Topswara.com -- Naik terusnya harga minyak goreng dan belum terlihat ada tanda-tanda turun akan menambah berat beban hidup masyarakat bawah, di antaranya bagi emak-emak dan pelaku usaha kecil yang mengandalkan minyak goreng sebagai salah satu bahan utamanya, seperti pedangan gorengan. Apalagi dibarengi dengan naiknya kebutuhan lainnya, akan semakit sulit lagi.
Nah, bagaimana perasaan Anda sebagai emak-emak yang tiap harinya menghitung apakah uang belanjanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari ataukah tidak? Sebelum harga minyak goreng naik saja, para emak ini kebingungan karena gaji suami tidak bisa mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Itu kalau suaminya yang punya gaji, bagaimana kalau suaminya kerja serabutan bahkan pengangguran?
Begitu juga bagi pelaku usaha kecil, seperti tukang gorengan, kenaikan minyak goreng berpengaruh terhadap keuntungan yang didapat dan tentunya akan berkurang signifikan. Itulah salah satu imbas naik terusnya minyak goreng yang sebenarnya tidak diinginkan oleh rakyat kecil. Mereka berharap harga minyak goreng akan segera turun.
Namun kenyataan tidak sesuai dengan harapan. Menurut Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan dalam diskusi Indef, Rabu (24/11/2021) mengatakan tren kenaikan harga minyak goreng bakal berlanjut, dan sudah diprediksi hingga kuartal pertama 2022 masih terus meningkat karena termasuk komoditas yang supercycle (periode lonjakan permintaan untuk beragam komoditas, yang menyebabkan lonjakan harga).
Adapun pemicu naiknya minyak goreng karena penguatan harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dunia. Oke mengaku CPO sebagai komoditas supercycle memang memiliki kelebihan, namun di sisi lain berdampak negatif terhadap harga minyak goreng. Jika harga CPO naik, kemungkinan harga minyak goreng juga terus naik.
Guna membantu rakyat karena naiknya harga minyak di pasaran, beberapa waktu lalu pemerintah melalui Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi berjanji akan ‘mengguyur’ minyak goreng murah ke pasar. Pemerintah akan menjual minyak goreng kemasan murah dengan harga Rp11.000 per liter. Karena menurut Lutfi, dalam keterangan resminya, Senin (15/11/2021), pelaku usaha sebenarnya sudah sepakat dengan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) untuk mendistribusikan 11 juta liter minyak goreng kemasan sederhana dengan harga Rp14.000,-
Berdasarkan catatan Kementerian Perdagangan per 11 November 2021, harga eceran nasional untuk minyak goreng curah sudah berada di posisi Rp16.500 per liter atau naik mencapai 14,58 persen dari bulan lalu. Di sisi lain, harga minyak goreng kemasan naik sebesar 10,91 persen menjadi Rp18.300 per liter dari pencatatan bulan lalu (ekonomi.bisnis.com, 24 November 2021).
Selain itu, melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag), pemerintah memutuskan membatalkan pelarangan peredaran minyak goreng curah yang rencananya dimulai pada 1 Januari 2022. Keputusan ini diambil setelah mempertimbangkan harga CPO yang masih tinggi dan berdampak pada aktivitas pelaku usaha kecil. Ini akan memudahkan pelaku usaha memperoleh minyak goreng dengan harga terjangkau. Apalagi di masa pandemi menjadikan hidup terasa lebih sulit.
Namun, solusi yang ditawarkan pemerintah dengan janji mengguyur minyak goreng murah serta pencabutan larangan peredaran minyak goreng curah di pasaran tidak menyelesaikan masalah di hulu. Karena pemicu utamanya tidak diselesaikan, yakni naiknya minyak goreng karena harga CPO dunia naik. Harusnya pemerintah memikirkan bagaimana caranya agar harga minyak goreng tetap stabil di dalam negeri sendiri bahkan bisa memenuhi kebutuhan rakyat dengan harga yang terjangkau.
Sebenarnya pemerintah bisa kok menjaga harga kebutuhan pokok tetap stabil seperti minyak goreng dan terjangkau oleh masyarakat kecil. Buktinya, sebagaimana yang dilansir JPNN.com, Kamis 14 Oktober 2021, sejak 2006 Indonesia sudah menjadi produsen minyak sawit nomor satu di dunia loh. Data Index Mundi mencatat, pada 2019, produksi sawit Indonesia mencapai 43,5 juta ton dengan pertumbuhan rata-rata 3,61 persen per tahun. Produksi didukung oleh ketersediaan lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia yang seluas 16,381 juta hektare.
Wow, nomor satu produsen kelapa sawit loh. Lah, tapi kok bisa ya, Indonesia malah mengikuti pergerakan harga minyak sawit dunia, harusnya bisa dong mandiri dan mengolahnya sendiri tanpa mengikuti pergerakan negara lainnya. Apalagi ketersediaan lahan perkebunan kelapa sawitnya luas sekali.
Lah, sebenarnya memang bisa, andai saja perkebunan kelapa sawit itu dikelola sepenuhnya oleh negara dan dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat tentu tak akan ada kenaikan minyak goreng yang saat ini tengah terjadi. Tentunya, harga minyak goreng naik terus, akibat salah urus mulai dari hulunya.
Karena dalam Islam, hutan yang seluas itu dialihfungsikan/dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit termasuk ke dalam kepemilikan umum yang harus dikelola oleh negara dan hasilnya untuk kesejahteraan rakyatnya.
Sejatinya tugas pemerintah atau negara dalam sistem Islam sebagai pengurus, pengayom, pelayan bagi rakyatnya. Jika ada kebijakan yang akan mendatangkan kemudharatan kepada rakyat maka dengan sigap negara semaksimal mungkin menyelesaikannya, tanpa melihat untung dan ruginya.
Namun, di sistem kapitalis saat ini, ternyata hutan yang dialihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit, sekitar 54 persen dikelola oleh swasta yakni para konglomerat atau para korporasi. Merekalah yang mengendalikan pasar. Mereka yang menikmati keberlimpahan keuntungan di tengah penderitaan rakyat kecil.
Jadi, sangat wajar walaupun Indonesia menjadi produsen nomor wahid di dunia sekali pun, tapi tak mampu mengendalikan pergerakan harga CPO dunia. Dan rakyat tak akan pernah sejahtera, yang ada akan semakin sengsara di tengah keberlimpahan sumberdaya alamnya.[]
Oleh: Siti Aisyah. S.Sos., Koordinator Kepenulisan Komunitas Muslimah Menulis Depok
0 Komentar