Topswara.com -- Siapa yang tak mengenal Eijkman? Yang merupakan aset ibu pertiwi dalam penanganan wabah. Prestasinya yang mampu menghasilkan penemuan penyebab sekaligus cara pengobatan berbagai penyakit. Bahkan, saat dihadapkan pada pandemi Covid-19 yang menerjang Indonesia, Eijkman mengambil peran di barisan terdepan untuk mendeteksi dan meneliti virus Corona hingga pengembangan vaksin merah putih.
Namun, belum lama ini pemerintah mengeluarkan kebijakan terkait peleburan Tim Waspada Covid-19 dari Lembaga Eijkman (WASCOVE) ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Dilansir dari detiknews.com (3/1/2022) bahwa mulai tanggal 1 Januari 2022, LBM Eijkman akan berintegrasi dengan Kedeputian Infrastruktur Riset dan Inovasi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Dampak dari adanya peleburan ini memungkinkan terjadi dalam dua hal, yaitu masalah SDM dan persoalan quality control. Seperti yang disampaikan oleh pelaksana tugas Kepala Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman, Wien Kusharyoto. Beliau mengatakan ada 113 pegawai honorer yang diberhentikan kontraknya. Sejak terjadi peleburan ini, tidak diperbolehkan lagi adanya tenaga honorer atau PPNPN sesuai kebijakan BRIN (Tempo.co, 2/1/2022)
Kebijakan ini menimbulkan tanda tanya besar, ada apa dibalik peleburan ini? Di saat pandemi yang masih belum usai dan adanya varian baru. Justru, Eijkman memiliki peran yang sangat penting dalam penanganan virus ini. Namun, kenapa Eijkman diambil alih oleh BRIN? Apakah ada motif politis di balik kebijakan ini?
Masalah SDM Eijkman yang diberhentikan akan menjadi polemik bagi masyarakat jika tidak ada tanggung jawab dari pemerintah. Di masa pandemi saat ini, sangat sulit jika harus mencari pengganti ilmuwan yang sudah berkompeten lama dalam penanganan virus.
Namun, dengan dalih LBM Eijkman selama ini bukan lembaga resmi pemerintah. Sehingga, hal ini menyebabkan para PNS periset tidak dapat diangkat sebagai peneliti penuh. Di sisi lain, karena LBM Eijkman sudah banyak merekrut tenaga honorer yang tidak sesuai ketentuan. Ini menjadi alasan terbesar pemerintah melakukan peleburan Eijkman ke BRIN.
Selain itu, dikhawatirkan dengan adanya peleburan ini akan menghambat dan mengebiri rencana dari lembaga Eijkman untuk mengembangkan riset biomolekuler. Dalam hal ini, termasuk dalam pengembangan vaksin dalam negeri. Diketahui, lembaga Eijkman sedang melakukan pengembangan vaksin merah putih. Namun, adanya peleburan ini vaksin merah putih bisa saja berlanjut atau jalan ditempat bahkan mandeg.
Kebijakan ini menuai pro-kontra dari berbagai kalangan. Pasalnya, BRIN sendiri terkait dengan partai politik. Terlebih, struktur organisasi dari BRIN sejak awal tidak bisa dipisahkan dari partai politik tertentu.
Diketahui, Ketua Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Megawati Soekarno Putri, yang merupakan politisi dan pernah menjabat sebagai presiden RI. Latar belakang pendidikan beliau sama sekali tidak berkaitan dengan riset. Apakah mungkin akan selaras dengan posisi beliau yang saat ini menjabat sebagai ketua dewan pengarah BRIN?
Jika politisi menduduki posisi di lembaga riset, tidak menutup kemungkinan lembaga tersebut akan terpolitisi. Sumber dana penelitian akan menjadi perebutan bagi pihak yang ikut andil di dalamnya. Dengan kata lain, dana penelitian tersebut akan dijadikan justifikasi bagi kepentingan asing.
Selain itu, faktor ekonomi mendominasi kebijakan ini. Pasalnya, BRIN sendiri akan memberikan dampak ekonomi dari berbagai riset dan inovasi yang dilakukan. Inilah yang dinamakan penelitian berbasis komersialisasi berasaskan investasi.
Dalam sistem kapitalisme, semua kebijakan harus berasaskan pada materi. Kebijakan yang dilakukan harus memberikan keuntungan besar. Tanpa melihat dampak dari suatu kebijakan tersebut. Padahal, riset dan inovasi seharusnya dilakukan untuk kepentingan masyarakat tanpa adanya unsur komersial. Namun faktanya, pemerintah selalu mencari celah untuk merebut sumber dana dalam lembaga penelitian sekalipun.
Berbeda halnya jika pengaturan di negeri diatur dalam sistem Islam. Islam adalah agama paripurna. Islam tidak hanya mengatur aspek ibadah saja, akan tetapi mengatur seluruh aspek kehidupan. Dalam hal ini juga mencakup dalam aspek riset dan inovasi.
Pemimpin dalam sistem Islam, yang disebut sebagai khalifah akan memilih seorang pemimpin dalam lembaga riset. Pemimpin yang dipilih sesuai dengan capability dalam bidang riset dan inovasi, bukan seorang politisi.
Bahkan, pemimpin dalam sistem Islam akan memfasilitasi para peneliti yang melakukan riset dan inovasi. Baik dalam hal materi maupun sarana dan prasarana dalam menunjang riset tersebut. Selain itu, para peneliti akan diberikan fee dan penghargaan yang pantas. Kompetensi mereka akan diapresiasikan karena telah berjasa pada negara.
Sebagai seorang khalifah yang menjadikan Islam sebagai landasan dalam memimpin suatu negara, tentu saja akan mengutamakan kemaslahatan rakyat bukan kepentingan politik asing. Begitupun dalam hal riset dan inovasi, hasil penelitian tidak akan dijadikan bisnis yang bersifat komersial. Akan tetapi, menjadi kebutuhan dan kepentingan masyarakat.
Dengan demikian, kita harus menyadari bahwa peleburan Eijkman ke BRIN bukanlah solusi untuk meningkatkan riset dan inovasi, melainkan ada unsur politisasi dan ekonomi. Sudah saatnya, kita kembali kepada sistem Islam yang terbukti selama 13 abad mampu menjadi mercusuar dunia dalam hal riset, inovasi dan teknologi.
Wallahu a'lam bishawwab
Oleh: Novriyani, M.Pd.
(Praktisi Pendidikan)
0 Komentar