Topswara.com -- Tahun baru Masehi baru saja berganti. Namun, satu hal yang masih sama bahwa saat ini kita hidup dalam sistem kapitalis sekuler.
Miris rasanya karena sepanjang 2021 terdapat banyak catatan kelam kekerasan terhadap perempuan dan anak. Bahkan menjelang akhir tahun, rentetan kasus yang terjadi sungguh mengoyak nurani.
Sepanjang 2021 ini, juga marak kekerasan seksual di perguruan tinggi. Institusi pendidikan yang seharusnya menjadi cerminan budi pekerti yang tinggi telah berubah menjadi tempat berbahaya bagi mahasiswi. Tidak saja oleh sesama mahasiswa, tetapi juga dosen terhadap mahasiswinya. Sungguh, pendidikan tinggi seolah tidak memiliki maruah lagi.
Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mengungkapkan, kasus kekerasan terhadap anak meningkat dalam tiga tahun terakhir.
Hal ini berdasarkan pengumpulan data yang dilakukan pada tahun 2019, 2020, dan Januari-November 2021. Tahun 2019 ditemukan ada 11.057 kasus, tahun 2020 sekitar 11.279 kasus. Sedangkan, sepanjang tahun 2021, mulai Januari hingga November, ditemukan ada 12.556 kasus kekerasan anak.
Dari keseluruhan kasus tersebut, Sekretaris Kementerian PPPA Pribudiarta N Sitepu dalam diskusi virtual “Reformasi Bidang Pendidikan dan Penyederhanaan Kurikulum“ yang disiarkan di YouTube Tempodotco, Rabu (8/12/2021) menyebut kasus kekerasan seksual yang paling banyak terjadi kepada anak-anak hampir 45 persen.
Kemudian, diikuti kasus kekerasan psikis sekitar 19 persen, dan kekerasan fisik sekitar 18 persen. “Dan lainnya kemudian berupa penelantaran, trafficking, eksploitasi ekonomi dan lain-lain itu yang dihadapi oleh anak-anak kita,” imbuh Pribudiarta. Sementara itu, untuk kasus kekerasan perempuan juga hampir menunjukan tren peningkatan yang serupa.
Yang membuat miris, kekerasan tersebut banyak dilakukan oleh orang terdekat. Tetangga, kerabat, “teman dekat”, kakak, suami, ayah, bahkan guru dan dosen, yang semuanya seharusnya melindungi dan mengayomi serta menjadi panutan, tetapi justru tega melakukan kejahatan termasuk kejahatan seksual.
Sungguh fenomena yang menggambarkan masyarakat yang rusak. Sebab itu baru sebagian kecil yang terungkap karena sejatinya jumlah kasus kekerasan seksual pada anak merupakan fenomena gunung es. Fenomena ini makin membuktikan ada yang salah dalam interaksi dalam keluarga, juga hubungan antarapendidik dengan peserta didik.
Masa pandemi ternyata meningkatkan jumlah kasus kekerasan. Rumah pun bukan tempat aman untuk perempuan dan anak. Pandemi yang mengharuskan aktivitas bekerja di rumah, demikian juga belajar di rumah, ternyata membuat perempuan dan anak terkurung dalam rumah dengan pelaku kekerasan.
Sungguh menyedihkan ketika rumah yang seharusnya menjadi tempat aman, berbalik menjadi tempat yang mengerikan. Ini makin menguatkan fakta rusaknya masyarakat yang hidup jauh dari aturan agama dalam tatanan sekularisme.
Terus meningkatnya kekerasan terhadap perempuan membuat berbagai pihak khususnya pegiat gender menuntut pengesahan RUU P-KS yang sudah diusulkan oleh Komnas Perempuan sejak 2012 sebagai payung hukum baru untuk melindungi korban.
Para pegiat gender menganggap regulasi yang ada, seperti KUHP dan UU 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) tidak cukup berpihak pada korban. Alhasil, pengesahan RUU P-KS yang sekarang berubah nama menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TP-KS) mereka anggap sebagai jalan untuk menyelamatkan korban kekerasan seksual yang terus bertambah jumlahnya.
Di tengah perdebatan pengesahan RUU TP-KS, tiba-tiba muncul Permendikbudristek 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi. Kehadiran peraturan menteri ini jelas “menelikung” karena RUU TP-KS yang dianggap sebagai payung hukum belum disahkan.
Sungguh cara licik untuk mengegolkan aturan “liberalisasi pergaulan” yang selama ini ditengarai juga ada dalam RUU TP-KS. Adanya frasa “sexual consent” sebagai jalan untuk mencegah kekerasan seksual jelas melanggar norma kesusilaan dan aturan Islam. Ini karena berarti melegalkan perzinaan di lingkungan kampus.
Bagi pegiat gender, kehadiran Permen ini merupakan angin segar untuk mengatasi kekerasan seksual di perguruan tinggi. Mereka semua begitu yakin bahwa terbitnya Permen ini dan pengesahan RUU TP-KS akan menjadi solusi kekerasan terhadap perempuan.
Begitu juga adanya UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak yang bahkan sudah direvisi dua kali tidak mampu menghentikan kekerasan seksual terhadap anak meskipun ada pemberatan hukuman, denda rupiah yang berlipat, bahkan hukuman kebiri kimia.
Fakta ini membuktikan regulasi masih tidak mampu menjadi solusi. Sekularisme telah makin merasuk dalam diri manusia. Agama makin jauh terabaikan sehingga beratnya hukuman tidak mampu menumbuhkan rasa takut untuk bertindak kejahatan.
Menguatnya liberalisme perilaku makin membuat manusia kehilangan kemanusiaannya. Oleh karena itu, tuntutan pengesahan RUU TP-KS dan dukungan terhadap Permendikbudristek 30/2021 tidak layak menjadi harapan untuk melindungi perempuan dan anak dari kekerasan seksual. Ungkapan “aturan ada untuk dilanggar” seolah makin nyata adanya. Kebebasan individu yang dijunjung tinggi akan terus memberi celah terjadinya pelanggaran.
Lupakah mereka bahwa Dialog konstruktif pemerintah RI dengan Komite Convention on Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) pada 28–29 Oktober 2021 lalu realitanya saat ini tidak mampu mewujudkan perlindungan terhadap perempuan meski komitmen pemerintah nasional maupun global tidak pernah berhenti dinarasikan.
Oleh sebab itu, jelaslah, berbagai regulasi dan kampanye tidak memiliki kekuatan mengadang arus kejahatan ini. Bahkan, dapat kita katakan ‘gagal memberikan perlindungan hakiki’. Seandainya RUU TP-KS sah, kelak akan terus muncul tuntutan regulasi baru karena kegagalannya menyelesaikan akar masalah.
Perempuan dan anak butuh sistem yang mampu memberikan perlindungan hakiki. Bukan regulasi semu tidak bergigi yang tegak di atas asas sekularisme dan melegalisasi liberalisasi perilaku. Hanya regulasi yang berasaskan akidah Islam akan mampu secara nyata mewujudkan perlindungan sejati.
Akidah ini akan membentuk ketakwaan individu yang mendorong untuk berperilaku baik terhadap sesama, termasuk terhadap perempuan dan anak. Berlaku baik adalah perintah Allah Taala. Salah satunya dalam QS Al-Baqarah: 195 yang artinya: “Dan berbuat baiklah. Sungguh Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.”
Rasulullah SAW juga bersabda, “Aku wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik kepada para wanita.” (HR Muslim 3729) “Sebaik-baik kalian adalah yang berbuat baik kepada keluarganya. Sedangkan aku adalah orang yang paling berbuat baik kepada keluargaku.” (HR Tirmidzi 3895)
Perempuan dan anak membutuhkan pemimpin negara akan menjadi perisai yang akan mewujudkan pelindungan secara nyata. Pemimpin ini akan melahirkan regulasi yang mampu menutup semua celah yang bisa memicu kekerasan terhadap perempuan dan anak secara menyeluruh dan komprehensif.
Semua itu hanya akan terwujud dengan tegaknya jhilafah Islamiah karena hanya khilafah yang mampu menerapkan aturan Allah secara kaffah dalam kehidupan.
Wallahu a'lam bishhawwab
Oleh: Mesi Tri Jayanti, S.H.
(Sahabat Topswara)
0 Komentar