Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Kurikulum Prototipe dan Nihilnya Jaminan Mutu Pendidikan


Topswara.com -- Kurikulum prototipe akan menjadi kurikulum yang ditawarkan kepada sekolah pada 2022. Bagi SMA yang memilih menggunakan kurikulum prototipe, maka siswa tak lagi dibagi dalam jurusan IPA, IPS maupun Bahasa.

Rencana opsi pemilihan kurikulum prototipe di sekolah menjadi perbincangan di media sosial TikTok dan Instagram.

Sebenarnya, apa itu kurikulum prototipe?
Kurikulum prototipe adalah kurikulum yang akan ditawarkan ke sekolah pada 2022

Adapun sifat kurikulum ini adalah opsional.

“Kurikulum prototipe tidak disebut sebagai Kurikulum 2022 karena pada tahun 2022 sifatnya opsional,” kata Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Assesmen Pendidikan dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan teknologi (Kemendikbud Ristek) Anindito Aditomo saat dihubungi Kompas.com, Senin (20/12/2021).

Karena bersifat opsional, maka kurikulum prototipe hanya akan diterapkan di satuan pendidikan yang berminat menggunakannya sebagai alat untuk transformasi pembelajaran.

Bagi sekolah yang menggunakan kurikulum prototipe, para siswa SMA dapat meramu sendiri kombinasi mata pelajaran sesuai dengan minatnya.

“Alih-alih dikotakkan ke dalam jurusan IPA, IPS dan Bahasa, siswa kelas 11 dan 12 akan boleh meramu sendiri kombinasi mata pelajaran yang sesuai dengan minatnya,” ujar Anindito, yang biasa disapa Nino.

Menurut Nino, kurikulum prototipe dibuat untuk memberikan kesempatan kepada siswa agar bisa menekuni minatnya secara lebih fleksibel.
Selain itu, memberi ruang lebih banyak bagi pengembangan karakter dan kompetensi siswa.

Kita perlu mencermati kebijakan yang seolah memberikan kebaikan karena memerdekakan guru dan sekolah dalam memilih kurikulum ini. Sekilas konsep ini tampak baik. Namun pada hakikatnya konsep ini adalah konsep yang lahir dari cara pandang sekuler yang bertentangan dengan Islam. Karena konsep ini  mengedepankan kebebasan.

Pada hakikatnya kebebasan dalam pemberlakuan kurikulum atau adanya kemerdekaan dalam menentukan kurikulum di setiap sekolah ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak memiliki konsep kurikulum yang baku. Dengan  kebebasan kurikulum ini menunjukkan adanya sikap ketidaktegasan pemerintah. 

Akibat fatalnya, ketidaktegasan ini akan berdampak pada capaian proses pembelajaran pada para siswa. Beda kurikulum tentu akan beda capaiannya, dan tentu ini akan berpengaruh kepada kualitas output generasi di negeri ini. 

Sebagaimana kita fahami, kurikulum memiliki arti penting dalam pencapaian proses pembelajaran dan output generasi di dunia pendidikan. Namun, saat ini dengan konsep merdeka belajar, kurikulum  dibebaskan, diberi peluang berbeda dalam penerapannya. Lalu pertanyaannya? Akan dibawa ke mana generasi ini di masa yang akan datang? 

Inilah satu dari sekian banyaknya problem yang ada di dunia pendidikan kita. Setelah berulang kali ganti kurikulum, kini pemerintah semakin kabur dalam menentukan arah pendidikan dengan ketidakpastian kurikulum pendidikan yang harus diterapkan di negeri ini.

Bermaksud ingin membuat perubahan ke arah lebih baik di bidang pendidikan, namun faktanya perubahan yang ada membuat pendidikan semakin tidak jelas. Artinya Harapan dan realita tidak selaras. Inilah konsekuensi dari penerapan sistem pendidikan sekuler kapitalis.

Metode pembelajaran dalam Sistem Pendidikan Islam (SPI) pun sangat khas dan tentunya sahih. Penyampaian materi pembelajaran oleh guru dan penerimaan oleh siswa harus terjadi dengan proses berpikir. 

Guru harus mampu menggambarkan fakta akan ilmu yang disampaikan kepada siswa, yakni proses penerimaan yang disertai proses berpikir (talqiyan fikriyan) yang berhasilmemengaruhi perilaku.

Di era pandemi, prinsip ini tentu harus diperhatikan. Standar keberhasilan belajar bukanlah nilai, namun perilaku dan kemampuan memahami ilmu untuk diamalkan. Hal ini akan menghasilkan dorongan amal terbaik dalam menghadapi tantangan pandemi.

Oleh karena itu, membebaskan pilihan kurikulum bukanlah solusi untuk mengatasi dampak kehilangan pembelajaran (learning loss) pada peserta didik akibat pandemi. 

Justru pemerintah seharusnya menerapkan standar kurikulum yang baku, sekaligus mampu mengatasi permasalahan pendidikan, sebagaimana kurikulum yang ada dalam SPI yang terbukti mampu memberikan kemaslahatan dalam berbagai bidang kehidupan ketika diterapkan di masa kegemilangan Islam, bahkan mampu menjadi mercusuar peradaban dunia.

Di masa kekhilafahan Islam, khususnya masa Abasiyah kekhilafahan Islam menjadi pusat intelektual dan keilmuan karena penerapan kurikulum berbasis Islam yang diterapkan oleh daulah.

Maka, jika kita ingin kembali menerapkan kurikulum pendidikan Islam. Namun tentu saja kurikulum pendidikan Islam tidak akan kompatibel dengan sistem sekuler kapitalis yang diterapkan saat ini.

Problem kurikulum selama ini tak akan tuntas selama sistem Islam sebagai satu-satunya sistem yang mampu menerapkan kurikulum sahih tersebut tidak diterapkan dalam kancah kehidupan. 

Terlebih lagi penerapan Islam secara keseluruhan merupakan kewajiban dan sudah menjadi konsekuensi keislaman kita. Bukankah Allah berfirman “Wahai orang-orang yang beriman masuklah kalian ke dalam Islam secara kaffah (keseluruhan)." (TQS. Al-Baqarah: 208). 

Karenanya masyarakat harus dicerdaskan tentang sistem pendidikan yang lahir dari sistem Islam yang kaffah ini. Karena kita hanya bisa mengharapkan perubahan yang signifikan dalam pendidikan ini ketika diatur dengan syariat Islam secara kaffah dalam bingkai khilafah islamiyah.

Wallahu a'lam bishawwab


Oleh: Siti Maryam
(Sahabat Topswara)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar