Topswara.com -- Sudah lama kita dengar bahwa Indonesia adalah negara yang kaya hasil tambang. Berbagai jenis komoditas pertambangan di perut bumi Indonesia mulai dari material mineral batu bara, hingga minyak dan gas bumi di tambang. Sayang sekali sebagian besarnya untuk memenuhi permintaan luar negeri.
Sebut saja batu bara yang sebenarnya hanya butuh 23 persen saja untuk kebutuhan domestik. Begitu juga dengan Energy gas alam cair LNG yang nyari 100 persen hanya untuk diekspor. Pemasukan negara dari ekspor mineral batubara dan migas jika dibandingkan dengan sektor lain memang paling besar. Sepertiga total pemasukan negara hasil dari aktivitas pertambangan penerimaan negara bukan dari pajak PT NBP dari sektor pertambangan cenderung meningkat setiap tahunnya.
Untuk tahun ini saja NBP sektor Minerba hingga 8 Oktober 2021 sudah mencapai Rp49,84 triliun atau sudah 127,45 persen dari target yang ditargetkan tahun ini yang hanya Rp39,10 triliun namun PNBP ini hanya diperoleh dari mengemis iuran tetap maupun Royalty kepada pihak pemegang ijin usaha pertambangan IUP.
Ijin usaha pertambangan khusus (UPK). Perjanjian karya perusahaan pertambangan batubara PKP2B maupun kontrak karya. Tentu keuntungan yang paling besar diperoleh perusahaan yang mengelola sebagai sumber daya alam tersebut. Apabila dikelola oleh negara tentu akan memberikan keuntungan bagi rakyat yang jauh lebih besar.
Mengapa terjadi krisis pasukan batu bara sehingga krisis ini terjadi? Kaitannya banyak, termasuk keterlibatan elit politik, banyak kasus korupsi berkaitan erat dengan aktivitas bisnis pertambangan pada pelakunya. Alasannya jelas, karena bisnis pertambangan membutuhkan modal yang besar.
Selain itu, keterlibatan pemerintah yang diwajibkan dalam pengurusan perizinan dan umlah royalti dan pajak yang besar membuat krisis pertambangan sangat membutuhkan orang dalam.
Perizinan dan persetujuan pemerintah harus didapat dari pejabat pemerintah untuk kegiatan eksplorasi, pengembangan, konstruksi, dan pengoperasian pertambangan.
Biasanya infrastruktur yang diperlukan seperti pelabuhan dan jalur kereta juga dimiliki oleh pemerintah. Artinya perusahaan dengan agenda-agendanya selalu berurusan dengan pemerintah untuk menyalurkan produksi mereka ke pasar.
Akibatnya pejabat pemerintah yang memiliki kekuasaan untuk dapat memblokir, menunda, atau menggagalkan suatu proyek dapat juga berupaya untuk mencari suap sebagai imbalan dari penggunaan kekuasaan.
Selain dengan melibatkan tokoh politik berpengaruh dan memiliki wewenang dalam hal regulasi dan pengawasan, modus ini juga dengan melakukan perubahan terhadap regulasi yang dianggap menghambat investasi. Seperti yang terjadi pada perubahan UU Minerba dan UU Omnibus Law Cipta Kerja, jelas poinnya ini terlihat pada perpanjangan kontrak.
Dalam UU Minerba perpanjangan kontrak tidak memerlukan proses lelang. Hal ini memberikan angin besar bagi para pemegang kontrak yang sedang berjalan dan ingin memperpanjangnya.
Seharusnya pengelolaan tambang ini dikelola oleh pemerintah sesuai dengan syariah tidak ada lagi regulasi yang bisa memperhambat kebutuhan listrik, karena kurang pasokan batu bara, jelas ini terdapat masalah dalam pertambangan dan mineral dan batu bara di Indonesia yaitu tadi kebijakan yang tidak berorientasi dan berpihak pada hajat hidup orang banyak. Yang paling terkenal adalah perebutan perusahaan tambang.
Ini akibatnya cengkeraman oligarki dan kapitalis, jadi ini akan membahayakan , semakin mengintai adalah semakin suburnya praktek korupsi di Indonesia dan kemudian dalam laporan KPK salah satu akar permasalahan korupsi sumber daya alam, termasuk pertambangan, adanya keterkaitan antara kebijakan penangan korupsi dengan melemahnya fungsi otoritas kelembagaan negara.
Bahaya yang tentu semakin mengemuka adalah mengenai kesenjangan antara kaum kaya dan miskin. Pasalnya kalau kaya bersama para oligarki merampas hak-hak orang banyak. Termasuk hak-hak orang miskin atas kepemilikan sumber-sumber tambang. Rentetan kasus tidak pidana korupsi, konflik-konflik sosial dan kerusakan lingkungan mengakibatkan perusahaan ekstraktif.
Dalam pandangan Islam pengelolaan sumber daya alam seperti tambang tidak boleh diserahkan kepada oligarki.
Menurut Imam Taqiyyuddin An-Nabhani, hutan dan bahan galian tambang yang tidak terbatas jumlahnya dan tidak mungkin dihabiskan adalah milik umum dan harus dikelola oleh negara. Hasilnya harus diberikan kepada diberikan kembali kepada rakyat dalam bentuk bahan yang murah berbentuk subsidi untuk berbagai kebutuhan primer masyarakat atau warga negara semisal pendidikan, kesehatan dan fasilitas umum.
Inilah pengaturan sistem Islam yang dapat menjadikan solusi dari kerusakan pengolahan tambang dari sistem kapitalisme yang saat ini diterapkan, dengan demikian ketegasan pembatasan pemilikan bagi pertambangan itu dalam Islam itu diatur ada milik individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara .
Jadi, tidak ada ruang sedikitpun bagi para oligarki politik dan kaum pemilik modal untuk merampas hak masyarakat umum atas tambang sumber daya alam. Pengaturan pertambangan hak kepemilikan secara adil seperti ini mustahil diterapkan dalam sistem yang rusak demokrasi kapitalisme, yang dikuasai oleh para oligarki politik dan para kapitalis.
Tidak ada jalan lain selain jalan Islam, yang diturunkan oleh zat yang maha sempurna. Jalan ini tidak dapat ditempuh kecuali dengan langkah-langkah sistematis untuk mengembalikan kembali institusi politik Islam dan kembali kepada ekonomi Islam yang mengatur kepemilikan umum dan menerapkan kebaikan-kebaikan lainnya dalam sistem Islam yang kaffah. Wallahu’alam bish-shawwab.
Oleh: Kania Kurniaty
Aktivis Asshabul Abrar Kayumanis Bogor
0 Komentar