Topswara.com– “Jangan serupakan di antara hemat dan bakhil (pelit) karena orang yang hemat memperhitungkan perbelanjaannya uang masuk dan uang keluar dengan tujuan apabila perlu, dapat membelanjakan harta itu menurut yang sepatutnya. Akan tetapi, orang yang bakhil (yakni) mengumpulkan harta dengan tujuan semata-mata menumpuknya. Orang yang hemat mengatur hartanya, orang yang bakhil (pelit) diatur oleh hartanya.” (Buya Hamka)
Beberapa kalimat yang patut kita renungkan agar jangan sampai kita termasuk orang yang bakhil atau kikir. Terlebih bagi seorang ayah atau suami terhadap anggota keluarganya, karena ia bertanggung jawab besar terhadap keluarganya.
Sebagai din yang sempurna, Islam telah mengatur peran-peran di dalam rumah tangga dengan sangat terperinci dan adil. Islam telah memberikan tanggung jawab kepada laki-laki untuk menafkahi orang-orang yang menjadi tanggungannya. Seorang suami atau ayah bertanggung jawab memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya secara layak.
Allah SWT berfirman,
…وَعَلَى ٱلۡمَوۡلُودِ لَهُۥ رِزۡقُهُنَّ وَكِسۡوَتُهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ لَا تُكَلَّفُ نَفۡسٌ إِلَّا وُسۡعَهَاۚ …
“Kewajiban ayah untuk memberi makan dan pakaian kepada para ibu secara layak. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 233)
كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ
“Cukuplah dianggap berdosa seseorang yang menelantarkan orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, an-Nasai, al-Baihaqi, al-Hakim, dan ath-Thabrani)
كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْماً أَنْ يَحْبِسَ عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوتَهُ
“Cukuplah dianggap berdosa seseorang yang tidak memberi nafkah orang yang berada dalam tanggungannya.” (HR. Muslim dan Ibnu Hibban)
Begitu besarnya perhatian Islam terkait pemenuhan nafkah keluarga. Islam telah menetapkan bahwa pembelanjaan untuk nafkah keluarga lebih agung pahalanya dibandingkan dengan infak fi sabilillah, membebaskan budak, dan sedekah kepada orang miskin.
Rasul SAW bersabda,
دِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى سَبِيلِ الله وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى رَقَبَةٍ وَدِينَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِى أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ
“Satu dinar yang engkau nafkahkan di jalan Allah, satu dinar yang engkau belanjakan untuk membebaskan budak, satu dinar yang engkau sedekahkan kepada orang miskin, dan satu dinar yang engkau nafkahkan terhadap keluargamu, yang paling agung pahalanya adalah yang engkau nafkahkan terhadap keluargamu.” (HR. Muslim)
Nabi SAW bersabda, “Sungguh tidaklah kamu menginfakkan nafkah (harta) dengan tujuan mengharapkan (melihat) wajah Allah (pada hari kiamat nanti), kecuali kamu akan mendapatkan ganjaran pahala (yang besar), termasuk makanan yang kamu berikan kepada istrimu.” (HR. Bukhari)
Kecukupan Nafkah untuk Keluarga
Sesungguhnya tidak ada angka minimum dan spesifik terkait jenis nafkah yang harus tersedia, tetapi hal tersebut merujuk pada kemampuan dan kelaziman yang ada di tengah-tengah masyarakat tempat tinggalnya. Hanya saja, terkait sandang, pangan, dan papan, tentu saja harus terpenuhi walaupun jumlahnya tidak ada patokan, tetapi haruslah layak.
Untuk pangan, maka harus terpenuhi laparnya hingga kenyang. Papan, yakni ada tempat untuk berteduh dari hujan dan angin, serta aurat dan kehidupan pribadinya terlindungi. Sedangkan sandang, yakni bisa memakai pakaian layak dan sempurna sesuai tuntunan syariat, tertutup auratnya.
Rasul SAW bersabda dalam Haji Wada’, “Ayomilah kaum wanita (para istri) karena Allah, sebab mereka adalah mitra penolong bagimu. Kamu telah memperistri mereka dengan amanah Allah dan kemaluan mereka menjadi halal bagimu dengan kalimat Allah. Kamu berhak melarang mereka untuk membiarkan orang yang engkau benci memasuki kediamanmu. Mereka berhak atasmu untuk dipenuhi kebutuhan nafkah dan pakaian secara lazim.”
Firman Allah Taala, “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang Allah berikan kepadanya.” (QS. Ath-Thalaq: 7)
Juga hadis Rasulullah SAW, “Dan hak mereka (istri-istri) atas kalian adalah menafkahi mereka dan menyandangi mereka dengan cara-cara yang makruf/baik.” (HR Muslim)
Makruf dalam nas tersebut adalah tradisi atau kelaziman yang mungkin berbeda-beda antara satu daerah dan daerah lain. Tidak hanya kebutuhan asasi atau primer yang harus terpenuhi, tetapi juga harus memperhatikan kebutuhan pelengkap setiap keluarga.
Tentang kecukupan kebutuhan ini, dapat kita pahami dari penjelasan beberapa hadis Rasul, di antaranya, “Ambillah dari hartanya dengan makruf (baik-baik) sebatas apa yang dapat mencukupimu dan anakmu secara layak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Frasa “apa yang mencukupi dirimu dan anakmu secara layak” bermakna mutlak dan bersifat umum; hanya terbatas pada “bil makruf” (secara layak). Hal itu menunjukkan bahwa yang mencukupi itu tidak terbatas pada kebutuhan pokok berupa pangan, papan, dan sandang, tetapi juga kebutuhan lainnya yang layak sebagaimana kelayakan di masyarakat.
Hadis ini juga menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan secara layak merupakan kewajiban seorang laki-laki (suami) sekaligus hak istri dan anak (serta siapa saja yang menjadi tanggungan suami). Ketika tidak terpenuhi, istri boleh mengambil haknya itu untuk kecukupannya dan anak-anaknya dari harta suaminya, meski tanpa sepengetahuan atau izin suaminya.
Suami Pelit atau Hemat, Bagaimana Tuntunan Islam?
Ketika seorang suami memberikan nafkah yang berkurang dari bulan-bulan sebelumnya, misalnya, sehingga tidak mencukupi kebutuhan keluarganya, padahal suaminya dalam keadaan lapang, seorang istri tidak lantas menilai jika suaminya pelit. Mungkin saja sang suami hendak berhemat, ada kebutuhan mendesak, atau pun hendak menabung untuk suatu keperluan.
Namun, istri juga tidak lantas membiarkannya begitu saja, terlebih jika ada indikasi pelalaian. Hal ini bisa dibicarakan bersama agar semuanya jelas. Ada beberapa upaya yang bisa kita lakukan agar kita dan pasangan selalu berada dalam koridor syarak, di antaranya:
Pertama, komunikasikan dengan pasangan.
Komunikasi merupakan salah satu cara yang kita tempuh untuk menyelesaikan permasalahan agar semuanya jelas. Bisa saja memang pendapatan suami berkurang atau memang hendak menabung karena ada keperluan untuk keluarga, dan sebagainya.
Jika hal ini dibicarakan bersama, tentunya akan jelas duduk permasalahannya dan kita sebagai istri bisa membantunya untuk segera mewujudkannya dengan sama-sama berhemat dalam pengeluaran selama tidak menzalimi siapa pun dari anggota keluarga. Sebaliknya, jika terjadi pengabaian, kita harus mengingatkan suami kita.
Ada baiknya kita mencari waktu dan momen yang baik untuk membicarakan masalah ini dengan suami, misalnya saat santai berdua bersama suami pada malam hari. Kita pun harus menyampaikannya dengan kalimat lembut dan baik, dengan bahasa yang mengajak memecahkan masalah bersama, bukan menyalahkan suami.
Kedua, mengingatkan suami. Manusia mana pun tidak luput dari kesalahan. Bisa jadi suami khilaf atau dengan alasan hendak menabung dan sebagainya sehingga ia menahan hartanya untuk istri dan anak-anaknya.
Persahabatan suami istri akan mengantarkan setiap orang untuk tidak pernah rela pasangannya melakukan kesalahan, baik yang sengaja maupun tidak. Oleh karenanya, saling memberi nasihat merupakan wujud suatu hubungan yang saling mencintai karena Allah Sebab, tujuannya adalah dalam rangka menjaga ketaatan kepada-Nya dan menjauhkan pasangan dari bermaksiat kepada-Nya.
Nasihat yang disertai komunikasi yang tepat waktu dan tepat cara (lemah lembut dan tidak menjustifikasi kesalahan) akan membuat pasangan saling merasakan kesejukan dan ketenteraman dalam menerima masukan.
Ketiga, bersabar. Tidak dapat kita mungkiri, ketika kondisi ini menghampiri keluarga kita, kadang kala segalanya menjadi serba sempit. Namun, jika ingat tujuan awal menikah adalah ingin menggapai rida Allah SWT., sikap ikhlas, bersabar, dan selalu berupaya memperbaiki keadaan tentu lebih baik.
Ikhlas dan bersabar menjadi penguat kita, bisa jadi memang musibah tengah menimpa keluarga kita karena penghasilan suami memang berkurang atau memang ada rencana yang baik yang ingin diwujudkan oleh suami kita. Dengan komunikasi yang makruf dan berusaha mengingatkan suami jika memang beliau lalai, dengan izin Allah kita akan mendapat kemudahan untuk bisa mencari jalan keluar terbaik dengan pikiran jernih dan hati lapang.
Keempat, Islam membolehkan istri mengambil uang suami jika pelit, tetapi sesuai kebutuhan dan tidak lebih.
Sedemikian pentingnya masalah nafkah yang terletak pada pundak ayah ini sehingga ketika suami menahan harta untuk istri dan anak-anaknya, padahal ia memiliki harta yang memadai, dengan kata lain kikir sehingga istri dan anak-anaknya tidak terpenuhi kebutuhannya secara memadai, maka Islam membolehkan istri untuk mengambil harta suami tanpa sepengetahuannya sesuai kebutuhannya dan anak-anaknya. Hal ini pernah terjadi pada masa Nabi Muhammad saw..
Adalah Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan, pernah mendatangi Rasulullah saw. dan menceritakan bahwa Abu Sufyan adalah seorang suami yang pelit, “Ia tidak pernah memberiku dan anak-anakku nafkah secara cukup. Oleh karena itu aku pernah mencuri harta miliknya tanpa sepengetahuannya.” Lalu Rasul saw. bersabda,
خُذِى مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ الْمَعْرُوفِ
“Ambillah dari hartanya dengan makruf (baik-baik) sebatas apa yang dapat mencukupimu dan anakmu secara layak.” (HR Bukhari dan Muslim)
Rasulullah mengizinkan Hindun untuk mengambil harta dari suaminya, Abu Sufyan, untuk memenuhi kebutuhannya dan anak-anaknya. Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan bahwa Hindun bertanya, “Apakah ada dosa atas diriku jika aku mengambil sesuatu dari hartanya.” Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Barimenjelaskan bahwa diperbolehkan mengambil uang suami tanpa sepengetahuannya.
Namun, yang perlu kita garis bawahi adalah maksud keperluan bagi istri adalah terkait kebutuhan pokok yang sifatnya urgen dan sesuai kebutuhan, sebab redaksi hadis menyebutkan “yang mencukupimu dan anakmu sebagaimana mestinya (makruf)”.
Khatimah
Demikianlah, Islam telah mengatur dengan sangat cermat terkait pemenuhan nafkah keluarga. Istimewanya lagi, sistem Islam tidak menyerahkan tanggung jawab ini kepada individu semata, tetapi negara akan memastikan terlaksananya pemenuhan nafkah untuk keluarga.
Islam antara lain mewajibkan laki-laki yang mampu untuk bekerja, sedangkan negara berkewajiban untuk menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya, serta akan menjatuhkan sanksi kepada ayah atau suami yang lalai akan kewajibannya ini. Lebih dari itu, jika memang ada kepala keluarga yang benar-benar tidak mampu memenuhinya, negara yang akan menyantuninya dari pos zakat atau pos harta milik negara di Baitulmal. Wallahualam.
Oleh : Najmah Saiidah
(Aktivis Muslimah)
Sumber : Muslimahnews.net
0 Komentar