Topswara.com -- Pendidikan adalah salah satu sektor yang mendapat perhatian khusus selama pandemi ini. Beragam inovasi kebijakan telah dikeluarkan oleh Kemendikbudristek dan kini kurikulum prototipe yang diatur melalui Keputusan Mendikbudristek 162/2021 tentang Sekolah Penggerak dianggap menjadi solusi jitu.
Apalagi dalam beberapa kesempatan Kemendikbudristek Nadiem Makarim menegaskan bahwa pihaknya akan membasmi tiga dosa dalam sistem pendidikan nasional yaitu intoleransi, perundungan, dan kekerasan seksual.
Dalam rangka menghapus intoleransi di dunia pendidikan ini, Nadiem Makarim menyebut pihaknya sedang menyiapkan materi kurikulum moderasi beragama untuk disisipkan dalam kurikulum program sekolah penggerak. Nadiem mengatakan rancangan itu disusun bersama Kementerian Agama.
Kita tahu kurikulum yang dimaksud di sekolah penggerak itu adalah Kurikulum Prototipe ini, yang kesimpulannya memang dirancang untuk menguatkan moderasi beragama di lingkungan sekolah.
Pada dasarnya, kurikulum prototipe dirancang dari sebuah hasil evaluasi kurikulum sebelumnya yang dianggap terlalu banyak membebani, dan tidak sesuai dengan kemampuan murid. Karena beratnya beban kurikulum, guru hanya bisa memberikan pembelajaran secara seragam kepada murid. Karenanya, pembelajaran berorientasi murid dianggap lebih tepat sasaran dan produktif. Dengan ini guru dituntut memahami kondisi murid dan memberikan pembelajaran sesuai kemampuan murid.
Kurikulum prototipe memberi kebebasan kepada murid dan guru sesuai kondisi lapang. Bagi murid yang ingin maju, mereka bisa lebih cepat meraih target. Namun, bagi yang lemah, tentu menjadi pekerjaan berat bagi guru untuk terus mengawal dan meng-upgrade muridnya.
Pembelajaran yang berorientasi murid ini membutuhkan kreativitas dan kemampuan guru dalam memperhatikan semua murid. Padahal faktanya jumlah guru kita itu terbatas. Belum lagi, tidak sedikit guru yang disibukkan dengan berbagai tugas sekolah, bahkan pekerjaan sampingan. Jadi, tentu ini bukan pekerjaan mudah. Apalagi jika problem sosial ekonomi guru masih terus menghimpit.
Yang paling harus diwaspasdai, pembelajaran berorientasi murid ini juga rawan menghasilkan kesenjangan. Karena dalam prosesnya sangat tergantung pada kapasitas guru dan sekolah.
Jika sekolah memiliki sarana dan prasarana yang memadai, serta guru yang kompeten, maka proses pembelajaran akan berjalan dengan mulus. Akan tetapi bagaimana dengan sekolah yang fasilitasnya minim dan jumlah gurunya yang minus? Maka, dengan kondisi sekarang (tidak meratanya kualitas dan kuantitas guru), kesenjangan mutu pendidikan akan terbuka lebar. Dengan kata lain, kebijakan yang ada akan gagal menjamin pemerataan mutu pendidikan.
Sehingga perubahan kurikulum dari masa ke masa adalah proses tambal sulam dari masa ke masa adalah proses tambal sulam atas berbagai kelemahan dari kurikulum sebelumnya.
Akhirnya kurikulum prototipe ini selain gagal menjamin pemerataan mutu pendidikan, generasi pun selalu menjadi kelinci percobaan akibat perubahan kurikulum.
Mungkin, secara teknis kurikulum prototipe ini bisa jadi lebih fleksibel dibanding kurikulum sebelumnya yaitu Kurikulum 2013. Sebagaimana hasil evaluasi dokumen kurikulum 2013 yang disampaikan oleh Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan, yang salah satunya disebutkan bahwa kompetensi kurikulum 2013 terlalu luas, sulit dipahami, dan diimplementasikan oleh guru. Komponen perangkat pembelajarannya pun terlalu banyak dan menyulitkan guru dalam membuat perencanaan.
Sementara pada kurikulum prototipe, semua itu disederhanakan dan guru bisa lebih fleksibel dalam melakukan pembelajaran. Namun, sekali lagi ini hanyalah pada tataran teknis, dan itu pun sangat tergantung pada kapasitas guru itu sendiri.
Sementara kurikulum yang unggul itu bukan saja memiliki keunggulan dari aspek teknis. Tapi yang lebih esensi adalah bagaimana output generasi diarahkan dengan kurikulum tersebut. Maka, di sini sangat tergantung pada mindset atau paradigma yang melandasi kurikulum tersebut.
Selama paradigma yang melandasi kurikulum adalah paradigma yang bathil (bukan dari wahyu Allah SWT, maka tidak akan menghasilkan output yang unggul. Output yang dihasilkan hanyalah generasi yang terampil secara kompetensi, tetapi minim dari akhlakul karimah.
Sebagai gambaran umum, negara (khilafah) yang menyelenggarakan sistem pendidikan Islam berdasar akidah Islamlah yang memiliki kurikulum yang unggul. Karena dengan kurikulum yang dibangun berlandaskan akidah Islam, pendidikan ditujukan untuk mewujudkan manusia berkepribadian Islam di samping membekali manusia dengan ilmu dan pengetahuan berkaitan dengan kehidupan.
Sehingga output generasi yang dihasilkan dari kurikulum Islam ini adalah generasi yang unggul, yakni generasi yang tangguh dalam mengarungi kehidupan dunia sekaligus mantap dalam mempersiapkan kehidupan akhiratnya.
Wallahu a'lam bishshawab
Oleh: Widhy Lutfiah Marha
(Pendidik Generasi)
0 Komentar