Topswara.com -- Kondisi umat Islam saat ini seperti buih di lautan. Jumlahnya yang banyak tidak membuat umat Islam mampu membela agama, Allah dan Rasul-Nya ketika dinista.
Sepanjang tahun 2021 telah terjadi berulang kali penghinaan kepada Allah, Rasulullah, istri-istri Rasulullah juga ajaran Islam. Caranya pun berbagai macam, kebanyakan berupa unggahan konten di media sosial.
Diantaranya, kasus tagar “Tangkap Joseph Suryadi” yang sempat trending di twitter karena penghinaannya terhadap Rasulullah. Begitu juga, yang rutin terjadi di bulan Desember, penistaan ajaran Islam tentang ucapan natal dan toleransi. Bahkan di awal tahun 2022 ini kembali terjadi penistaan yang dilakukan oleh Ferdinand Hutahaean (Liputan6.com, 7/1/2022).
Cukup memprihatinkan, karena dari sekian kasus penistaan agama yang dilaporkan, hanya sebagian kecil yang mendapat respon pemerintah. Itupun belum tuntas.
Sesungguhnya hal ini akan terus terjadi. Semuanya adalah bukti bahwa UU buatan manusia tidak mampu menghentikan penistaan agama. Penegakan hukum yang diterapkan ternyata tidak menunjukkan keadilan. Lalu, bagaimana agar kegagalan negara dalam menjaga kemuliaan Islam tidak terjadi lagi ?
Kebebasan Berpendapat
Tidak dipungkiri, bahwa sistem yang diterapkan di negeri ini adalah sekuler kapitalis. Jika asas tersebut diterapkan sebuah negeri, maka dapat dipastikan aturan kehidupannya dipisahkan dari agama. Akibatnya, aturan di tengah masyarakat bersifat liberal, serba bebas dan menolak adanya pembatasan.
Oleh karena itu, tidak akan ditemukan aturan yang benar-benar melarang penistaan terhadap agama tertentu termasuk Islam. Karena bebas berpendapat berarti bebas tanpa syarat, termasuk bebas menista agama.
Paham ini berdalih hal tersebut adalah hak asasi manusia. Padahal faktanya, tidak ada kebebasan mutlak. Sebab, kebebasan satu individu pasti akan bersinggungan dengan kebebasan individu yang lain.
Lagipula, tak ada satupun fitrah manusia yang mau dihina, baik dirinya, juga keyakinannya. Maka kebebasan berpendapat sesungguhnya bertentangan dengan fitrah manusia itu sendiri. Inilah sesungguhnya akar persoalan penistaan agama di negeri ini.
Melindungi Kemuliaan Agama
Di dalam Islam, setiap perbuatan manusia terikat dengan hukum syariat. Tidak dikenal kebebasan berpendapat ala liberalisme sekuler.
Dalam ajaran Islam, umat Islam diharuskan memuliakan Allah, Rasul dan ajaran-Nya, sebagai bagian dari keimanannya. Oleh karena itu, para ulama bersepakat bahwa penistaan tersebut adalah dosa besar. Jika Muslim, mengantarkan pelakunya kepada kemurtadan. Sementara bila kafir, dianggap sebagai kafir harbi yang boleh diperangi.
Allah berfirman, yang artinya: “Jika mereka merusak sumpah (perjanjian damai)nya sesudah mereka berjanji dan mereka mencerca agama kalian, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar supaya mereka berhenti.” (T.QS. At-Taubah : 12).
Sementara dalam surat At-Taubah 65 dan 66, “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian selalu berolok-olok?. Tidak usah kalian meminta maaf, karena kalian telah kafir sesudah kalian beriman. Jika Kami memaafkan segolongan daripada kalian (lantaran mereka tobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.”
Tafsir ayat tersebut menurut Imam al Qurtubi adalah wajibnya membunuh setiap orang yang mencerca agama Islam karena ia telah kafir.
Pun, Imam Ibnu Katsir berkata, “Berdasar ayat ditetapkan hukuman mati atas setiap orang yang mencaci maki Rasulullah atau mencerca agama Islam atau menyebutkan Islam dengan nada melecehkan. Oleh karena itu Allah kemudian berfirman maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar supaya mereka berhenti, maksudnya mereka kembali dari kekafiran, penentangan dan kesesatan mereka.”
Syaikh al Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Jika orang yang mencaci maki Islam tersebut adalah seorang Muslim maka ia wajib dihukum bunuh berdasar ijma’ (kesepakatan ulama) karena ia telah menjadi orang kafir murtad dan ia lebih buruk dari orang kafir asli.”
Pun, Ibnul Jauzi mengatakan bahwa sungguh-sungguh atau bermain-main dalam mengungkapkan kalimat kekufuran hukumnya adalah sama.
Dari sinilah, kemudian para ulama bersepakat tentang vonis yang akan dijatuhkan kepada pelaku. Jika Muslim, hukum yang dijatuhkan atasnya adalah hukuman mati. Bagaimana jika pelakunya kafir dzimmi? Ulama berbeda pendapat, yakni jumhur tetap memberlakukan hukuman mati, sedangkan Abu Hanifah tidak.
Sedangkan bila pelakunya kafir mu’ahad yaitu negara pelaku terikat perjanjian perdamaian, maka perjanjian tersebut batal.
Lalu, bagaimana seharusnya sikap umat Islam ketika menghadapi kasus penistaan? Sudah seharusnya mereka memiliki rasa cemburu (ghirah) dalam konteks beragama, tidak boleh berdiam diri. Mengapa? Sebab hal tersebut adalah konsekuensi keimanan.
Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu maka hendaknya dengan lisannya. Dan apabila tidak mampu lagi maka dengan hatinya, sesungguhnya itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim)
Namun demikian, yang berhak menghukumi pelaku kasus penistaan, hanyalah negara. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, bahwa Rasulullah pernah bersabda: “Siapakah yang mau “membereskan” Ka’ab bin Asyraf? Sesungguhnya ia telah menyakiti Allah dan rasul-Nya.” Muhammad bin Maslamah bertanya, “Apakah Anda senang jika aku membunuhnya, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Ya”…”. Posisi Rasulullah saat itu adalah kepala negara.
Begitu juga Abu Bakar dan Umar bin Khattab ketika mereka menjadi khalifah. Mereka memerintahkan memerangi Musailamah al-Khadzab.
Dengan demikian, jelaslah bahwa umat Islam membutuhkan negara dan penguasa yang melindungi kemuliaan Islam. Hal tersebut tidak mungkin terlaksana dalam negara yang menerapkan sistem sekuler seperti saat ini. Akan tetapi, hanya bisa dilakukan oleh sebuah negara yang menerapkan sistem Islam berdasar Al-Qur'an dan sunah, yakni khilafah ala minhajinnubuwwah. Satu-satunya negara yang mampu menghentikan penistaan agama selama-lamanya.
Wallahu a’lam bishawab
Oleh: Sitha Soehaimi
(Sahabat Topswara)
0 Komentar