Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Generasi Butuh Pondasi Keimanan Bukan Wawasan Kebangsaan


Topswara.com -- Kalau panduan orang tua tentang tumbuh kembang balita adalah buku KIA (Kesehatan Ibu dan Anak), kini di Yogyakarta ditambah kartu si Kumbang (Kartu Menuju Kebangsaan). Kartu tersebut bisa dibawa saat pertemuan Bina Keluarga Balita atau ketika anak masuk PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) atau TK (Taman Kanak-kanak). Inilah kartu untuk mengukur sejauh mana anak usia nol sampai empat tahun bisa memahami dan mengenal wawasan kebangsaan.

Memang program ini baru berjalan sekitar hampir dua bulan sejak diluncurkan 2 Nopember 2021 lalu oleh Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Yogyakarta. Harapannya generasi akan memiliki karakter dan jiwa nasionalisme yang kuat. 

Sehingga akan mampu menghadapi globalisasi dan dunia yang tumbuh seolah tanpa ada batas. Kondisi tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi orangtua untuk mengenalkan dan menumbuhkan semangat nasionalisme kepada anak (antaranews.com, 2/11/2021).

Tak dipungkiri arus globalisasi membawa dampak pada negeri ini. Seperti gaya hidup hedonis, pergaulan bebas, narkoba, virus kaum pelangi, dan sebagainya. Namun sejatinya untuk mengadang globalisasi ini tidak cukup hanya menumbuhkan wawasan kebangsaan dan jiwa nasionalisme.

Alih-alih mempertahankan nilai luhur budaya, yang ada justru masyarakat terseret pada gaya hidup yang datang bersama dengan globalisasi tersebut. Hal ini karena masuknya globalisasi tidak dipandang sebagai ancaman secara fisik yang harus dihadang dengan senjata. Wajar bila rasa nasionalisme tidak muncul.

Justru globalisasi merupakan "senjata" ampuh dari suatu ideologi. Maka jelas tidak apple to apple jika mengadang globalisasi dengan wawasan kebangsaan saja. Karena wawasan kebangsaan hanyalah nilai-nilai semata dan bukan suatu ideologi. Satu-satunya cara adalah melawan ideologi dengan ideologi. 

Arus globalisasi sejatinya metode yang dilakukan oleh ideologi kapitalisme. Sebuah ideologi yang berasaskan sekularisme, yaitu pemisahan agama dari kehidupan. 

Agama tidak boleh hadir dalam ranah kehidupan kecuali hanya di area privat dan rumah ibadah. Alhasil gaya hidup yang dibawa ideologi kapitalisme ini menjunjung tinggi kebebasan bagi manusia. Jelas kondisi ini membahayakan umat.

Karenanya menanamkan wawasan kebangsaan pada anak usia dini melalui parenting kebangsaan justru tidak menyelesaikan masalah melawan arus globalisasi. Alih-alih menyelesaikan masalah, justru memunculkan masalah baru pada generasi. 

Sudah terserang arus globalisasi, juga lemah dari sisi keimanan. Padahal usia dini merupakan momentum yang tepat untuk menanamkan pondasi keimanan. Pondasi keimanan yang kokoh bak akar yang kuat yang akan menghasilkan sikap yang tegas dalam melawan kemungkaran dan menegakkan kemakrufan. 

Kehadiran anak merupakan suatu amanah yang wajib dijaga. Anak terlahir dalam keadaan fitrah, termasuk fitrah keimanan. Maka sudah seharusnya orangtua menanamkan pondasi keimanan yang benar. Tanggung jawab orangtua ini sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW. 

Diriwayatkan dari Abi Hurairah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Setiap anak dilahirkan dalam kondisi fitrah kecuali orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari Muslim)

Akidah Islam yang kokoh melahirkan kesadaran untuk tunduk dan patuh pada aturan Allah SWT sebagai konsekuensi dari keimanan. Standar halal dan haram menjadi filter atas ide-ide dan pemikiran yang ada, sehingga mampu menyikapi dengan tepat. 

Inilah gambaran akidah Islam yang merupakan asas dari ideologi Islam. Akidah inilah yang seharusnya ditanamkan pada generasi. Pada anak usia dini. Inilah ideologi yang pantas disandingkan dengan ideologi pembawa globalisasi secara apple to apple. Karenanya generasi butuh ditanamkan pondasi keimanan, bukan wawasan kebangsaan. 

Wallahu a'lam bishawab


Oleh: Erwina 
(Sahabat Topswara)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar