Topswara.com -- Jika menilik berita paling hangat dibicarakan selama tahun 2021 tentu tak lepas dari kasus pelecehan dan kekerasan seksual. Bahkan jumlahnya semakin bertambah.
Berbagai kasus kekerasan pun terjadi pada banyak tempat, di jalan, pasar, institusi pendidikan seperti sekolah, kampus, bahkan pondok pesantren hingga rumah yang seharusnya menjadi tempat aman.
Kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang terjadi seperti fenomena gunung es. Kasus yang viral seperti pelecehan mahasiswi oleh dosen FISIP Universitas Riau dan Universitas Sriwijaya, kasus pengajar pondok pesantren yang memperkosa sejumlah santrinya hingga hamil.
Hingga kasus Novia Widyasari yang depresi hingga bunuh diri setelah setelah hamil dan dipaksa aborsi. Ketika kasus viral, pandangan masyarakat tertuju dan menggugat. Barulah pihak berwenang bergerak untuk mengusut.
Menjamurnya kasus kekerasan seksual terutama di kampus, akhirnya mendapakan perhatian resmi dari pemerintah dengan disahkannya Permendikbud No. 30 Tahun 2021. Peraturan ini diharapkan dapat mengurangi tindak kekerasan seksual di lingkungan kampus dan memberikan perlindungan kepada korban.
Namun alih-alih memberi solusi, banyak pihak menilai bahwa kebijakan Nadiem Makarim sebagai Menteri sangat kental dengan nuansa sekularisme dan memberikan ruang bagi seks bebas dengan dalih konsen antar pasangan.
Akar Masalah Kekerasan Seksual
Setiap masalah tentu memiliki akar, hulu, penyebab yang perlu untuk dicari dan dipecahkan. Namun sepertinya pemerintah tak pernah melihatnya sebagai sesuatu yang perlu diselesaikan.
Terbukti dengan kebijakan yang ada hanyalah sebatas memberikan undang-undang yang diharapkan dapat memberi hukuman berat bagi pelaku seperti keluarnya Permendikbud No. 30 Tahun 2021 atau RUU PKS. Pemerintah hanya terfokus pada hilir dan hukuman namun gagal dalam memahami mengapa kasus ini selalu terulang dengan aktor yang berbeda.
Sebenarnya tak sulit untuk mengenali akar masalah dari kekerasan seksual yang ada. Naluri seksual adalah hal yang fitrah Allah berikan kepada manusia sebagai bagian dari gharizah nau’ untuk mempertahankan kelestarian manusia di muka bumi.
Naluri ini tentu harus diatur untuk disalurkan sesuai syariat agar sesuai dengan tujuan penciptaan. Banyak sekali aturan mulai dari pergaulan lawan jenis hingga hukum pernikahan.
Namun dalam sistem sekuler kapitalis dimana standar kehidupan bukanlah syariat namun hawa nafsu dan kesenangan materi. Naluri ini diobral bebas dan bahkan menjadi sarana kapitalisme untuk mengeruk untung sebanyak-banyaknya.
Pacaran dianggap normal, hubungan seksual dianggap hak asasi. Belum lagi tayangan dan konten media yang menarik syahwat selalu dimunculkan. Industri film hingga fashion berlomba mempertontonkan aurat dengan dalih karya seni.
Masyarakat yang tak dibekali dengan ketakwaan akan semakin terkikis akal sehat mereka. Perempuan yang tak menjaga kehormatan, laki-laki yang tidak menjaga kewarasan merupakan akar dari semua permasalahan kekerasan seksual. Ditambah dengan solusi syariat berupa menikah semakin dipersulit dan dianggap mengekang. Tak heran kasus asusila semakin menggurita.
Peraturan pemerintah pun tidak banyak membantu, jika penyebab tak dihentikan. Solusinya bukanlah sekedar membuat peraturan-peraturan baru ditambah membebek ke Barat sebagai inspirasi kebijakan. Ada sistem yang harus diubah besar-besaran.
Islam Kaffah Solusi Permasalahan Kekerasan
Sebagai Muslim, patutnya kita meyakini bahwa hidup di dunia bukanlah milik kita sepenuhnya. Ada sunnatullah dan syariat yang harus diterapkan agar kehidupan berjalan rahmatan lil alamin. Namun sayang tak semua orang bahkan sedikit sekali Muslim yang menyadarinya.
Ketaatan umat dan pemerintah pada syariat serta ketakwaan menjadi syarat utama untuk menyelesaikan masalah ini. Mulai dari aturan interaksi antar laki-laki perempuan yang harus sesuai syariat hingga penjagaan agar apa yang dikonsumsi umat dari media-media dan ruang publik bukanlah sesuatu yang memicu syahwat. Namun sesuatu yang menambah ketaatan kepada Allah.
Sehingga fokus masyarakat bukanlah bagaimana memenuhi hawa nafsu dan menyibukan diri dengan kesenangan duniawi. Namun fokus berkarya memaksimalkan potensi demi kemuliaan Islam. Semua itu tak akan pernah terwujud dalam sistem demokrasi sekularisme yang menjadikan hawa nafsu sebagai Tuhannya.
Maka sudah seharusnya kita mencari sistem alternatif yang bisa menyelesaikan semua permasalahan yang ada. Menjaga kemuliaan wanita sekaligus melindungi generasi dari ancaman kekerasan seksual.
Wallahu a'lam bishawab
Oleh: Nadia Lidzikri Kamila
(Sahabat Topswara)
0 Komentar