Topswara.com -- Ketika masuk ke tanah Jawa secara kultural oleh para Wali, yang kemudian dilanjutkan secara formal dengan berdirinya sebuah Kesultanan, negeri Jawa telah berhasil disatukan dengan Islam secara elegan.
Dimasa sebelumnya, belum ada satu agama pun yang mampu menyatukan Jawa karena pada umumnya agama hanya dipeluk oleh para penguasa. Sedangkan rakyatnya hanyalah sebagai objek penderita yang dipisahkan dengan kasta. Sehingga berganti wangsa, berganti pula agama resmi negara.
Berbeda dengan Islam. Islam telah menyelesaikan pertanyaaan mendasar kehidupan dengan jawaban yang terang benderang, memuaskan akal, menentramkan hati, dan sesuai dengan fitrah penciptaan, sehingga persebarannya mengakar pada masyarakat awam kemudian naik ke struktural pejabat pemerintahan.
Pada akhirnya kekuasaan Islam berhasil menyatukan seluruh rakyat Jawa termasuk Madura dengan aturan yang integral.
Inilah masa-masa keemasan Islam yang diawali dengan berdirinya Demak Bintoro yang mengatur rakyatnya dengan Islam lalu dilanjukan dengan Pajang, Jepara, sampai berdirinya kesultanan Mataram di Jogjakarta.
Namun, keberhasilan dakwah Islam sampai berada di kekuasaan pada akhirnya harus dirusak oleh ego dan syahwat kekuasaan.
Contohnya pada akhir kedigjayaan Kesultanan Demak, lalu berdiri Kesultanan mataram di bumi Mentaok, Aria Pangiri sebagai pewaris kesultanan Islam Demak tidak fokus pada usaha membangkitkan keterpurukan Demak akibat perebutan kekuasaan sebelumnya, malah justru tampak bernafsu sekali untuk menguasai Mataram. Pada akhirnya Kesultanan Demak bubar, dan hanya menjadi kadipaten dibawah Mataram.
Inilah akhir dari Institusi legal formal Kesultanan Islam Demak Bintoro yang merupakan warisan para Wali dimana mereka diutus Kekhalifahan Turki Utsmani untuk mendakwahkan Islam di tanah Jawi.
Begitu pula pada Kesultanan Islam Mataram yang menjadi penerus kejayaan Islam di Tanah Jawi. Banyak sekali 'urf Islam yang diadopsi. Diantara adalah pengadilan serambi, dimasjid Agung Kesultanan Mataram.
Sejak Amangkurat 1 naik tahta, disinilah kehancuran institusi Islam kemudian mulai terjadi.
VOC yang tadinya hanya serikat dagang di Jayakarta, kemudian mulai bisa masuk dan ikut serta dalam perebutan kekuasan di internal Kesultanan Mataram, dikarenakan salah satu pihak yang bertikai meminta bantuan.
Bahkan Penerus perlawanan umat Islam di Jawa, Erucakra Sayyidin Panotogomo, yang mengobarkan api Perang Sabil (Perang Jawa), dimana telah merugikan Belanda sangat banyak dalam pertempuran yang belum pernah mereka alami sebelumnya, diwarnai dengan penghianatan karena nafsu kekuasan.
Akhirnya perang Jawa berakhir dengan kekalahan dipihak umat Islam.
Inilah kerugian Islam yang saat ini kita tanggung bersama-sama, sebagai anak cucu bekas kekuasaan Islam di Tanah Jawa.
Bahkan setelah perang Diponegoro, Belanda akhirnya berhasil mengubah persepsi, nilai-nilai, standar pemikiran dan perasaan, serta aturan yang selama ini penuh kemuliaan Islam.
Karena berhasil menguasai sebagian besar wilayah Jawa, Belanda memiliki kekuasan untuk merubah Sejarah. Tujuannya adalah agar terbentuk opini buruk tentang Islam yang telah mengobarkan perlawanan, serta betapa mulianya penjajah yang telah melindungi rakyat dari ekstremisme Islam.
Sistem hukum tidak lagi bersendi syari'ah, pengadilan surambi dibubarkan diganti dengan pengadilan landrat dan pengadilan untuk kaum ningrat. Bahkan ukuran benar dan salah, baik-buruk, terpuji dan tercela, semuanya telah dipaksakan untuk bersandar dari sudut pandang penjajah.
Inilah kenyataan, bahwa Jawa pernah disatukan dengan Islam, namun dihancurkan oleh ego dan nafsu kekuasaan.
Diujung jaman Mulkan jabriyatan ini, jangan sampai kita ikut menjadi faktor kerugian dakwah Islam, hanya karena ingin mendapatkan pengakuan dan kekuasaan.
Ingat ... Dunia hanya sementara, akhirat selamanya!
Oleh: Trisyuono Donapaste
Aktivis Penggerak Perubahan
0 Komentar