Topswara.com -- Indonesia merupakan negara yang terletak di antara benua Asia dan Australia. Meskipun tersimpan kekayaan alam dan keindahan pulau-pulaunya, dibaliknya terdapat 129 gunung api aktif, atau dikenal dengan ring of fire. Hal ini dilatarbelakangi pertemuan tiga lempeng tektonik aktif dunia, diantaranya Lempeng Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik.
Dari kondisi geografis, geologis maupun hidrologis tersebut maka Indonesia sudah akrab dengan bencana alam yang terjadi. Namun sayangnya negara ini belum mampu membangun sikap cepat tanggap dalam mitigasi bencana alam. Padahal keselamatan jiwa rakyat lebih utama. Faktor terbesarnya adalah kelalaian dan lambannya penguasa dalam meminimalisir kejadian berulang.
Karena mitigasi yang buruk bukan terjadi kali ini saja. Hampir setiap bencana selalu menelan banyak korban jiwa dan pemerintah nampak kewalahan dalam penanganannya. Tidak ada keseriusan dalam menyelesaikan permasalahan kebencanaan dengan solusi yang tepat dan tuntas. Kabar duka kembali menyelimuti negeri tercinta pada tanggal 4 Desember 2021. Bencana erupsi Gunung Semeru yang mengeluarkan awan panas dan menimbulkan hujan abu ke daerah di sekitarnya.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada Minggu (5/12/2021) siang, terdapat 13 korban meninggal dunia akibat erupsi Gunung Semeru. Wakil Bupati Lumajang, Indah Amperawati mengatakan bahwa Petugas dibantu oleh komunitas pengguna jip tengah berupaya untuk mengevakuasi 10 warga yang masih terjebak di Desa Supiturang, Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Disisi lain Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lumajang melaporkan terdapat 902 warga yang mengungsi akibat erupsi Gunung Semeru.
Sementara itu Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa mengklaim bahwa proses mitigasi dan sistem peringatan dini sudah berjalan dan terkonfirmasi oleh PVMBG saat akan terjadi awan panas guguran Gunung Semeru. Namun berdasarkan update ORARI (Organisasi Amatir Radio Indonesia), terdapat beberapa titik blank spot akibat material guguran lebih besar. Maka dari itu Gubernur Jatim meminta seluruh pihak agar semakin waspada dan tidak mendekati area Gunung Semeru (Kompas.com, 5/12/2021).
Sungguh peran negara masih sangat minim. Bahkan bisa dikatakan bahwa negara lalai terhadap tanggung jawabnya dalam meriayah rakyatnya. Hal tersebut karena tidak adanya pendeteksi dini pada bencana yang mengakibatkan banyak korban jiwa dan harta benda. Padahal alat tersebut sangat diperlukan saat kondisi genting untuk menunjang mitigasi bencana demi keselamatan warga sekitar.
Sebagaimana penjelasan Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM, Eko Lelono bahwa sekitar pukul 13.30 WIB terekam getaran banjir pada seismograf. Tetapi tidak ada peringatan dini sampai sekitar pukul 15.00 WIB ketika masyarakat berhamburan panik karena erupsi (porosnews.com, 5/12/2021).
Dalam hal ini seharusnya BMKG memiliki peranan untuk menyampaikan informasi dan peringatan dini kepada instansi dan pihak terkait serta masyarakat berkaitan dengan bencana. Kegagalan sistem mitigasi bencana ini tidak lepas dari penerapan sistem kapitalisme. Sistem yang menjauhkan peran penting negara yakni sebagai periayah rakyatnya. Maka tak heran jika rakyat akan terus menjadi korban dalam sistem kapitalisme.
Banyaknya bencana yang menimpa selama ini merupakan kehendak Allah sebagai peringatan karena negara telah abai dan meremehkan aturan-Nya. Justru lebih mementingkan aturan buatan manusia dan mengadopsi budaya asing. Dan mengalihkan umat dari persoalan kehidupan. Karena tujuan dari sistem kapitalis sekuler adalah memisahkan agama dari seluruh aspek kehidupan, dan memecah belah umat agar membenci ajarannya sendiri.
Visi misi inilah kemudian menjadi andalan para korporat untuk terus mengeruk kekayaan sebanyak-banyaknya yang ada di negara-negara muslim. Tanpa disadari umat perlahan mengalami keterpurukan dan kesengsaraan akibat ulah segelintir orang yang mendukung dan mengikuti rencana licik para penjajah. Dikarenakan sudah diimingi dan disuguhi kekuasaan. Sehingga dengan mudah berbelok arah menjalin kerjasama dengan para pembenci islam. Pada akhirnya melupakan tugasnya sebagai pengemban tanggung jawab memberikan rasa aman bagi rakyat dari segala bencana.
Padahal Allah telah mengingatkan, "Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, agar mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik" (TQS. Al-Ma'idah:49)
Berbeda jika sistem Islam ditegakkan. Maka pemimpin (khilafah) akan mengutamakan kesejahteraan dan keamanan yang hakiki bagi seluruh masyarakat. Khilafah sudah selayaknya mengambil peran sentral dalam upaya mengurus, dan menghindarkan masyarakat dari dampak bencana alam atau meminimalisirnya. Sejak sebelum terjadinya bencana alam, ketika masa tanggap darurat, hingga masa pemulihan dan kehidupan kembali normal.
Ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw, "Pemimpin Negara adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus" (HR. Al-Bukhari).
Berbagai upaya yang seharusnya dilakukan oleh pemimpin, diantaranya menyediakan semua kebutuhan makanan, air bersih, pakaian, obat-obatan, beserta tim ahli khusus. Tidak ketinggalan, proses evakuasi korban berlangsung secepat mungkin, serta membuka akses jalan dan komunikasi dengan para korban.
Selanjutnya negara juga harus siap siaga menyediakan lokasi-lokasi pengungsian. Sehingga saat terjadi bencana, telah tersedia lokasi layak untuk para pengungsi, termasuk pembentukan dapur umum dan posko kesehatan dengan petugas yang telah terlatih.
Sebagaimana yang dicontohkan oleh khalifah Umar bin Khattab RA pada saat daerah Hijaz benar-benar kering kerontang akibat musibah paceklik pada akhir tahun ke 18 H bulan Dzulhijjah. Musibah berlangsung selama 9 bulan. Penduduk-penduduk pedesaan banyak yang mengungsi di Madinah dan mereka tidak lagi memiliki bahan makanan sedikitpun. Mereka segera melaporkan nasib mereka kepada Amîrul Mukminîn Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu.
Umar Radhiyallahu ‘anhu cepat tanggap dan menindaklanjuti laporan ini.
Beliau segera membagi-bagikan makanan dan uang dari baitul mâl hingga gudang makanan dan baitul mâl kosong total. Terlebih lagi beliau hingga memaksakan dirinya untuk tidak makan lemak, susu maupun makanan yang dapat membuat gemuk hingga musim paceklik ini berlalu.
Jika sebelumnya beliau selalu dihidangkan roti dan lemak susu. Namun pada masa itu beliau hanya makan minyak dan cuka. Beliau tidak pernah kenyang dengan makanan tersebut. Hingga warna kulit Umar Radhiyallahu ‘anhu menjadi hitam, tubuhnya kurus dan lemah. Hingga kehidupan menjadi normal sebagaimana biasanya. Akhirnya para penduduk yang mengungsi dapat pulang kembali ke rumah mereka.
Demikianlah gambaran seorang pemimpin yang mampu memanajemen penanganan bencana dengan baik. Karena tidak melepas tanggung jawabnya untuk melayani rakyatnya, sebagai perwujudan rasa takut akan murka Allah jika lalai dengan amanahnya.
Maka sudah saatnya kembali menerapkan sistem Islam kaffah sebagai solusi setiap persoalan yang melanda. Dengan begitu, agama, akal, harta, termasuk jiwa akan dijaga oleh syariat islam. Negara akan memperhatikan pengurusan terhadapnya, termasuk teknologi dan pendanaan untuk keberhasilan mitigasi bencana.
Wallahu a'lam bishawwab
Oleh: Yeni Purnamasari, S.T.
(Muslimah Peduli Generasi)
0 Komentar