Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Moderasi Beragama Lahirkan Toleransi Salah Kaprah


Topswara.com -- Indonesia merupakan negara yang memiliki keberagaman, salah satunya adalah keberagaman agama. Ada enam agama yang diakui di Indonesia.  Indonesia pun menjamin kebebasan bagi warga negaranya untuk menganut dan menjalankan agama yang dipilihnya. 

Seperti yang tertuang dalam UUD 1945 pasal 29. Bunyi pasalnya menyatakan "bahwa negara yang berdasar ketuhanan Yang Maha Esa dan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu".

Namun, setiap menjelang perayaan umat Kristiani yaitu hari raya Natal selalu saja ada polemik yang terjadi. Umat Islam dikatakan intoleran terhadap umat Kristiani yang merayakan hari Natal. Seperti yang terjadi di Kantor Wilayah Kementerian Agama Sulawesi Selatan. 

Ada pihak yang meminta agar Kanwil Kementerian Agama Sulawesi Selatan mencabut surat edaran tentang pemasangan spanduk ucapan Natal dan Tahun baru. Tetapi, Nuruzzaman sebagai Staf Khusus Menteri Agama Bidang Toleransi, Radikalisme, dan Pesantren membantah Kanwil Kementerian Agama Sulsel mencabut surat edaran tersebut. 

Karena Kemenag merupakan lembaga pemerintah dan juga merupakan perwakilan dari negara. Nuruzzaman pun menambahkan bahwa Kementerian Agama merupakan kementerian semua agama. Bukan kementerian satu agama. Tugasnya mengayomi, melayani dan menjaga seluruh agama, merawat kerukunan umat beragama, (Republika, 18/12/2021).

Melalui laman Twitter pribadi KH Muhammad Cholil Nafis yang saat ini menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama bidang Dakwah dan Ukhuwah menyatakan bahwa hukumnya boleh mengucapkan selamat Natal. 

Hal tersebut diperbolehkan karena sebagai sikap saling menghormati dan bentuk toleransi antar umat beragama. Tetapi, seorang Muslim tidak boleh mengikuti serangkaian upacara perayaan Natal karena sudah difatwakan MUI pada 7 Maret 1981 yang berisi fatwa haramnya mengikuti perayaan Natalan, (Fajar, 17/12/2021).

Polemik ini pun mendapat respon dari Anggota Komisi VIII DPR RI Fraksi PKS yaitu Bukhori Yusuf. Awalnya Bukhori menjelaskan perbedaan antara moderasi agama dan moderasi beragama. Moderasi agama akibatnya akan berubahnya syariat, ajaran serta keyakinan agama. 

Sedangkan moderasi beragama adalah bersikap moderat dalam beragama. Jadi tidak ada hubungannya pihak yang mengucapkan selamat Natal disebut moderat dan pihak yang tidak mengucapkan disebut radikal, (Fajar, 19/12/2021).

Bukhori kemudian menuturkan bahwa tidak boleh memaksa pihak lain untuk mengucapkan Natal atau pihak yang tidak mau mengucapkannya. Karena setiap individu memiliki lingkungan dan ruang lingkup pergaulan yang beragam. 

Bagi pihak yang tidak relevan tidak boleh dipaksa melakukan itu. Tetapi, bagi pihak yang memerlukan hal itu sebagai bentuk kebutuhan sosial maka jangan sampai pihak yang mengucapkan selamat Natal dianggap sudah keluar dari agama.

Polemik tentang surat edaran mengucapkan selamat Natal ternyata mendapat berbagai respon. Jika mendengar dua pendapat tokoh tadi bisa disimpulkan bahwa tidak ada larangan tegas mengucapkan selamat untuk perayaan Natal. 

Tidak mengapa karena itu sebagai bentuk toleransi antar umat beragama di Indonesia yang memiliki keberagaman agama. Jadi sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan kepada umat lain sah-sah saja untuk bertoleransi seperti cara itu. 

Namun nyatanya, toleransi yang dimaksudkan saat ini sudah bergeser jauh dari batasan-batasan Islam. Bukan arti toleransi sebenarnya yang sesuai tuntunan syariat. Meskipun ada yang menolak dengan mengaitkannya dengan moderasi beragama, tetap saja mengartikan toleransi seperti itu merupakan bentuk toleransi salah kaprah yang lahir dari moderasi beragama. 

Toleransi ala moderasi jelas tidak bisa diterima syariat. Toleransi salah kaprah tanpa batas inilah yang membolehkan umat Islam ikut berpartisipasi merayakan hari raya agama lain. Masuk ke tempat peribadatan dan mengikuti tata cara peribadatan agama lain. Itulah toleransi kebablasan buah dari moderasi beragama dan  saat ini menjadi agenda yang terus digencarkan pemerintah.

Melalui instansi vertikal seperti Kemenentrian Agama menjadi agen utama yang terus menyuarakan moderasi beragama. Sebagai bukti, pada tanggal 8 Oktober 2019 Kementerian Agama meluncurkan buku rujukan moderasi beragama. Kemudian mengadopsi program moderasi yang bertujuan untuk menghindari perilaku radikal dan ekstremis dalam mengimplementasikan ajaran agama. 

Tetapi, moderasi beragama ini sebenarnya ditujukan hanya untuk umat Islam. Karena umat Islam acap kali dianggap radikal, ekstremis dan juga intoleran oleh pemerintah. 

Sehingga perlu adanya seruan moderasi beragama ke tengah-tengah umat Islam di negeri ini. Alhasil, sekelas ulama MUI pun diduga tersihir arus moderasi veragama. Karena dengan pernyataannya yang membolehkan umat Islam mengucapkan selamat Natal akan menjadi rujukan Muslim di negeri ini.

Padahal, moderasi beragama sejatinya adalah produk Barat yang ditujukan untuk menghalangi kebangkitan Islam dan kaum Muslim. Sebab, Barat menginginkan umat Islam hidup moderat, tunduk kepada pemikiran Barat serta mengadopsi cara berpikir Barat. 

Sehingga umat Islam jauh dari Islam kaffah. Sejatinya, moderasi beragama menjadikan agama hadir dalam kehidupan umat Islam. Namun hanya sebagian syariat Islam yang diterapkan dan sebagiannya ditinggalkan.

Moderasi beragama pun menginginkan umat Islam bersikap toleran. Tetapi toleransi kebablasan yang mengarah pada sikap pluralisme dan sinkretisme. Saat ini umat Islam akan dikatakan toleran jika mengakui bahwa semua agama itu benar. 

Padahal sikap inilah yang harus dijauhi dan dilarang bagi umat Islam. Karena sudah mencampur adukkan antara yang haq dan batil. Apabila  umat Islam dituduh intoleran terhadap umat lain, maka itu merupakan fitnah besar.

Sejak awal Islam diturunkan Allah SWT dan dibawa oleh Rasulullah SAW. Islam sudah memiliki konsep sendiri terkait pengaturan antar manusia mengenai hubungan dengan umat beragama lain. Sikap toleransi dalam Islam inilah yang disebut dengan tasamuh, yaitu menghormati dan menghargai perbedaan. 

Serta memberikan hak-hak kepada umat lain untuk menjalankan kewajiban agamanya masing-masing. Seperti kutipan ayat dalam surat Al Kafirun "lakum diinukum wa liyadiin". Melarang seorang Muslim mengikuti perayaan agama lain termasuk mengucapkan selamat hari raya untuk agama lain.

Berdasarkan ijma para ulama haram hukumnya mengucapkan selamat pada syi'ar-syi'ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir. sebab sama halnya dengan kita membenarkan atau mempersaksikan suatu kebatilan. Meskipun yang mengucapkan selamat dari kekafiran, tetapi dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. 

Barang siapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid'ah atau kekufuran, maka dia pantas mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta'ala (Ahkam Ahli Dzimmah, 1 : 441). Bagi seorang Muslim yang menyerupai (tasyabuh) dan mengikuti perayaan agama lain maka ia dikategorikan termasuk kepada golongan mereka yaitu orang kafir. Seperti sabda Rasulullah SAW: "Barang siapa menyerupai dengan suatu kaum, maka ia bagian dari mereka." ( HR. Abu Daud no. 3512 ).

Toleransi ala koderasi beragama faktanya menggiring umat Islam agar meremehkan hal yang mendasar dalam prinsip agama yaitu akidah. 

Maka seorang Muslim haruslah berhati-hati dengan ucapan dan perbuatannya, meskipun hanya sebatas mengucapkan selamat hari raya untuk agama lain. tetap saja hal itu akan mengotori dan merusak akidah seorang muslim. Akibatnya seorang Muslim akan terjebak dalam kesyirikan. 
Wallahu a'lam bishawwab


Oleh: Ade Rosanah
(Aktivis Dakwah)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar