Topswara.com -- Kampus merupakan institut pendidikan tertinggi yang berfungsi sebagai tempat menuntut ilmu. Di tempat inilah para generasi bangsa mendapatkan ilmu, yang tentunya diharapkan bermanfaat guna menjalani kehidupan yang lebih baik dan berguna bagi agama, bangsa dan negara.
Para penuntut ilmu dituntut untuk bisa menjadi manusia yang berkualitas yang mampu berpikir cemerlang. Menerapkan ilmu yang didapatkan dengan baik dan benar dan juga menjadi generasi yang bisa diandalkan. Sudah sepatutnya peserta didik atau pelaku didik memberikan contoh kepada masyarakat luas dengan cara berpikir dan bersikap yang benar. Tetapi kalau seseorang yang berpendidikan tidak mampu menjadi contoh bagi orang lain, perlu dipertanyakan tentang visi dan misi institusi tersebut.
Ternyata sangat tidak jarang dijumpai seorang dosen atau mahasiswa melakukan hal yang tidak bermoral di tempat umum seperti halnya di kampus. Dilansir dari kompas.com (27/10/2021), seorang mahasiswi menjadi korban pelecehan seksual di kampus, tepatnya Universitas Riau. Dalam kasus ini terduga pelakunya adalah dosen sekaligus Dekan Fakultas Fisip Universitas Riau, Syafri Harto. Kejadian tersebut bermula ketika korban melakukan bimbingan skripsi pada Rabu (27/10/2021) jam 12.30 WIB. Kejadian tersebut terungkap ketika korban menceritakan apa yang dialaminya lewat vidio yang berdurasi 13 menit 26 detik yang ramai di media sosial.
Sontak berita tersebut heboh di kalangan masyarakat. Pasalnya, tidak sepantasnya selaku pendidik berbuat hal yang tidak bermoral seperti itu. Karena merendahkan harkat dan martabat sebagai seorang pengajar. Sangat disayangkan, seharusnya seorang dosen mampu menunjukkan sikap sebagai seorang yang berilmu dengan menunjukkan sikap dan perilaku yang baik agar bisa dicontoh oleh anak didiknya.
Realita yang di dapat berdasarkan hasil survei tahun 2019 terkait pelecehan seksual di ruang publik, koalisi Ruang Publik Aman menentukan lingkungan sekolah dan kampus menduduki urutan ketiga lokasi terjadinya tindak kekerasan seksual (15 persen), jalanan (33 persen) dan transportasi umum(19 persen).
Dilihat dari survei tersebut tindak kekerasan seksual yang terjadi di sekolah maupun kampus cukup tinggi. Ketika hal tersebut dibiarkan dan tidak ditangani dengan cepat dan tepat dikhawatirkan akan banyak lagi korban. Bahkan masyarakat tidak percaya lagi pada institut perguruan tinggi sebagai tempat yang aman untuk menuntut ilmu. Karena melihat banyaknya kasus pelecehan seksual di kampus.
Dilihat dari kasus tersebut, maka turunlah kebijakan baru yang diharapkan dapat mencegah dan menepis tindak kejahatan seksual di kampus. Yaitu Permendikbud Nomor 30 tahun 2021 tentang pencegahan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi yang diharapkan mampu menepis kekerasan seksual yang terjadi di kampus.
Tapi nyatanya bukannya menyelesaikan permasalahan yang ada, malah menambah masalah baru. Isi dari peraturan tersebut menuai kontroversi di kalangan masyarakat. Banyak orang menilai isi dari peraturan tersebut memicu terjadinya seks bebas dan melegalkan zina. Seperti pada peraturan nomor 30 tahun 2021 pasal 12 dan 13 berbunyi:
12. Menyentuh, mengusap, merambah, memegang, memeluk, mencium dan atau menggosokan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa sepertujuan korban.
13. Membuka pakaian korban tanpa sepertujuan korban.
Sejumlah pihak menganggap bahwa Permendikbud 30/2021 melegalkan perzinahan terkait sejumlah frasa "tanpa sepertujuan korban."
Lantas mengapa hal ini bisa terjadi?
Yang perlu kita ketahui bahwa negeri ini menganut paham liberalisme. Di mana dalam kasus tersebut, penguasa mengambil kebijakan tidak berdasarkan halal dan haram. Karena agama dipisahkan dari kehidupan. Tidak peduli berapa banyak warga yang dirusak moralnya asalkan tujuan mereka tercapai. Hal tersebut kerap terjadi di negeri ini lantaran sistemnya tidak sesuai dengan fitrah manusia.
Sekularisme liberal yang dianut saat ini membuat mereka gelap mata. Perbuatan zina adalah suatu perbuatan yang buruk, tetapi hal tersebut tidak dihiraukan oleh penguasa karena didorong oleh nafsu yang mengakibatkan salah sasaran. Justru perzinahan dan seks bebas seakan dilegalkan.Lalu bagaimana pandangan Islam terkait dengan hal tersebut?
Islam bukan hanya agama ritual tetapi Islam satu-satunya agama yang mampu mengatur segala aspek kehidupan. Begitu pula dengan semua bentuk kejahatan, Islam mampu membuat pelaku kejahatan tersebut jera.
Dalam hal ini uqubat berfungsi sebagai jawazir yaitu pencegahan, karena dapat mencegah manusia dari tindak kejahatan. Juga jawabir yaitu penebus dosa karena dapat menebus sanksi di akhirat. Jelas bahwa di dalam Islam tindak pidana kekerasan seksual, baik itu dengan sepertujan korban atau tidak tetap saja melanggar syariat dan tentunya berdosa.
Dalam Islam pencegahan supaya terhindar dari perbuatan tersebut sangat diperhatikan. Jika pendidikan yang berbasis Islam diterapkan, seseorang akan menjaga tingkah lakunya sesuai dengan syariat Islam. Seorang muslimah harus menutup aurat secara sempurna. Tidak campur baur antara laki-laki dan perempuan, tidak berkhalwat dan juga tidak bertabaruj. Semua hal tersebut harus didukung oleh negara yang menerapkan syariat Islam secara kaffah.
Jika didapati seseorang yang berlaku cabul maka hukuman yang harus diberikan harus mampu membuat pelaku kejahatan tersebut jera.
Allah SWT berfirman yang artinya, "Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera." (TQS an-Nur : 2)
Tetapi jika pelaku zina tersebut muhshan maka akan dihukum rajam, Rasulullah SAW bersabda yang artinya, "Duda dengan janda jilid dan rajamlah".
Begitulah cara Islam mencegah perzinahan. Sangat tidak mungkin ketika negara menerapkan sistem liberalisme mampu terhindar dari tindak kejahatan seksual. Namun malah sebaliknya kejahatan tersebut akan terus terjadi baik di kampus atau di tengah masyarakat. Hanya Islamlah satu-satunya aturan yang mampu menumpas kejahatan seksual dan sistem ini akan diterapkan apabila daulah khilafah ditegakkan.
Wallahu a'lam bishawab
Oleh: Andriani
(Sahabat Topswara)
0 Komentar