Topswara.com -- Dilansir dari Antaranews.com (2/11/21), Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Yogyakarta telah memperkenalkan model parenting atau pola asuh kebangsaan untuk meningkatkan partisipasi keluarga dalam menumbuhkan semangat dan jiwa nasionalisme anak sejak usia balita.
Untuk memperkenalkan dan melaksanakan program parenting kebangsaan tersebut, dilakukan langkah-langkah kerjasama dengan Kampung KB yang sudah ada di tiap kelurahan.
Terkait hal itu, Wakil Wali Kota Yogyakarta Haroe Poerwadi yang membuka program parenting kebangsaan. Beliau berharap dengan adanya program tersebut dapat melahirkan generasi muda yang memiliki karakter dan jiwa nasionalisme yang kuat. Ia mengatakan supaya tidak membiarkan anak-anak mengabaikan bagaimana para pahlawan bangsa berjuang untuk meraih kemerdekaan.
Oleh karena itu, penting mengenal wawasan kebangsaan sejak dini. Globalisasi dan dunia yang semakin tanpa batas menghadirkan tantangan bagi orang tua dalam memperkenalkan dan menanamkan jiwa nasionalisme kepada anak-anaknya.
Selain itu ada juga jurnal Pengabdian Masyarakat diterbitkan pada tahun 2020. Pengabdian Masyarakat bertempat di TPQ Nurul Iman Kalangploso Malang. Berangkat dari persoalan radikalisme dan terorisme di Indonesia yang menyeret anak-anak di dalamnya. Misalnya, aksi bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya pada tahun 2018 silam yang juga melibatkan empat orang anak yang notebene masih sekolah, sayangnya dua di antaranya masih duduk di bangku sekolah dasar.
Atas dasar itu, diperlukan Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ) dengan kerangka besar moderasi beragama. Tema yang diangkat selama parenting tidak secara eksplisit menggemakan pemahaman Islam wasathiyah, yakni “Pentingnya Pendidikan Karakter Anak Usia Dini di Indonesia.”
Ada dua kegiatan yang akan dilakukan, yakni parenting yang bernuansa wasathiyah dan perpustakaan Qur’ani. Dengan menggunakan pendekatan Participator Action Research (PAR) dan dilakukan selama tiga bulan, dari Juli sampai September 2020.
Pengabdi menyimpulkan bahwa dua kegiatan ini cukup membantu memahami tentang agama pada masyarakat TPQ menjadi lebih moderat. Atau setidaknya bisa lebih memperkuat moderasi agama yang sudah mereka yakini. Mereka menyadari bahwa harus ada rasa cinta terhadap Indonesia dan menyadari bahwa tindakan radikalisme dan terorisme adalah tindakan keji.
Betapa masifnya pengarusan moderasi beragama dalam dunia pendidikan. Sehingga anak usia dini pun harus mendapatkan pola pengasuhan berbasis moderasi. Melalui parenting kebangsaan dan wasathiyah, ini menjadi bukti bahwa gerakan Islam moderat telah menyasar anak-anak sejak dini.
Mereka melihat ini sebagai solusi agar anak tidak terkontaminasi oleh pemahaman radikal dari keluarganya. Oleh karena itu, parenting moderasi adalah opsional bagi mereka.
Padahal pendidikan moderasi sejak dini setidaknya menyebabkan tiga ancaman, yakni:
Pertama, pendangkalan akidah anak. Memahamkan anak bahwa agamanya bukan satu-satunya agama yang paling benar (pluralisme). Sehingga anak mempertayakan otentisitas agamanya. Anak mengalami krisis identitas keagamaannya karena telah kehilangan rasa bangga dan kecintaannya pada agama mereka.
Hingga tak jarang kita temukan mereka mencampur adukkan ajaran agamanya dengan agama yang lain “toleransi kebablasan.” Misalnya, merayakan natal bersama, berdoa bersama lintas agama, bershalawat di gereja, dan sebagainya.
Kedua, makin tertancap kuatnya paham sekuler liberal pada anak. Sejak dini, mengajarkan anak untuk tidak menjadikan agama sebagai pedoman hidup. Mendogma anak untuk menjauhkan agama dari kehidupannya. Demikian pula, liberalisme yang menjadi landasan anak dalam bertingkah laku.
Mereka akan merasa bebas melakukan apa saja untuk menemukan kesenangan dunia. Bukannya melindungi anak dari tindakan menyimpang dan merusak semisal kenakalan remaja. Liberalisme justru membuat anak hidup bebas, menyimpang, dan merusak kepribadian anak.
Ketiga, hilangnya pemahaman mereka terhadap Islam politik. Ketika moderasi terus diaruskan untuk melawan pemahaman radikal yang sebenarnya ditujukan pada ajaran Islam politik. Anak hanya memahami agama sekedar mengurusi perkara ibadah. Hingga hilangnya sosok-sosok generasi yang siap memimpin bangsa dengan amanah.
Tak heran jika generasi hari ini gagal membawa perubahan besar bagi umat dan bangsa, bahkan menentang Islam politik, yang pada hakikatnya adalah solusi hakiki menuju kebangkitan umat manusia.
Sungguh kita patut mewaspadai dan menolak parenting wasathiyah dan kebangsaan karena tujuan utamanya adalah merusak generasi sejak dini. Seharusnya anak usia dini mendapatkan pendidikan yang berlandaskan nilai-nilai berupa tauhid yang bersih dari unsur-unsur yang mengotori.
Anak adalah amanah dari Allah SWT yang tak ternilai harganya. Oleh karena itu, setiap perkembangan jiwa dan raga anak harus menjadi perhatian serius bagi setiap orangtua. Jangan sampai kesucian jiwa anak terkontaminasi oleh virus-virus kemungkaran yang dapat merusak akidah, pendidikan, akhlak dan masa depannya.
Sudah seharusnya kita menjadikan Islam sebagai satu-satunya solusi atas setiap problematika kehidupan. Islam memberikan perhatian besar kepada generasi, bahkan sejak usia dini. Pada masa kejayaan Islam, keluarga Muslim menjadi madrasah pertama bagi putra-putrinya. Sejak sebelum dia lahir dan saat balita, orang tuanya telah membiasakan anak-anaknya yang masih kecil untuk menghafal Al-Qur'an dengan mendengarkan bacaan mereka.
Rutinitas itu mebuat mereka bisa hafal Al-Qur'an sebelum usia enam atau tujuh tahun. Kemudian mereka mulai menghafal kitab-kitab hadis. Saat usia sepuluh tahun, mereka dapat menguasai Al-Qur'an, hadis, serta kitab-kitab bahasa Arab yang berat, sekelas Alfiyah Ibn Malik. Pada usia emas ini (golden age), anak-anak bisa dibentuk menjadi apa saja, tergantung orang tuanya.
Dengan demikian, pada masa kekhilafahan, bermunculan remaja-remaja yang mampu memberikan fatwa. Misalnya, Iyas bin Mu’awiyah, Muhammad bin Idris as-syafii, sudah bisa memberikan fatwa sebelum usianya genap 15 tahun. Mereka juga dibiasakan orang tua mereka untuk mengerjakan salat, puasa, zakat, infaq hingga jihad.
Sosok Abdullah bin Zubair, misalnya, ia dikenal sebagai ksatria pemberani yang tak lepas dari didikan orang tuanya. Abdullah bin Zubair sudah diajak berperang oleh ayahnya Zubair bin al-Awwam, saat usianya masih delapan tahun. Dia dibonceng di belakang ayahnya di atas kuda yang sama.
Adapun Salahuddin al-Ayyubi bin Najmuddin al-Ayyubi, ia dikenal sosok pemimpin dan ksatria yang mampu mengalahkan tentara salib dalam perang Hithin, akhirnya Baitul Maqdis kembali pada kaum Muslim. Salahudin al-Ayyubi sebelum lahir kedua orang tuanya yakni Najmuddin al-Ayyubi dan Sit Khatun, keduanya memiliki visi yang sama untuk melahirkan anak-anak yang mereka tarbiyahkan dengan baik hingga jadi pemuda dan ksatria serta mampu mengembalikan Baitul Maqdis ke tangan kaum Muslim. Terbukti berawal dari visi dibarengi misi yang beriringan hingga membentuk anak-anak yang berkualitas dan tinggi ketaatannya kepada Allah SWT.
Tak ketinggalan bagaimana sosok Muhammad II bin Murad atau kita kenal Muhammad Alfatih, ia dikenal menjadi sebaik-baik pemimpin dan tentaranya sebaik-baik tentara. Muhammad Alfatih mejadi jawaban dari bisyarah Rasulullah yang tertera pada hadisnya: “Kota konstatinopel akan jatuh di tangan Islam. Pemimpin yang menaklukannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan.” (HR. Ahmad).
Hadis ini yang mendorongnya untuk menaklukan Konstatinopel. Berbagai metode dan strategi dilakukan, hingga Muhammad Alfatih dan pasukkannya memindahkan 72 kapal dari selat Bosphorus ke selat Tanduk dengan melewati bukit Galata dalam waktu satu malam.
Konstatinopel berhasil ditaklukan dalam perang selama 54 hari. Tentu pencapaian ini didapat oleh Muhammad Alfatih karena pola asuh orang tuanya yang luar biasa dengan memilihkan guru yang tegas yakni Syeikh Ahmad Al-Kurani yang mengajarkan ilmu Islam. Hingga sejak usia tujuh tahun ia sudah menguasai berbagai ilmu Al-Qur'an, hadis, fiqih, usul fiqih serta ushuluddin. Ia juga menonjol ilmu sejarah, geografi dan mantiq. Serta sejak kecil ia telah menguasai delapan bahasa.
Demikianlah, sistem pendidikan dalam Islam yang akan melahirkan generasi yang saleh, mukhlis dan mendatangkan kebaikan bagi masyarakat dan umat. Oleh karena itu, pengokohan fungsi keluarga Muslim agar menjadi keluarga yang tegak atas ketaatan kepada Allah dan tegak diatas pondasi agama dengan menjadikan Islam sebagai standar kehidupan termasuk pola asuh dan mendidik anak sejak dini adalah misi utama. Bukan hanya menguatkan sisi kebangsaan saja, tapi nihil paham agama.
Jadi jalan memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia, khususnya usia dini tidak benar berlandaskan pada moderasi agama dan wasathiyah dalam bentuk parenting semata.
Tetapi dengan penerapan sistem pendidikan Islam dalam naungan daulah khilafah Islam yang terbukti melahirkan generasi penakluk tinggi ketaatanya kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW, hingga menjadi generasi yang membawa kejayaan islam. Memberi rahmat bagi seluruh alam.
Wallahu a'lam bishawab
Oleh: Saidawati, S.Pd.
(Aktivis Dakwah Kampus, Mahasiswi)
0 Komentar