Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Erupsi Gunung Semeru, Minimnya Peran Negara dalam Mitigasi Bencana


Topswara.com -- Erupsi gunung Semeru kembali terulang 13 orang meninggal Lumajang Jawa timur. Sementara terdapat puluhan korban yang mengalami luka bakar di tubuhnya, mereka adalah sejumlah penambang pasir di dusun Kampung Renteng, Desa Sumberwuluh.

Berdasarkan informasi langsung pukul 09.20 dari Kepala BNPB Letnan Jenderal TNI Suharyanto, S.Sos, M.M, yang saat ini sedang menuju Lumajang, total 13 orang dilaporkan meninggal dunia akibat peristiwa tersebut. Adapun yang baru teridentifikasi dua orang berasal dari Curah Kobokan dan Kubuan, Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang, Provinsi Jawa Timur. 

Selain itu, sebanyak 41 orang yang mengalami luka-luka, khususnya luka bakar, telah mendapatkan penanganan awal di Puskesmas Penanggal. Selanjutnya  mereka dirujuk menuju RSUD Haryoto dan RS Bhayangkara. Sementara itu, warga luka lainnya ditangani pada beberapa fasilitas kesehatan, yaitu 40 orang dirawat di Puskesmas Pasirian, 7 orang di Puskesmas Candipuro, serta 10 orang lain di Puskesmas Penanggal di antaranya terdapat dua orang ibu hamil. 

Seusai Gunung Semeru erupsi, lahar panas menuju area pertambangan hingga mereka terlambat menyelamatkan diri. Sebab abu vulkanik dari erupsi hampir menutupi semua dusun yang berjarak 2 km dari lahar panas. Ternyata, keberadaan Early Warning System (EWS) tidak ada di Desa Curah Kobokan, desa yang dekat dengan sumber letusan sendiri. Padahal alat itu penting untuk mendeteksi peringatan dini bencana.

Selain itu minimnya peringatan serta edukasi soal bahaya lava panas juga diduga menjadi alasan terlambat menyelamatkan diri. Ternyata saat awan panas turun ke lereng gunung sebagai warga malah  menyaksikan fenomena itu di lokasi pertambangan.

Dalam kasus meletusnya gunung Semeru sangat nampak bahwa negeri ini belum memiliki alarm untuk menghadapi bencana. Padahal keaktifan gunung berapi ini sudah terdeteksi lama. Bahkan PVMBG (Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi ) mencatat aktivitas vulkanik gunung Semeru. Dalam sejarahnya, catatan terkait erupsi Semeru pertama kali dibuat pada 8 November 1818. Setelah itu, Semeru relatif rutin mengalami erupsi. Jika ditilik dalam 30 tahun terakhir, Semeru mengalami erupsi pada 1990, 1992 1994, 2002, 2004, 2005, 2007, 2008, 2016, 2019 dan 2020. Erupsi yang terjadi berkisar pada November, Desember, Januari atau Februari.

Tentu alarm ini sangat diperlukan sebagai upaya antisipasi agar tidak banyak timbul korban serta meminimalkan dampak kerugian. Inilah yang disebut dengan mitigasi bencana yakni segala upaya untuk mengurangi resiko bencana. Upaya mitigasi berbasis teknologi tidak bisa dilakukan tanpa dukungan penguasa, butuh sistem untuk pengembangan menanganinya. Ketersediaan dana dan tenaga menjadi modal pokoknya, sayangnya dukungan ini belum maksimal. 

Banyak kendala yang dihadapi para peneliti baik dari sisi dana, sumber daya manusia, maupun peralatan. Sebagaimana kita ketahui yang  menjadi benturan awal dalam pengembangan sistem mitigasi bencana adalah ketidaktersediaan dana, mengingat utang negara saat ini bagaikan kurva eksponensial dan peningkatannya melesat tajam. Jika dana yang dibutuhkan cukup banyak maka jalan satu-satunya bagi negara adalah dengan menambah utang.

Kesulitan seperti ini wajar terjadi dalam sistem kapitalis-sekuler sebab negara hanya bertugas sebagai fasilitator bukan periayah atau pengurus. Konsep fasilitator hanya memfasilitasi kebutuhan lembaga-lembaga baik lembaga luar negeri maupun dalam negeri. Seperti yang telah terjadi pada kebanyakan kebijakan umum yang terlihat memihak lembaga tertentu atas pertimbangan untung dan rugi.

Berbeda dengan negara yang bertindak sebagai periayah. Negara akan mendukung segala bentuk penelitian bahkan memberikan bantuan termasuk bidang mitigasi bencana, pendanaan, dukungan penelitian, pengembangan mitigasi, hingga penyebarluasannya.

Pembinaan terhadap masyarakat dapat dilakukan dengan penyuluhan oleh lembaga pendidikan terkait atau langsung ditayangkan berbagai media yang dimiliki negara. Dengan mekanisme seperti ini rakyat dapat mengantisipasi ketika datang bencana. Setidaknya memiliki kesiapan jika sewaktu-waktu bencana terjadi. Mengingat waktu terjadinya tidak bisa diprediksi tetapi setidaknya kita sudah berusaha pada wilayah yang mampu dikuasai.

Sayangnya sistem seperti ini hanya ada pada Islam. Sebuah sistem yang berpandangan bahwa rakyat adalah amanah dan tanggung jawab negara. Negara yang menerapkan sistem Islam akan benar-benar melindungi rakyatnya dari berbagai ancaman.

Namun hingga hari ini sistem Islam belum diterapkan kembali di tengah-tengah kaum Muslim. Artinya penerapan aturan Allah secara menyeluruh belum terwujud. Karena itulah sangat penting untuk setiap Muslim harus menyadari bahwa bencana alam merupakan bukti kebesaran Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya:

اَوَلَمْ يَرَوْا اَنَّا نَأْتِى الْاَ رْضَ نَـنْقُصُهَا مِنْ اَطْرَا فِهَا ۗ وَا للّٰهُ يَحْكُمُ لَا مُعَقِّبَ لِحُكْمِهٖ ۗ وَهُوَ سَرِيْعُ الْحِسَا بِ
"Dan apakah mereka tidak melihat bahwa Kami mendatangi daerah-daerah (orang yang ingkar kepada Allah), lalu Kami kurangi (daerah-daerah) itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya? Dan Allah menetapkan hukum (menurut kehendak-Nya), tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya; Dia Maha Cepat perhitungan-Nya."(QS. Ar-Ra'd [13]:41)

Bencana dan musibah yang terjadi bisa merupakan teguran sekaligus peringatan yang kita agar kita kembali kepada aturan Allah. Meninggalkan sistem buatan manusia yang nyata membawa banyak kerusakan. Kembali menerapkan Islam secara kaffah di bawah institusi khilafah islamiyah

Wallahu a'lam bisshawab

Oleh: Sri Wahyu Anggraini S.Pd.
(Sahabat Topswara)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar