Topswara.com -- Nama Herry Wirawan mendadak viral di tengah publik, pasca perbuatan asusila yang dilakukannya terhadap santriwati di pesantren asuhannya yang terletak di Cibiru, Bandung. Betapa tidak, perbuatan pelaku yang memerkosa sebanyak 12 santri hingga sembilan di antaranya hamil dan sudah melahirkan. Sungguh sangat biadab. Lebih-lebih Herry berlatar belakang sebagai pengasuh pondok pesantren yang notabenenya lekat dengan nilai-nilai Islam, sungguh memalukan.
Pencabulan di Pesantren bukan pertama kali ini terjadi. Sebelumnya seorang guru di pondok pesantren di Ogan Ilir, Sumatera Selatan mencabuli sebanyak 26 santrinya. Pelaku pun dijerat dengan pasal 82 ayat 1,2,dan 4 juncto 76 UU RI nomor 17 tahun 2016 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara (cnnindonesia.com,16/09/2021)
Tak hanya itu, sebagaimana diberitakan oleh CnnIndonesia.com (15/07/2020), seorang guru di Aceh juga mencabuli dua santri laki-lakinya. Atas perbuatannya, ia dikenai Qonun Jinayat, dengan hukuman cambuk sebanyak 74 kali.
Wajar, jika banyak pihak yang menghujat perbuatan yang dilakukan oleh para tokoh pesantren tersebut. Sebab sejatinya semua itu sama sekali tidak menampilkan akhlak dan kepribadian seorang Muslim yang agung.
Potret Sekularisme
Kasus pencabulan dan pemerkosaan di pesantren tersebut selayaknya semakin membuka mata kita bahwa derasnya sekularisme yang diaruskan di negeri ini telah berhasil merangsek masuk hingga ke lingkup yang bercorak agama. Bukan salah Islamnya, karena sampai kapan pun, Islam adalah agama yang suci dan fitrah.
Dalam sistem kehidupan yang menjauhkan agama dari pengaturan urusan publik, sangat niscaya jika kemudian sosok yang berlabel ustaz pun bermaksiat. Sebab agama hari ini hanya dipakai sebagai ibadah ritual belaka, sementara dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, aturan agama dipinggirkan. Belum lagi, sekularisme menyuburkan pornografi dan pornoaksi, sehingga amat berpeluang memicu bangkitnya syahwat liar bagi kaum adam.
Jadi, jelaslah bahwa pencabulan di pesantren membutuhkan perhatian serius dari pemerintah sebagai pihak yang paling bertanggungjawab atas terciptanya keamanan dan perlindungan anak di negeri ini.
Waspada Proyek Moderasi Beragama
Tak dimungkiri, buntut dari mencuatnya kasus pencabulan di pesantren, pemerintah sigap menyusun wacana untuk lebih ketat mengawasi pesantren. Sebagaimana disampaikan oleh Dirjen Pendidikan Islam, M Ali Ramdhani, bahwa pihaknya sedang menggodok aturan terkait transparansi serta pengawasan dalam pesantren dan madrasah. Beliau mengatakan bahwa saat ini pihaknya sedang melakukan monitoring melalui kantor Kementrian di kota dan kabupaten. Diharapkan ke depannya, pesantren lebih terbuka, tidak ekslusif. (Merdeka.com, 11/12/2021)
Hal tersebut bukan tak mungkin menjadi upaya bagi pemerintah untuk "mengobok-obok" pesantren, baik dari sisi aturan administratifnya maupun visi misinya. Sebab sejatinya, pemerintah melalui Kemenag tengah mengaruskan moderasi beragama yang katanya dalam rangka menangkal paham Islam radikal.
Sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, pada Oktober lalu, bahwa ustaz di pesantren harus mampu mengimplementasikan dan menggaungkan moderasi beragama dengan lebih luas lagi. (Liputan6.com, 01/10/2021)
Bahkan Menag menyampaikan bahwa akhir September 2021 lalu, telah dirilis modul moderasi beragama yang isinya tentang sembilan nilai moderasi beragama yang selanjutnya akan dijadikan pedoman bagi guru mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI). Adapun sembilan nilai moderasi beragama tersebut adalah tawassuth (tengah-tengah), i’tidal (tegak lurus), tasamuh (toleran), syura (musyawarah), ishlah (perbaikan), qudwah (kepeloporan), muwathanah (cinta Tanah Air), la unf (anti kekerasan), i’tiraf al-‘Urf (ramah budaya).
Demikianlah moderasi beragama begitu serius dipasarkan oleh pemerintah terhadap umat Islam di negeri ini. Termasuk lewat lembaga pendidikan formal, seperti sekolah, kampus, bahkan pesantren.
Dengan moderasi beragama, umat diajak untuk berislam secara adil dan berimbang. Namun, perlu kita pahami bahwasannya moderasi beragama merupakan upaya menjauhkan umat dari pemahaman berislam kaffah. Moderasi beragama merupakan proyek global, sejalan dengan dokumen yang dikeluarkan oleh Rand Corporation, lembaga think tank AS, mengenai pengelompokkan umat Islam ke dalam tiga kelompok, yakni tradisionalis, fundamentalis, dan moderat.
Dalam catatan Rand Corporation tersebut, wajah Islam yang ramah dan toleran adalah Islam yang sejalan dengan nilai-nilai Barat. Adapun Islam yang dianggap fundamentalis adalah mereka yang menjalankan Islam secara kaffah dan berupaya menerapkan syariat Islam dalam lingkup negara. Sangat nyata bahaya ide moderasi beragama, karena akan memecah belah umat Islam bahkan memunculkan islamofobia. Lebih parahnya lagi, moderasi beragama akan semakin mengukuhkan sekularisme dan mengadang kebangkitan Islam.
Islam Sistem yang Sempurna
Kejadian pencabulan di pesantren merupakan hal yang tak bisa dilepaskan dari keberadaan sistem sekuler liberal hari ini. Umat Islam hanya menjalankan Islam sebatas ritual ibadah saja, sementara dalam berbuat seringkali tidak menyandarkan pada aturan Islam. Bahkan tak sedikit umat Islam yang berstatus Islam di KTP saja. Gaya hidup, pemikiran, hingga perbuatan jauh dari Islam.
Oleh karena itu, penerapan sistem Islam secara kaffah dalam naungan khilafah merupakan sesuatu yang wajib dan urgent adanya. Tak bisa ditawar lagi. Selain karena hal tersebut merupakan teladan dari Rasulullah SAW, juga bagian dari tuntutan akidah seorang Muslim, yakni menerapkan syariat Islam secara kaffah. Hal tersebut sejalan dengan kaidah syara, "Maa laa yatimul wajib ilaa bihi fahuwa wajib... " (Apa-apa yang mengantarkan pada kewajiban, maka sesuatu itu menjadi wajib)
Hakikatnya penerapan syariat Islam merupakan sebuah kewajiban bagi setiap Muslim. Tanpa syariat, hidup kita tersesat. Adapun syariat tak bisa tegak tanpa adanya khilafah. Maka, tegaknya khilafah menjadi sebuah kewajiban. Jadi, tidak bisa Islam hanya diresapi nilai-nilai nya saja dalam kehidupan, melainkan perlu ada formalitas penerapan Islam oleh negara secara global.
Penerapan Islam secara lokal juga tidaklah cukup, sebagaimana di Aceh, misalnya. Meski telah menerapkan hukum syariat di sana, nyatanya masih menyumbang angka kekerasan seksual yang tinggi terhadap anak. Menurut data yang dirilis oleh pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PSTP2A) Aceh, selama tahun 2020 terdapat 200 kasus pelecehan seksual terhadap anak. Dari jumlah tersebut, sebanyak 69 adalah kasus pelecehan seksual, pemerkosaan 33 kasus, dan kekerasan psikis 58 kasus.
Artinya, penerapan syariat Islam perlu dihadirkan secara global, yakni dengan tegaknya khilafah islamiyah. Khilafah akan menjadi institusi yang mengikat umat Islam dengan akidah Islam, tanpa batas sekat nation-state. Khilafah akan mengatur kehidupan manusia dengan sistem Islam yang sempurna dan membawa kepada keadilan dan kesejahteraan. Wallahu a'lam bisshawab.
Oleh: Hana Annisa Afriliani, S.S
(Penulis Buku dan Aktivis Dakwah)
0 Komentar