Topswara.com -- Potret buram nasib perempuan dan anak masih menjadi momok yang mengusik kehidupan bangsa ini. Tingginya kasus kekerasan yang dialami perempuan dan anak menjadi agenda penting untuk dituntaskan. Sehingga, begitu menyedot perhatian berbagai kalangan.
Upaya memerangi kekerasan seksual dan membantu pemulihan psikis serta fisik para korbannya, terutama anak-anak serta perempuan, terus dilakukan banyak pihak. Salah satu terobosan yang tengah didorong adalah penggunaan zakat untuk membantu korban kekerasan seksual.
Pusat Studi Islam Perempuan dan Pembangunan, Institut Teknologi dan Bisnis (ITB) Ahmad Dahlan Jakarta bekerja sama dengan Protection Internasional dan Pimpinan Cabang IMM Ciputat, pada tanggal 28/11/2021 menggelar webinar 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) bertajuk "Zakat bagi Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak," Ketua Dewan Syariah LazisMu Pusat Hamim Ilyas menyebut gagasan itu bisa dilakukan.
Hamim menyatakan bahwa dahulu salah satu yang berhak menerima zakat adalah korban perbudakan. Perbudakan seperti di masa lalu, kini sudah tidak ada. Saat korban kekerasan dan keluarganya terpuruk sehingga sandang, papan, pangan, pendidikan serta kesehatannya tak terpenuhi dengan baik, zakat sejatinya bisa diberikan kepada mereka yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari (kompas.id, 29/11/2021).
Hal senada diungkapkan oleh Yulianti Muthmainnah, Kepala Pusat Studi Islam dan Pembangunan (PSIPP) ITB Ahmad Dahlan Jakarta dan sekaligus penulis buku Zakat untuk Korban Kekerasan Perempuan dan Anak. Menurutnya, korban pemerkosaan seharusnya dapat memperoleh zakat. Ini karena zakat merupakan perintah Allah yang beriringan dengan perintah salat yang tertera dalam Al-Qur’an. Selain itu, Yulianti tegas mengatakan bahwa zakat itu untuk keadilan sosial, bukan sekadar mengentaskan kemiskinan.
Menurut Yulianti, perempuan korban kekerasan termasuk dari delapan golongan penerima zakat sebagaimana tercantum dalam QS At-Taubah: 60. Dia menyebutkan, golongan yang dapat memperoleh zakat salah satunya adalah adanya riqab (perbudakan). Akan tetapi, perbudakan ini bukan hanya berlaku untuk membebaskan budak, tetapi juga perbudakan modern, yaitu korban pemerkosaan. Oleh karenanya, korban kekerasan ataupun pemerkosaan juga dapat memperoleh zakat (tafsiralquran.id, 13/12/2021)
Salah Kaprah Reinterpretasi Riqab
Saat ini di tengah masyarakat sangat massif digulirkan berbagai narasi terkait penafsiran ulang nash-nash Al-Qur'an yang qath'i atau kritikan terhadap ajaran Islam. Salah satunya adalah wacana yang terkait mendistribusikan zakat kepada wanita dan anak korban kekerasan seksual. Upaya ini telah disuarakan oleh berbagai kalangan dalam semua lini kehidupan, namun arahnya bermuara pada moderasi beragama.
Jika dicermati, moderasi yang dimaksud di sini adalah tidak menolak paham-paham dari Barat termasuk toleransi beragama. Atau dengan kata lain kita bisa beradaptasi terhadap perkembangan kekinian dan tidak alergi terhadap nilai-nilai Barat atau nilai-nilai sekular.
Seruan untuk menafsirkan ayat Al-Qur'an agar tidak dipahami secara tekstual seringkali menjadi dalih untuk menyesuaikan nash dengan situasi dan kondisi, mengikuti kemaslahatan berdasarkan akal. Di bawah jubah moderasi, umat Islam akan digiring untuk mengkritisi ajaran agamanya sendiri, bahkan menafsirkan ayat-ayat berkaitan ibadah sesuai perspektif moderasi yang mengatasnamakan kemaslahatan manusia.
Sebagaimana dalam memaknai riqab dalam konteks sekarang, menurut mereka tidak boleh dipahami secara tekstual. Maka korban eksploitasi seksual bisa dikategorikan riqab yang berhak menerima zakat.
Metode ini tidaklah benar, karena Islam telah memiliki panduan dasar dalam menafsirkan ayat Al-Qur'an. Para ulama terdahulu sangat berhati-hati dalam memahami nash Al-Qur'an karena mereka takut hawa nafsu yang akan mengendalikan proses dalam menafsirkan ayat ataupun berijtihad.
Dalam logika berpikir kaum moderat, para feminis berdalih bahwa fikih merupakan hasil penentuan atau pemikiran manusia. Menurut mereka, manusia itu lemah dan mutlak dipengaruhi kondisi masyarakatnya ketika menentukan sesuatu. Bila seseorang manusia berhak menentukan status hukum suatu perbuatan, maka manusia yang lain pun berhak untuk melakukan kajian ulang, siapapun dia, baik mujtahid ataupun bukan.
Sesungguhnya, membiarkan akal secara bebas menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an sangatlah berbahaya. Sebab, hal ini berarti memposisikan akal manusia yang serba lemah sebagai penilai Al-Qur'an.
Ketika nash Al-Qur'an menunjukkan makna yang tidak sesuai dengan keinginan akalnya, muncullah penolakan terhadap sebagian ayat, keraguan terhadap penunjukan makna ayat (sekalipun ayat tersebut qath'i), yang ujung-ujungnya menganggap Al-Qur'an tidak relevan lagi untuk diterapkan saat ini.
Padahal, pengkajian terhadap ilmu-ilmu syariat dan tafsir harus memperhatikan sejumlah syariat dan adab. Hal ini bertujuan agar pengkajiannya dapat bersifat jernih dan memelihara posisi nash-nash Al-Qur'an sebagai wahyu Allah yang mulia.
Beberapa syarat yang harus dimiliki oleh seorang mufassir antara lain: pertama, keyakinan yang benar terhadap Al-Qur'an sebagai wahyu Allah.; kedua, bersih dari hawa nafsu; ketiga, terlebih dulu menafsirkan dari as-Sunnah; keempat, apabila tidak didapatkan penafsiran dalam as-Sunnah, ditinjau pendapat para sahabat, karena mereka yang lebih mengetahui tentang tafsir Al-Qur'an dan menyaksikan langsung berbagai indikator/qarinahnya;
Kelima, pengetahuan Bahasa Arab dengan segala cabangnya; keenam, pengetahuan tentang pokok-pokok ilmu yang berkaitan Al-Qur'an seperti qira'ah, ilmu ushul, asbab an-nuzul, nasikh mansukh, disertai dengan adanya pemahaman yang cermat dalam mengukuhkan suatu makna atas yang lain.
Selain persyaratan di atas, seorang mufassir juga harus sangat memperhatikan adab-adab. Seperti: niat yang baik, tujuan yang benar, jujur, taat, tawadhu, mulia, berani menyampaikan kebenaran sekaligus mempersiapkan dan menempuh langkah-langkah penafsiran secara baik.
Dis samping itu, dengan menganggap adanya perubahan historis-sosiologis mengharuskan revisi penafsiran, merupakan kaidah keliru yang menyebabkan sesat pikir pada umat. Karena melakukan aktivitas berdasarkan realitas yang ada. Apa yang dilakukan akan disesuaikan dengan keadaan.
Hukum potong tangan dan rajam bisa dihapus karena tidak sesuai dengan kondisi zaman. Kepemimpinan suami atas istri menjadi tidak perlu karena wanita sekarang dianggap mampu mandiri secara ekonomi. Wanita boleh menjadi kepala negara karena zaman telah memberi peluang bagi wanita untuk tampil dan menguasai sektor publik. Riqab zaman moderen adalah wanita korban kekerasan seksual. Demikian seterusnya.
Realita yang harusnya diupayakan solusinya sesuai dengan hukum Islam, akan berbalik menjadi acuan sumber pemikiran yang mereka anggap tak mungkin diubah lagi. Akhirnya, hukum dipaksa harus sesuai dengan realita yang bobrok dan rusak.
Padahal semestinya yang dilakukan adalah mempelajari realitas yang ada, kemudian mencari hukum Allah yang berkaitan dengan masalah itu dengan cara menggalinya dari Al-Qur'an dan sunah atau dari sumber yang diakui oleh syara.
Langkah selanjutnya adalah mengubah realita tersebut agar sesuai dengan yang diinginkan oleh Allah yang menurunkan wahyu berupa Al-Qur'an dan sunah.
Jika demikian, kiranya tidak keliru jika dikatakan bahwa pengarusan moderasi beragama menjadikan kaum Muslim tidak perlu berislam secara sempurna. Tetapi harus terbuka dengan mengakui keyakinan agama lain dan nilai-nilai dari luar, meski bertentangan dengan syariat Islam.
Di balik wacana moderasi, kaum Muslim digiring mengkritisi ajaran agamanya sendiri bahkan menafsirkan ayat-ayat berkaitan ibadah sesuai perspektif moderasi yang mengatasnamakan kemaslahatan manusia. Hal ini jelas berbahaya, sebab dapat mengakibatkan perpecahan kaum Muslim, pendangkalan akidah, pelemahan terhadap keagungan Islam, dan menghalangi kebangkitan berpikir pada umat.
Inilah cara pandang sekular yang memisahkan aturan agama dari kehidupan. Mengambil hukum dan mencari solusi atas masalah umat tidak berdasarkan nash syara yang sudah ditetapkan oleh Al-Qur'an, melainkan hanya dengan pertimbangan kemaslahatan saja. Inilah yang dijadikan dalih untuk memuluskan bergulirnya moderasi Islam.
Tentu kita tidak boleh menutup mata terhadap bahaya yang mengintai umat. Pastinya harus menolak wacana moderasi beragama, karena jelas-jelas merupakan ide Barat yang bertentangan dengan Islam dan sengaja didesain untuk menghalangi bangkitnya Islam Kaffah.
Zakat dalam Perspektif Islam
Apa yang dimaksud riqab? Bagaimanakah posisi seorang riqab dalam zakat? Apakah perempuan dan anak korban kekerasan seksual termasuk bagian dari delapan golongan ashnaf?
Allah berfirman didalam surat At-Taubah ayat 60 Artinya: "Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana." (TQS At-Taubah: 609)
Zakat adalah salah satu ibadah sebagaimana salat, puasa, dan haji. Hukum terkait zakat sebagaimana ibadah lainnya bersifat tawqîfiyyah (otoritas penuh) yang menjadi hak Allah SWT. Karenanya, ketentuan tentang zakat, seperti kapan dikeluarkan, berapa kadar dan ukurannya, kepada siapa diberikan, dan sebagainya, semua harus datang dari Allah SWT. Manusia harus menerima sepenuhnya, tidak boleh menafsirkan ulang serta mengutak-atik nash zakat atas nama kemaslahatan.
Dalam rumusan fikih, zakat bermakna sebagai sejumlah harta tertentu yang Allah wajibkan untuk menyerahkannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu. Kewajiban zakat tidak mengikuti keperluan negara ataupun kemaslahatan umat (Al Amwaal fii Daulah Al-Khilafah, Abdul Qodim Zallum).
Dalam tafsir Ibnu Katsir, penjelasan tentang ar-riqab adalah sebagai berikut:
Diriwayatkan dari Hasan al-Bashri, Muqatil bin Hayyan, ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz, Sa’id bin Jubair, An-Nakha’i, Az-Zuhri dan Ibnu Zaid, mereka berpendapat bahwa yang dimaksud dengan budak adalah al-mukatab (budak yang telah mengadakan perjanjian dengan tuannya untuk membayar sejumlah uang sebagai tebusan atas dirinya). Hal ini juga diriwayatkan dari Abu Musa al-‘Asyari. Ini adalah pendapat Imam Asy-Syafi’i juga Al-Laitsi.
Dari penjelasan ahli tafsir dan ulama, jelas bahwa korban perkosaan atau kekerasan seksual tidak termasuk dalam kategori ar-riqab sebagaimana dalam QS At-Taubah: 60. Ini adalah argumen yang seyogianya diterima tanpa memberikan alasan-alasan logis yang sesuai akal manusia semata. Karena zakat merupakan masalah hukum syara yang bersifat tawqifiyah, yang memang harus diterima apa adanya. Tidak bisa menganalogikan kondisi perempuan yang mengalami kekerasan seksual ini kepada riqab/budak karena memang tidak boleh ada ilat yang diqiyaskan dalam persoalan zakat.
Meski demikian, bukan berarti Islam membiarkan dan tidak mengurusi persoalan kekerasan seksual. Negara merupakan pihak yang wajib memiliki tanggung jawab besar terhadap para korban.
Negara yang menerapkan sistem Islam akan memberikan sanksi setimpal bagi pelaku tindakan kekerasan perempuan dan anak-anak. Negara akan memberikan perlindungan dan menyediakan pelayanan kesehatan terbaik bagi warga negaranya, termasuk korban tindakan kekerasan, bahkan disediakan tempat rehabilitasi mental bagi mereka tanpa dipungut biaya.
Menafsirkan ulang ayat Al-Qur'an yang qath'i untuk mencari solusi atas persoalan yang menimpa perempuan dan anak merupakan kecacatan nalar yang menyalahi ketentuan Allah. Ibarat mencari jarum dalam tumpukan jerami, manusia tidak akan pernah menemukan solusinya karena telah mengutak-atik aturan Allah yang Maha Sempurna.
Sebab, maraknya kekerasan seksual yang menimpa perempuan dan anak adalah buah penerapan sistem sekular yang menghasilkan kebebasan berperilaku dalam semua lini kehidupan. Hal ini tidak akan terjadi ketika umat hidup di dalam naungan Islam yang menerapkan syariat diterapkan secara kaffah dalam kehidupan.
wallahu a'lam bishawab
Oleh : Zahida Ar-Rosyida
(Muslimah Peduli Peradaban)
0 Komentar