Topswara.com -- Telah menjadi trend baru setiap kali memasuki akhir tahun dan awal tahun baru, selalu diikuti dengan kenaikan harga bahan kebutuhan pokok. Kenaikan harga kebutuhan pokok tersebut sangat mencolok terjadi pada cabai, minyak goreng dan telur. Harga cabai di tingkat konsumen menembus harga Rp100.000 per kilogram.
Bahkan di wilayah timur Indonesia seperti di Ambon, harga cabai tembus pada angka Rp170.000 per kilogram. Sedangkan minyak goreng curah harganya mencapai lebih dari Rp18.000 per kilogram. Dan telur harganya Rp30.000 per kilogram.
Peneliti Core Indonesia, Dwi Andreas menyatakan bahwa kenaikan harga-harga kebutuhan pokok tersebut telah melewati harga psikologis, namun demikian ia menyatakan bahwa tidak perlu khawatir karena harga-harga tersebut akan berangsur turun pada bulan Februari nanti atau pada kuartal I- 2022.
Ia juga menyatakan bahwa kenaikan harga cabe disebabkan oleh fenomena alam la nina sehingga petani gagal panen. Adapun penyebab kenaikan harga minyak goreng adalah karena tingginya permintaan kelapa sawit dari luar negeri, yang kemudian dimanfaatkan oleh para pelaku usaha untuk meraih keuntungan atas kenaikan harga komoditas tersebut.
Begitu juga dengan kenaikan harga telur, dianggap wajar karena hingga November lalu produksi telur melimpah, sehingga harganya anjlok. Diperkirakan akan turun kembali pada bulan Februari hingga April dan diprediksi akan naik kembali setelahnya karena akan memasuki bulan Ramadhan dan Idulfitri. Begitulah siklusnya, setiap kali ada momen tertentu terutama pada bulan-bulan tertentu, selalu diikuti dengan kenaikan harga bahan pokok.
Setiap kenaikan harga apalagi di tengah kondisi ekonomi yang sulit seperti saat ini. Dimana setelah dua tahun lebih pandemi Covid-19 menghantam seluruh dunia termasuk Indonesia, tentu hal ini akan berdampak menurunnya kesejahteraan pada masyarakat.
Biaya hidup semakin tinggi, sementara banyak kepala keluarga yang kesulitan untuk mencari nafkah. Jangankan yang tak punya pekerjaan tetap, mereka yang sebagai pegawai di instansi pemerintahan maupun swasta juga kesulitan untuk mengatur pengeluaran mereka. Lagi-lagi lebih besar pasak daripada tiang.
Kenaikan harga kebutuhan pokok di bulan-bulan tertentu seperti akhir dan awal tahun baru ini selalu saja berulang. Artinya tidak ada antisipasi dari penguasa untuk mencegah terjadinya kenaikan harga. Secara garis besar, harga kebutuhan pokok di pasar dipengaruhi oleh tiga hal.
Pertama, tingkat permintaan (demand side), kedua, ketersediaan stok baik dari produk domestik maupun impor (supply side), dan ketiga, kelancaran distribusi hingga ke retail
Ketiga faktor tersebut sesungguhnya tak lepas dari konsep tata perekonomian. Negara kita dengan corak sistem ekonomi kapitalisme liberal, menjadikan peran negara mandul, akibatnya tunduk pada para korporasi.
Para korporasi pangan /mafia pangan dan kartel (spekulan) inilah yang menguasai mulai dari kepemilikan lahan, rantai produksi-distribusi, distribusi barang hingga kendali harga pangan.
Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementrian pertanian mengakui bahwa sulit bagi pemerintah untuk menstabilkan harga karena pemerintah tidak dapat menguasai 100 persen produksi pangan.
Sistem Islam Mampu Mengstabilkan Harga
Sistem Islam yang terwujud dalam khilafah islamiyah, terbukti mampu memberikan solusi berbagai problematika yang dialami manusia. Islam menetapkan bahwa penguasa memiliki tugas sekaligus kewajiban dalam meri'ayah berbagai kepentingan rakyatnya.
Terkait upaya dalam menstabilkan harga di pasar, ada dua mekanisme yang akan dilakukan oleh kalifah.
Pertama, memastikan ketersediaan stok pangan agar supply dan demand stabil. Negara akan mendorong produksi pangan dalam negeri dengan melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian.
Intensifikasi dapat dilakukan dengan memberikan subsidi pagi para petani, menyediakan berbagai sarana dan prasarana bagi para petani, mulai dari benih, pupuk, dan berbagai alat dan teknologi yang mendukung bagi upaya peningkatan produksi pertanian.
Sementara ekstensifikasi bisa dilakukan dengan perluasan lahan pertanian. Tidak akan dibiarkan lahan-lahan produktif tak tergarap. Jika pemilik lahan produktif tidak dapat mengelola tanahnya alias membiarkan lahannya tidur selama tiga tahun, maka negara akan mengambil alih tanah tersebut untuk di berikan kepada yang mampu mengelola.
Negara juga akan melakukan proses distribusi dari wilayah yang surplus ke wilayah yang kekurangan. Jika karena faktor alam yang mengakibatkan semua wilayah kekurangan, maka kebijakan impor dapat diambil sebagai solusi temporal untuk memenuhi kekurangan stok pangan.
Kedua, menghilangkan distorsi pasar dengan melarang penimbunan, intervensi harga dan sebagainya. Islam tidak membenarkan penimbunan dengan menahan stok agar harganya naik. Abu Umamah al-Bahili berkata: “Rasulullah SAW melarang penimbunan makanan” (HR al-Hakim dan al-Baihaqi).
Jika pedagang, importir atau siapapun menimbun, ia dipaksa untuk mengeluarkan barang dan memasukkannya ke pasar. Jika efeknya besar, maka pelakunya juga bisa dijatuhi sanksi tambahan sesuai dengan kebijakan khalifah dengan mempertimbangkan dampak dari kejahatan yang dilakukannya.
Di samping itu Islam tidak membenarkan adanya intervensi terhadap harga. Rasul bersabda: “Siapa saja yang melakukan intervensi pada sesuatu dari harga-harga kaum Muslimin untuk menaikkan harga atas mereka, maka adalah hak bagi Allah untuk mendudukkannya dengan tempat duduk dari api pada Hari Kiamat kelak" (HR Ahmad, al-Hakim, al-Baihaqi)
Adanya asosiasi importir, pedagang, dan sebagainya jika itu menghasilkan kesepakatan harga, maka itu termasuk intervensi dan dilarang.
Demikianlah syariah Islam dalam pengaturan pangan. Masih banyak hukum-hukum syariah lainnya, yang bila diterapkan secara kaffah maka akan dapat menjamin kestabilan harga pangan, ketersediaan komoditas, swasembada, dan pertumbuhan yang disertai kestabilan ekonomi dapat diwujudkan.
Wallahu a'lam bishawwab
Oleh: Ummu Salman
(Pegiat Literasi)
0 Komentar