Topswara.com -- Seharusnya masa dua tahun pandemi yang telah banyak menguras air mata, tenaga, dan materi ini, cukup bagi kita untuk banyak belajar berempati, berbagi dan saling mendukung.
Namun ternyata justru saat pandemi tak sedikit terbentuk manusia egois, serakah, mau untung sendiri. Fakta 'panic buying' dan kartel minyak goreng menjadi bukti semua itu, lalu mengapa hal ini bisa terjadi?
Fakta Panic Buying Bikin Pusing
Fenomena panic buying bukan kali ini saja terjadi. Bukan hanya terjadi pada komoditi minyak goreng saja, terhitung selama pandemi lebih dari tiga kali terjadi panic buying, dari mulai masker, hand sanitizer, temulawak hingga susu beruang, bahkan adanya indikasi penimbunan barang.
Kini kembali terjadi pada komoditi strategis minyak goreng. Panic buying adalah tindakan membeli sejumlah besar produk atau komoditas tertentu, karena takut kekurangan atau terjadi kenaikan harga di waktu yang akan datang. (Kompas.com, 22/1/2022)
Ketika harga minyak goreng menggarang sejak September 2021, karena alasan kebutuhan meningkat, sementara pasokan bahan baku menurun, rakyat menjerit. Pemerintah akhirnya memberlakukan kebijakan minyak goreng dengan satu harga di seluruh Indonesia, sebesar Rp 14.000 per liter, walhasil warga membludaki toko dan waralaba untuk mendapatkan minyak goreng 'murah'. Operasi pasar ini menurut Kemendag, akan dibuka enam bulan lamanya.
Namun tetap panic buying tidak bisa dihindarkan semua toko langsung kehabisan stok minyak goreng. Bahkan sebagian besar masyarakat tidak kebagian. Walau aksi borong Minyak Goreng Satu Harga Rp 14.000 diancam Denda 5 Milyar! Rakyat tak peduli (kompas.com, 23/1/2022)
Tak berbeda dengan Jakarta dan kota-kota besar di Jawa, di wilayah lain seperti yang diberitakan Banjarmasin post, Minyak goreng satu harga Rp 14 ribu di retail modern langsung ludes. Memang akan ada pasokan ke pasar tradisional sejak kemarin, minyak goreng satu harga 14 ribu dengan merek Alif. Namun ini masih masa transisi, recovery dari harga lama ke baru," kata Birhasani, Minggu (23/1/2022).
Sungguh miris dan ironis kalau kita berkaca. Melihat wajah negeri zamrud khatulistiwa ini, karena ternyata salah satu untaian zamrud hijau negri ini adalah melimpahnya sawit sebagai bahan baku utama minyak goreng di negeri ini. Namun mengapa rakyatnya kesulitan mendapat minyak goreng?
Di saat harga CPO dunia kini melesat naik, siapa yang ambil untung? Siapa yang begitu tega dan zalim memanfaatkan kesulitan hidup rakyat kecil?
Panic Buying Wujud Keserakahan Kapitalisme
Egoisme individu rakyat dan keserakahan para pengusaha dan penguasa adalah pemandangan sejati alam kapitalisme yang materialistik dan liberalistik. Saat terjadi aksi panic buying pasti akan terjadi ketidakadilan dan distribusi kebutuhan yang tidak merata.
Lihat saja, rakyat miskin di daerah, bagi mereka yang penghasilannya pas-pasan harga 14 ribu tentu masih cukup mahal dari harga normal sebelum terjadi kenaikan 11 rb/liter, mereka pasti lebih mengutamakan membeli beras.
Di sisi lain tak semua warga memiliki akses yang mudah ke waralaba seperti Indomaret atau Alfamart. Berbeda dengan mereka kelas menengah keatas yang bisa memborong. Rakyat kecil yang tak kebagian jauh lebih banyak.
Puncak keserakahan kapitalisme dalam tata kelola sawit dan minyak goreng dilakukan oleh para konglomerat dan oligarki perusahaan sawit. Sudah menjadi rahasia umum perusahaan minyak goreng besar, mereka menguasai 90 persen pasar minyak goreng hingga membentuk kartel yang bisa dengan mudah mempermainkan harga di pasaran.
Maka tidak heran walau Indonesia termasuk negara penghasil dan pengekspor sawit terbesar di dunia, namun tak berpengaruh bagi kemakmuran rakyat banyak.
Tak dapat dipungkiri kebun-kebun sawit banyak dikuasai swasta, negara memang punya PTP tapi sangat kecil volumenya bila dibanding penguasaan sawit swasta. Para kapitalis sawit tak hanya berorientasi terus mengembangkan usaha.
Hingga menggurita dan seluruh tangannya haus mengeruk laba walau dengan cara yang zalim. Ironisnya buruh sawit dan rakyat sekitar kebun sawit hidup sangat miskin, wanita yang terpaksa bekerja di kebun sawit jadi korban pelecehan seksual mandor sawit.
Kalimantan Barat adalah provinsi nomer tiga yang memiliki kebun sawit terbesar setelah sumut dan Riau, ironisnya KalBar justru menjadi provinsi termiskin di kalimantan. (Kata.data.or.id).
Para oligharki CPO (minyak sawit mentah) memilih menggenjot ekspor demi meraup untung maksimal saat harga CPO dunia tinggi, tak peduli pasokan kebutuhan dalam negri kritis. Rakyat pun harus menanggung kerusakan alam, banjir bandang dan kebakaran hutan akibat eksploitasi sawit berlebihan (WALHI, 2019).
Semua ini hanya bisa terjadi dalam sistem kapitalisme dengan mekanisme pasar bebasnya. Sungguh tragis semua fakta ini terjadi didepan mata pemerintah. Pemimpin bukan lagi pelindung rakyat, ia tak berdaya karena hanya sekadar regulator yang tidak bisa mengambil kebijakan yang berpihak pada rakyat. Bahkan rela menjadi bagian penghisap darah rakyat.
Islam Solusi Memperbaiki Tatanan Ekonomi
Hutan adalah kepemilikan umum, yang menguasai hajat hidup seluruh rakyat, maka haram hukumnya bagi negara menyerahkan pada swasta (Al.Amwal, Abdul.Qodim Zallum). Dalam Islam harta kekayaan alam di langit dan di bumi, Allah amanahkan pada manusia sesuai izin syari.
Melalui pengaturan kepemilikan, yaitu kepemilikan umum (sumberdaya alam termasuk barang tambang, hutan, lapang rumput, laut dan lain sebagainya). Kemudian kepemilikan negara dan kepemilikan individu.
Dalam mekanisme pasar syariah, hanya barang atau komoditi dari kepemilikan individu dan bahan pokok/komoditi strategis, yang bisa masuk. Tujuan mekanisme pasar syariah adalah mewujudkan keadilan bagi penjual dan pembeli.
Untuk komoditi pangan strategis, negara yang menerapkan syariah Islam secara menyeluruh (kaffah) yaitu khilafah, maka seorang khalifah sebagai pemimpin juga penanggung jawab pengurusan umat. Wajib menjamin ketahanan pangan dalam negeri, sehingga kebutuhan pangan pokok berkualitas bisa terjangkau dan terdistribusi secara merata.
Peran ini dijalankan oleh baitul maal yang selalu memastikan pasokan cukup bagi seluruh individu rakyat dengan harga terjangkau. Negara pun menjaga dan menerapkan sanksi keras bagi para pelaku mafia, monopoli/kartel harga, dan praktek penimbunan (ihtikar).
Dengan tata kelola Islam yang komprehensif ini pasti akan membawa pada pemerataan kesejahteraan. Sistem ekonomi Islam terbukti berjaya selama 14 abad. Selain itu Islam pun mendorong tiap individu masyarakat hidup dengan landasan ketakwaan sehingga menutup celah mental khawatir sifat panic buying.
Melihat semua fakta yang ada masihkah kita betah dengan sistem rusak ini?
Wallahu a'lam bishawab
Oleh: Rengganis Santika, S.T.P.
(Sahabat Topswara)
0 Komentar