Topswara.com -- Presiden Jokowi menaruh harapan besar kepada masyarakat ekonomi syariah (MES) sebagai organisasi keumatan agar mampu menjadi lokomotif pengembangan ekonomi syariah yang membumi dan mampu melahirkan banyak wirausaha dari kalangan santri yang menggerakkan perekonomian yang inklusif. Menurutnya, orientasi santri seharusnyasudah menciptakan kesempatan kerja bagi banyak orang dan menebar manfaat seluas-luasnya bagi umat.
Senada dengan pernyataan orang nomor satu di negeri ini, Mantan ketua DPRD Jawa Timur Gus Hakim,menyatakanmulai dekade 1970-an pesantren menjadi pusat inovasi pertanian desa. Pesantren bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dan kerap memunculkan inovasi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa.
Salah satunya bisa menghasilkan berbagai produk pertanian berkuliatas mulai dari varietas bibit terbaru, tata cara brcocok tanam mutaakhir, hingga pengelolaan usaha tani yang efisien. Menurutnya, berdasarkan data BPS, pada 2018, ada 28,961 pesantren tersebar di 14.020 desa.
Sebenarnya, sebelum Perpres tahun 2021 ini dikeluarkan, pada 2019 pemerintah mengeluarkan UU pesantren. Namun, ada masalah yang menjadi sorotan yakni: Pertama, secara filosofis.UU tersebut ini ingin membingkai pesantren dalam kerangka filosofis moderasi agama. Moderasi itu sendiri adalah bahasa politik sedangkan pesantren berkaitan dengan agama.
Maka tidak seharusnya saatmembahas masalah agama memakai bahasa politik, tapitetapmemakai bahasa agama juga.Dengan kata lain jika berbicara tentang agama maka tolak ukurnya adalah agama. Dan dalam Islam sudah sangat jelas sumbernya yaitu Al-Qur’an dan sunah.
Cendekiawan Muslim, Ustaz Ismail Yusanto berpendapat, “Ini persoalan filosofis.Apakah seorang Muslim yang kaffahdan bertakwa dengan sebenar-benarnya takwa itu disebut moderat? Kita bisa menduga itu tidak akan disebut moderat, terlebih lawan darinya disebut radikal. Jika dibiarkan maka UU Pesantren akan membelah pesantren. Yang mengikuti UU ini akan menjadi pesantren moderat,dan yang tidak mengikuti menjadi pesantren tidak moderat atau radikal.”
Di dalam UU juga tertera wajib mengamalkan Islam rahmatan lil’alamin menurut pancasila dan UUD 45. Selama ini yang dimaksud dengan rahmatan lil’alamin adalah Allah mengutus Nabi Muhammad untuk menjadi rahmat bagi semesta alam, sehingga dengan kata lain Islam adalah agama untuk seluruh semesta alam. Maka seharusnya pesantren/Islam itu berdasarkan pada agama bukan yang lain.
Kedua, secara organisatoris, dalam UU ini disebutkan, penyelenggaraan pesantren diatur oleh peraturan menteri dan sudah pasti ini nantinya akan menimbulkan banyak masalah. Maka dibentuklah majelis masyayikh yaitu sejenis perkumpulan para kiai pondok pesantren yang akan menjadi penghubung nantinya dengan pemerintah (menteri). Selain itu, majelis masyayikh juga bertugas menyusun kurikulum pendidikan sebagai acuan bagi pesantren-pesantren dalm proses pembelajaran. Dalam majelis masyayikh ada juga dewan masyayikh yang bertugas melaksanakan sistem penjaminan mutu internal pendidikan pesantren.
Dalam UU ini dinyatakan, penilaian jaminan mutu pesantren ditentukan oleh pemerintah.Tentunya ini juga akan menimbulkan banyak masalah, terlebih lagi apa yang menjadi tolok ukur sebuah pesantren bisa dikatakan bermutu atau tidak. Yang menjadi pertanyaan sejumlah pihak, jika pesantren tidak mengikuti aturan sesuai UU ini, apakah dinyatakan sebagai pesantren yang tidak bermutu tinggi atau pun sebaliknya?
Adapun terkait tugas pemberian nilai yang dilimpahkan kepada pemerintah, apakah kriteria atau indikator yang digunakan oleh pemerintah dalam menilai? Sementara di dalam pemerintahan terdapat banyak penguasa yang berbeda-beda dalam segala hal terutama cara pandang dan hal tersebut sangat mempengaruhinya dalam memberikan penilaian.
Ketiga, secara administratif. UU ini akan diperhatikan karena semua informasi,data dan pengelolaan data administrasi harus dilaporkan dan dikelola oleh pemerintah/menteri. Selama ini pesantren selalu mengelola data dan informasi administrasinya sendiri. Sebenarnya bukanlah hal yang buruk asalkan data dan informasi tersebut tidak disalahgunakan untuk kepentingan pemerintah ataupun pribadi penguasa.
Keempat, secara pendanaan. Pendanaan dalam pesantren merupakan problem utama yang dialami oleh hampir semua pesantren. Sejauh ini pendanaan yang didapat biasanya dari yayasan/perorangan, bantuan masyarakat dan juga dari usaha kecil yang didirikan oleh pesantren itu sendiri. Jika pemerintah ingin mengalokasikan dananya bagi pesantren-pesantren itu merupakan hal yang bagus dan seharusnya sudah menjadi tanggung jawab pemerintah dalam membantu dunia pendidikan, asalkan bantuan tersebut murni rasa tanggung jawab pemerintah bukan ada muatan politik di dalamnya yang menguntungkan penguasa.
Bila dilihat dari sejarah berdirinya, pesantren ini sudah lahir sejak negeri ini merdeka, namun anehnya kenapa baru sekarang diobok-obokdan diberikan aturan berupa UU beserta turunannya? Ini pertanyaan besar yang ada di benak para pendiri dan pengelola pondok pesantren. Jika dilihat dari paham yang dianut negara ini maka akan menjadi sangat aneh bahkan lucu jika membaca isi dari UU pesantren ini.
Negeri ini menganut paham kapitalisme dan secara langsung juga mengusung paham sekularisme yang memiliki slogan ‘memisahkan agama dari kehidupan dan dari negara’. Dengan membaca slogan ini harusnya kita mengerti paham sekuler ini amatlah anti dengan yang namanya agama mencampuri urusan kehidupannya. Namun ketika membaca isi dari UU pesantren ini sangatlah kontras perbedaannya.
Isi dari UU pesantren seakan-akan pemerintah ingin mengetahui semua baik luar maupun dalam dari pesantren, dan hal ini menimbulkan pertanyaan “Sebenarnya apa yang diinginkan pemerintah dengan mengesahkan UU pesantren tersebut?”
Pesantren adalah lembaga/tempat pendidikan yang berdasarkan Islam sebagai akidahnya, tidak dapat dipungkiri belakangan ini Islam sangatlah didiskriminalisasi oleh pemerintah, baik ajarannya, ulamanya ataupun organisasinya. UU pesantren ini disahkan untuk memecah belah umat terutama di kalangan pesantren, karena dengan pasal-pasal dan turunannya akan menimbulkan perbedaan dalam pesantren.
Maka akan ada pesantren yang dinyatakan moderatkarena patuh dengan UU ini ada juga pesantren yang dicap radikal karena menolak. Hal ini dapat membelokkan arah pendidikan Islam yang sesuai dengan akidah Islam yang selama ini diajarkan di dalam pesantren kearah pendidikan yang diinginkan oleh pemerintah.
Padahal dalam Islam, sistem pendidikan yang digunakan adalah sistem pendidikan Islam dan telah menggariskan bahwa kurikulum pendidikan wajib berlandaskan pada akidah Islam.
Mata pelajaran serta metodologi penyampaian semuanya disusun tanpa adanya penyimpangan sedikitpun dari asas tersebut. Politik pendidikan adalah momen pembentukan pola pikir dan pola jiwa islami. Maka di seluruh mata ajaran disusun berdasarkan strategi tersebut. Oleh karena itu, yang diajarkan di pesantren itu harusnya sesuai dengan sistem pendidikan Islam yang akan membentuk kepribadian Islam yakni pola pikir dan pola sikap sesuai dengan pemahaman Islam itu sendiri.[]
Oleh: Dedeh Kurniasih
Aktivis Muslimah di Depok
0 Komentar