Topswara.com -- PT PLN (Persero) menyatakan masa krisis batu bara belum terlewati. Meski perseroan baru saja menerima pasokan sebesar 3,2 juta ton dari pemilik Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). (Okefinance, 04/01/2022).
Lembaga riset Institute for Essential Service Reform (IESR) mengungkapkan faktor fundamental krisis batu bara yang terjadi di PLN. Menurut Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa ketidakefektifan kewajiban pasokan atau Domestic Market Obligation (DMO) sebesar 25% dari produsen menjadi sebab utamanya.
Indonesia terancam menghadapi krisis listrik akibat defisit pasokan batubara di pembangkit PLN. Ketersediaan batu bara diperkirakan di bawah batas aman untuk mencukupi kebutuhan selama 15 hari. Pemerintah pun melalui Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) baru-baru ini mengeluarkan kebijakan pelarangan ekspor batubara bagi perusahaan batubara. Kebijakan ini diberlakukan selama satu bulan, terhitung sejak 1 Januari hingga 31 Januari 2022. (Suara.com, 05/01/22).
Sejak awal kesalahan dalam pengelolaan batu bara adalah diserahkan kepada perusahaan swasta dan disandarkan kepada ekonomi kapitalistik. Dimana ekonomi kapitalis neo liberal hanya menguntungkan pihak yang berkepentingan. Wajar bila defisit batu bara dalam negeri menuai polemik. Baik dari pihak penguasa, pengusaha dan rakyat biasa.
Untuk mempertahankan ketersediaan energi listrik dalam negeri pemerintah Indonesia melalui menteri ESDM melarang ekspor batu bara selama bulan Januari. Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) menentang keras kebijakan menteri ESDM yang melarang ekspor batu bara dengan dalih kebijakan tersebut justru menimbulkan kerugian negara dengan hilangnya devisa lebih dari tiga milir dolar Amerika Serikat per bulan. Kebijakan tersebut juga mempengaruhi pasar di Asia Pasifik karena Indonesia sebagai pengekspor utama batu bara global. Mereka khawatir dunia akan gelap gulita bila pemberhentian ekspor batu bara tetap dilanjutkan. Selain itu, ketahanan energi seperti Cina, India dan Korea Selatan juga terancam.
Hampir seluruh Sumber Daya Alam (SDA) di Indonesia dikuasai oleh perusahaan swasta termasuk batu bara. Swasta menguasai sumber daya energi dan tambang. Padahal semua itu adalah aset negara yang seharusnya dikelola oleh negara untuk kesejahteraan rakyatnya. Namun, ketika SDA dikuasai pengusaha satu-satunya tujuan mereka adalah mencari profit. Kerakusan korporasi tidak pernah puas dan tidak berbelas kasih. Mereka tidak peduli dengan dampak yang ditimbulkan akibat aktivitas tambang yang dilakukan terhadap kondisi masyarakat dan lingkungan. Pada faktanya pembakaran batu bara justru memperparah krisis iklim global. Batu bara menjadi penyumbang emisi karbon terbesar di Indonesia sebesar 32 persen selama kurang lebih 20 tahun.
Sangat disayangkan pemerintah hanya bertugas sebagai “satpam” korporasi. Menjaga korporasi agar tetap beroperasi di tengah teriakan warga yang harus membayar mahal kebutuhan listrik mereka. Dalih penanganan tambang oleh asing akan lebih efektif dan menciptakan lapangan kerja bagi rakyat sekitar hanya utopis belaka. Pada kenyataannya peduduk sekitar tersingkir dengan masuknya TKA yang memang didatangkan ke Indonesia. Rakyat terus memakan janji palsu dan kenyataan yang menyakitkan. Padahal segala sumber daya alam termasuk energi dan tambang adalah milik rakyat untuk kemaslahatan mereka bukan untuk kesejahteraan pengusaha atau penguasa.
Pada faktanya korporasi hanya mengejar untung dengan melakukan ekspor besar-besaran. Mereka tidak peduli dengan kenaikan tarif listrik dan lemahnya ketahanan energi dalam negeri. Harga batu bara di luar negeri jauh lebih tinggi sehingga wajar bila para pengusaha memilih mengekspor batu bara dari pada memasok ke PLN dengan harga yang relatif lebih rendah.
Berbeda dengan sistem Kapitalis, Islam menetapkan SDA tidak boleh dikuasai atau dikelola oleh individu maupun perusahaan swasta. Melainkan negara harus mengelolanya sendiri dan kepemilikannya milik seluruh rakyat. Negara menjadi pengelola untuk memberi manfaat sebesar-besarnya untuk rakyat. Kalaupun ada individu atau perusahaan yang terlibat mereka hanya diberi upah kerja bukan bagi hasil. Jadi, perusahaan swasta tersebut tidak mempunyai hak kepemilikan atas sumber daya energi yang dikelola.
Rasulullah SAW bersabda: “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api". (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Hak kepemilikan umum tidak bisa dialihkan kepada siapapun.
Penguasa hanya sebagai pengelola sedangkan pengusaha hanya sebagai pekerja. Benarlah hukum syari’at mengatur untuk kemaslahatan bukan untuk kepentingan. Meskipun terkadang hati manusia terasa berat menerima, hawa nafsu harus tetap tunduk terhadap segala aturan-Nya. Karena, sepandai-pandainya manusia mengatur kehidupan bila tak bersandar aturan-Nya timbullah berbagai kerusakan yang menimpa manusia, alam semesta dan kehidupan. Pada masa kini telah terbukti kerusakan itu menimpa kita. Akibat manusia yang bersifat serakah, zalim dan rakus. Merampas hak orang lain untuk kepentingan dirinya dan kelompoknya.
Saatnya kembali kepada aturan Sang Pencipta untuk mengatur kehidupan dunia yang telah terbukti mampu menjaga sumber energi tersalurkan dengan optimal untuk kemaslahatan rakyat dan mampu menjaga keseimbangan alam tetap lestari. Wallahu a'lam bishshawab.
Oleh: Anisa Alfadilah
(Sahabat Topswara)
1 Komentar
Mencerahkan, penulisan kata "batubara" jangan lagi batu bara apatalagi itu judul. Tapi yang penting mencerahkan karena solusi sistem negara dalam pengelolaan batubara
BalasHapus