibatnya mereka dalam pendanaan demi keuntungan, begitupun pemerintah. Kalaupun para petani mendapat keuntungan, yang jelas berada di bawah pengendali pemerintah maupun para investor.
Semua kemudahan yang dijanjikan bukanlah cuma-cuma tapi harus ditebus atas nama kredit. Kata meringankan terlebih menyejahterakan hanya sebatas angan. Hari ini yang sulit sejahtera bukan hanya para petani. Buruh dengan seperangkat undang-undang yang menzalimi, sempitnya lapangan kerja, tingginya biaya hidup, pungutan berbagai pajak, pinjaman riba, sulitnya bantuan pemerintah. Semuanya menjadi pendukung sulitnya masyarakat mencapai kesejahteraan.
Inilah kenyataan hidup di bawah pengaturan kapitalisme global. Tenaga petani, maupun buruh dieksploitasi demi memenuhi keserakahan para oligarki yang didukung penguasa. Merekalah yang akan menangguk keuntungan besar bukan para petani.
Kebijakan pertanian dalam sistem kapitalisme sangat berbeda dengan sistem Islam. Pentingnya kebutuhan akan hasil pertanian untuk keberlangsungan hidup manusia telah mendapatkan perhatian khusus yang tidak boleh diabaikan.
Dalam sistem Islam ada yang disebut diwan 'atha (biro subsidi) dalam baitul maal yang disediakan untuk menjamin kebutuhan para petani baik berupa modal, peralatan, teknologi, teknik budidaya, obat-obatan, research, pemasaran, informasi, dan yang lainnya, baik secara langsung ataupun semacam subsidi.
Bantuan negara begitu meringankan dan menghilangkan beban para petani. Karena bagi yang benar-benar kesulitan baik modal maupun yang lainnya akan diberikan secara gratis. Sedangkan bagi yang berkemampuan akan dipinjamkan dengan angsuran sesuai kemampuan dan bebas riba.
Pemimpin yang dibebankan amanah mengurusi rakyat mewujudkan tugasnya tanpa pertimbangan untung rugi seperti dalam kapitalisme. Segala kesulitan petani tidak akan diserahkan solusinya kepada para oligarki. Tidak butuh korporasi petani yang menjanjikan kesejahteraan semu.
Kesulitan para petani hari ini bukan hanya masalah yang sudah disebutkan di atas. Sempitnya lahan pertanian karena alih fungsi lahan yang tidak terkendali, menambah kesulitan yang sudah ada. Dalam Islam hal ini tidak tidak akan ditemukan, sebab Allah SWT telah menciptakan jenis tanah sesuai fungsinya.
Tidak dibenarkan tanah yang subur untuk pertanian menjadi perumahan ataupun pabrik-pabrik sehingga mempersempit lahan pertanian. Sebaliknya jika tanah pertanian yang sudah ada terbatas maka negara akan membuka lahan baru. Seperti mengeringkan rawa, dan merekayasanya menjadi lahan pertanian, lalu dibagikan kepada rakyat yang mampu mengolahnya. Sebagaimana pernah terjadi di masa kepemimlinan Khalifah Umar di Irak.
Pengaturan negara berdasarkan akidah Islam. Bukan hanya petani yang diberikan peluang hidup sejahtera, tetapi semua rakyat diberikan kesempatan yang sama. Mencari penghidupan bukan hanya dengan bertani, tetapi banyak macamnya, contohnya berdagang. Di masa kepemimpinan Rasulullah SAW ada seseorang yang mampu berjualan tetapi tidak memiliki modal. Kemudian Rasulullah memberikan pinjaman modal dari baitul maal, dan ketika sudah berkemampuan mengembalikan baru dibayar.
Kesejahteraan dan ketahanan pangan selama berada di bawah pengaturan kapitalisme akan sulit tercapai. Faktanya kita saksikan saat ini. Kemiskinan bertambah, impor semakin menggelontor, lahan pertanian kian sempit, negara berada dalam cengkeraman para kapital.
Fakta di atas adalah konsekuensi logis dari penerapan kapitalisme. Negara menjadi bancakan para pemodal kuat. Untuk mengakhiri semua itu meniscayakan pengaturan negara berdasarkan syariah kaffah, yang sudah terbukti menyelamatkan manusia dari kezaliman menuju kehidupan yang penuh barakah, dunia hingga akhirat.
Wallahu a'lam bishawwab
Oleh: Samratul Ilmi
(Aktivis Dakwah)
0 Komentar