Topswara.com -- Mengurai kitab Al Buyu’ al Qadimah al Mu’ashirah, Guru Wahyudi Ibnu Yusuf membeberkan contoh-contoh akad fasad.
“Ada beberapa contoh akad yang fasad. Pertama, menjual dengan harga seperti si fulan, menyamakan dengan orang lain. Terkadang seseorang itu membeli satu barang dari yang lain tapi tidak disebutkan berapa harganya. Dia berkata kepada si pembeli, juallah ia sebagaimana si fulan menjualnya,” bebernya dalam Kajian Kitab Muamalah (Kitab Al Buyu’ al Qadimah wal Mu’ashirah) bertema Contoh-contoh Akad Jual Beli yang Fasad dalam kanal YouTube Peradaban Islam ID, Rabu (08/11/2021).
Ia mengatakan, akad seperti itu fasad karena terjadi ghoror fi tsaman, ketidakjelasan, ketidaktahuan dalam hal harga. Maka masing-masing dari dua pihak yang berakad itu punya hak untuk memfasah akad,” imbuhnya.
“Tapi kalau kemudian setelah menyebutkan saja jual seperti si fulan menjual, lalu kata si penjual sejumlah dengan harga sebagaimana si fulan menjual, lalu kata si pembeli baik saya beli. Setelah itu kata si penjual harganya 150.000 loh. Oh ya enggak apa-apa kata si pembeli,” terangnya.
Wahyu menjelaskan, karena asalnya fasad jahalah fi tsaman (ketidakpastian harga) tapi kemudian setelah dikasih tahu dan ternyata si pembeli ridha dengan harga tersebut, artinya sababul fasad (penyebab fasad) hilang. Ketika sababul fasadnya hilang berarti akad jual belinya menjadi sah. Beda dengan batil, kalau batil enggak bisa, harus akad baru.
Kemudian yang kedua, contoh jual-beli dengan nomor token atau label harga. Yaitu jual beli barang dengan harga yang tercantum pada barang tersebut tanpa ada tawar-menawar. Sebagai contoh, kalau ada seorang pembeli membeli celana panjang atau kemeja. Ia melihat label harganya dan tahu berapa harga tercantum.
“Nah jadi meskipun pada akad baik pada ijab qabul itu tidak disebutkan, misalkan kata penjual. Kata penjual, saya jual. Kata pembeli, saya beli. Meskipun tidak menyebutkan harga sekian. Kalau lengkapnya kan saya jual barang ini seharga Rp100 misalkan, itu disebut jelas. Tapi pada kasus ini harga itu sudah tercantum dan tidak ada tawar-menawar. Jadi meskipun tidak disebutkan dalam ijab kabul dia tetap dianggap sah bukan fasad karena sudah tercantum. Artinya ketika dia membeli, dia membawa ke kasir, dia sudah ridha dengan harga yang tercantum. Seperti yang di minimarket, supermarket. Ini tren jual beli zaman now,” ujarnya.
Kemudian ia mencontohkan, sebaliknya adapun kalau dia menunjuk ke baju kemeja atau celana panjang dan dia tidak melihat label harganya. Lalu dia membelinya, si penjual pembeli tidak menyebut dalam akad tersebut harganya maka jual belinya itu sah.
“Ketika misalkan, harganya sekian pak, lalu dia cek struk. Oh, segini harganya ya? Kaget. Saya kira enggak segini. Lho kan tadi sudah ada tempelan lebelnya pak. Tapi saya belum lihat. Begitu ngelihat, bagi si pembeli itu jahalah (tidak tahu) lalu dia punya hak untuk tidak jadi, karena itu ada gharar,” paparnya.
Selanjutnya yang ketiga, adalah adalah jual beli qauliyah yaitu jual beli barang dengan harga yang sama dengan harga yang dibeli pada harga pokok. Jadi harga beli dengan harga jual sama. Misalkan dibeli buku harga Rp100 ribu, kemudian dijual lagi sejumlah harga modal 100 ribu juga.
Keempat, baiul murabahah adalah jual beli dengan adanya tambahan harga dari harga pokok dari harga pembelian dengan kadar tertentu. Di mana penjual dan pembeli sama-sama mengetahui adanya ziyadah dan sama-sama menyepakati atas ziyadah yakni yang nanti akan menjadi keuntungan bagi si penjual.
“Saya beli buku harganya modalnya 100.000, mau jual ke Ustaz. Saya maunya dapat untung Rp20.000, saya jual 120.000. Ustaz gimana ridha enggak? Jadi itu baiul murabahah. Jadi keuntungannya itu sama-sama diketahui dan disepakati,” urainya.
Dan yang kelima, mal wad’iyah yaitu ini jual beli rugi yakni menjual barang yang harga jualnya itu di bawah harga modal, dijual dibawah harga beli.
Ini ada kasus seakan seseorang menjual barang miliknya satu barang dengan orang lain. Dia maunya akad murabahah. Akad murabahah adalah amanah dari sisi kejujuran menyatakan berapa harga beli atau modal. Ternyata si penjual tidak jujur dan menambahkan harga pokoknya.
“Tadi beli buku harganya, aslinya saya beli 9000. Lalu ngomong ke ayung, Ustaz ini beli buku, modal Rp100.000. Saya mau dapat untung pengennya Rp20.000. Tapi saya jual dengan harga 120.000. Nah ini ada kebohongan, ada kedustaan aslinya modal 90.000 saya kasih ziyadah. Kemudian, ia menegaskan kalau akad itu murabahah maka akad jual beli seperti ini fasad. Karena adanya gharar pada harga asal barang itu. Maka seorang mustari punya hak untuk mefasad,” cetusnya.
Selanjutnya yang keenam, akad-akad fasad disebabkan karena ketidakjelasan waktu penyerahan. Jadi yang pertama, jual-beli habli habla adalah jual-beli tempo, patokannya adalah lahirnya unta. Lalu anak dari si unta tadi itu besar kemudian si induknya bunting lagi.
“Diriwayatkan dari Ubaidillah jadi kata Ubaidillah mengabarkan kepadaku adalah orang-orang jahiliyah itu punya kebiasaan memperjualbelikan daging kambing atau unta yang telah disembelih dan waktu penyerahannya itu dengan patokan hablul habla,” tambahnya.
Yang terakhir jual beli yang penyerahannya itu terjadi di musim semi. Terkadang dua pihak yang berakad itu melakukan akad jual beli sampai waktu musim semi atau sampai waktu panen atau sampai hari dibulan Ramadhan, atau sampai anggur itu matang, atau yang semisal.
“Jadi semua waktu yang bersesuaian dengan apa yang disebutkan oleh Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dalam hadis manhaj salaf. Jadi jika waktunya itu jelas. Jadi kalau musim semi itu jelas, kapan musim seminya. Kecuali terjadi perubahan musim ketidakjelasan itu berarti menjadi celah juga waktu panen itu. Kalau ini kan bisa diperkirakan nanamnya kapan, panennya kapan,” pungkasnya. [] Sri Nova Sagita
0 Komentar