Topswara.com --Di tengah banyaknya persoalan membanjiri negeri, moderasi beragama justru semakin dikibarkan di semua lini. Masalah keberagaman dalam beragama dinilai sebagai persoalan utama yang perlu diatasi.
Pemerintah kini mencanangkan Tahun 2022 sebagai tahun toleransi yang disponsori oleh Kemenag. Menurutnya, negeri ini dihuni oleh masyarakat yang berbeda-beda, baik agama, suku, budaya, dan lain sebagainya. Sementara potret eksklusivisme semakin meningkat yang tentunya memecah-belah umat.
Sehingga tahun ini menjadi momentum konsolidasi budaya dan merekatkan serta menguatkan kembali pentingnya toleransi di negeri ini. Mengingat toleransi adalah salah satu indikator penguatan moderasi yang menjadi program prioritas RPJMN 2020-2024 (kemenag.go.id, 14/01/2022).
Di tengah peliknya krisis multidimensi, intoleransi, dan radikalisme seolah menjadi persoalan utama dalam negeri ini, sehingga pemerintah terus menderaskan moderasi beragama. Benarkah moderasi adalah solusi?
Moderasi Membuka Peluang Maksiat
Narasi intoleransi dan radikalisme terus didengungkan, seolah menjadi persoalan utama rakyat saat ini. Padahal rakyat tengah menjerit menghadapi peliknya krisis multidimensi. Berkibarlah moderasi sebagai solusi untuk negeri ini.
Menurut Kemenag, moderasi beragama merupakan cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan cara mengejewantahkan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan berlandaskan prinsip adil, berkembang, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa (kemenag.go.id).
Sementara itu, RAND Coorporation mendefinisikan Muslim moderat sebagai Muslim yang menerima demokrasi, HAM, liberalisasi, dan derivasinya. Sehingga sangat jelas bahwa moderasi beragama bukan murni program negeri ini tetapi produk Barat untuk melanggengkan hegemoninya.
Alhasil, seorang Muslim moderat hanya menerapkan Islam dalam ranah privat, sedangkan pada ranah publik diserahkan pada sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Islam hanya menjadi jubah lepas pasang. Jika berlakon di tengah publik dilepaslah jubah tersebut kemudian diganti dengan jubah sekuler.
Bila moderasi diimplementasikan, maka regulasi buah sistem demokrasi sekuler akan terus lahir di negeri ini, maka tak heran kemaksiatan justru merajalela. Menerima demokrasi sama saja mencampakkan aturan Sang Maha Raja. Regulasi yang lahir dari rahim demokrasi sekuler telah mempertontonkan kemaksiatan-kemaksiatan di bumi ini.
Betapa banyak kasus kejahatan seksual yang memilukan, alih-alih sebagai solusi, RUU TPKS yang digemakan justru menderaskan arus kejahatan seksual atas nama suka sama suka.
Belum lagi, di tengah sulitnya bertahan hidup di tengah pandemi, kita hanya mampu menganga menyaksikan alam dieksploitasi sedemikian rupa oleh pihak luar. Di tambah harga sembako yang melambung tinggi, pajak pun bebas mengudara. Rakyat hanya bisa gigit jari, menangis meraung-raung pun takkan menarik simpati.
Lebih memilukan, ulama sang faqih fiddin begitu mudah dilempar ke dalam bui, sementara penista agama tetap melenggang dengan riuhnya cuitan-cuitannya.
Islam Tak Butuh Moderasi
Tanpa moderasi, Islam mampu menghadirkan peradaban gemilang kurang lebih 14 abad lamanya. Umat bersatu harmoni walau berbeda religi, syariat hadir menyolusi seluruh permasalahan yang ada.
Tidak ada paksaan dalam beragama sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Ali Imran: 206. Namun, kaum non-Muslim tetap mendapatkan perlindungan dari negara. Sebagaimana di masa Rasulullah, umat Islam, Yahudi, dan Nasrani hidup tenteram di bawah naungan daulah.
Kekayaan alam dikelola sepenuhnya oleh negara kemudian hasilnya dikembalikan kepada umat, sehingga umat bisa hidup sejahtera. Islam bukan hanya mengatur urusan peribadahan, tetapi mengatur segala aspek.
Perbuatan yang merupakan tindak pidana diberikan sanksi yang tegas yang tidak hanya memberikan efek jera tetapi juga sebagai penebus dosa.
Oleh karena itu, saatnya kita kembali pada Islam kaffah. Dengannya, kita bisa merasakan rahmat bagi seluruh alam.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Artinya, “Wahai orang yang beriman, masuklah kamu semua ke dalam Islam. janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagi kalian.” (Surat Al-Baqarah: 208)
Oleh: Nurhidayah Gani
(Aktivis Muslimah)
0 Komentar