Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Dilema Perubahan Iklim, dari Pengurangan Emisi Menjadi Deforestasi


Topswara.com -- Dunia sudah tua. Keadaannya tak lagi gagah perkasa. Kerusakan alam terjadi di mana-mana. Perubahan iklim adalah bukti nyata dari ulah manusia. Kesadaran akan bahaya perubahan iklim telah disadari dunia. Di akhir tahun ini, dalam pertemuan 26th UN Climate Change Conference of the Parties (COP26) Indonesia menyampaikan komitmennya mengurangi emisi. Akankah upaya ini terealisasi? 

Keterlibatan Indonesia

Dalam usaha mengurangi emisi gas efek rumah kaca, dunia berinisiatif melakukan terobosan  baru, yaitu mengubah bahan bakar dari fosil menjadi nabati atau biofuel. Biofuel sendiri merupakan bahan bakar yang berasal dari materi tumbuhan dan kotoran binatang. Setelah melalui proses pengolahan, bahan ini dapat dipakai untuk menggerakkan mesin, pemanas dan kelistrikan. 

Indonesia termasuk yang mengikuti program biofuel. Negeri khatulistiwa ini pun mengeluarkan kebijakan wajib memakai biodiesel (biofuel) sebagai tambahan bahan bakar transportasi. Setidaknya bahan tersebut mengandung 30 persen biofuel. Rencananya, tahun 2025 akan meningkat jadi 50 persen (Bbc, 8/12/21).

Demi mencapai target 2040, emisi berkurang 36 juta ton CO2, banyak perusahaan dikerahkan untuk memproduksi biofuel. Kelapa sawit  dipilih sebagai komoditas yang akan diolah menjadi bahan bakar nabati. Akhirnya, pembukaan lahan pun dilakukan secara besar-besaran. Hingga  Indonesia menduduki peringkat ketiga dunia sebagaimana penghasil biofuel. 

Menimbulkan Bahaya Baru

Pemerintah tidak menyangka jika rencana ini justru menimbulkan bencana. Biofuel yang digadang sebagai pengganti bahan bakar fosil, ternyata memberikan dampak mengerikan. Awalnya, semua berfikir, tanaman biofuel dapat menyerap CO2 yang dihasilkan oleh kendaraan. Pembakaran bahan bakar nabati akan menghasilkan karbon yang dapat diserap tumbuhan. Begitu seterusnya, hingga jumlah karbon di atmosfer berkurang. 

Sayangnya, jauh panggang dari api. Apa yang diharapkan tak sesuai dengan kenyataan. Pembukaan lahan kelapa sawit berarti mengurangi luas hutan. Greenpeace Indonesia mengumumkan hutan yang hilang di Kalimantan mencapai 4.089.132,8 hektare dan Sumatera 3.957.099,0 hektare. Disusul Sulawesi mencapai 841.075,1 hektare dan Papua 644.292,3 hektare.

Negara yang merupakan paru-paru dunia nomor tiga ini harus menanggung beban dari program biodiesel nasional. Dalam kurun waktu 2001-2020, deforestasi telah mengakibatkan bencana bagi umat manusia. Setiap tahun, ketika musim hujan tiba, Pulau Kalimantan dan Sumatera terendam banjir. Sebagaimana di Sintang, Kalimantan Barat. Jika musim kemarau tiba, kedua wilayah itu mengalami kebakaran hutan dan lahan (karhutla). 

Masalah tidak sampai di situ, hutan merupakan penyerap CO2 terbaik. Kemampuan lahan kelapa sawit menyerap karbon tak sebesar hutan. Artinya, dengan adanya deforestasi maka kadar karbon yang terserap akan lebih sedikit. Sehingga mimpi 2040 mengurangi emisi gas rumah kaca bisa saja gagal. 

Kapitalisme Biang Keladi

Bumi menjerit karena manusia menerapkan sistem yang sakit. Kapitalisme adalah sistem yang melahirkan revolusi industri membuat teknologi berkembang tanpa henti. Dengan pemahaman materialistis, para kapital berhasil mengeruk kekayaan sumber daya alam (SDA) tiada henti. Semua itu dilakukan untuk memenuhi hasrat duniawi. 

Sekularisme yang diadopsi membuat manusia tak lagi percaya Sang Pencipta alam raya. Mereka lebih memilih aturan rimba (siapa yang kuat dia berkuasa) dari pada kalam Penguasa Dunia. Hingga akhirnya alam yang menanggung kerakusan manusia durjana. SDA dikeruk tanpa ampun, hutan dibabat tanpa maaf. Kalaupun berusaha menuntaskan, muncul masalah baru pada akhirnya.

Islam Menjaga Alam

Islam tidak akan membiarkan kerusakan  alam. Islam memerintahkan manusia agar menjaga alam. Allah Swt. berfirman, "Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya…”(TQS. al-A’raf:56).

Selain itu, Islam juga tidak membolehkan merusak alam. Larangan ini dicontohkan Rasulullah SAW saat perang. Beliau melarang kaum Muslim merusak tanaman dan alam. Hal yang sama pun dipahami oleh para Sahabat. Mereka berusaha mengontrol nafsu. Allah SWT mengingatkan manusia dalam firman-Nya:
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia..." (TQS. Ar-Ruum: 41).

Islam telah memiliki konsep kepemilikan, yaitu individu; umum dan negara. Kekayaan alam, seperti hutan; tambang; minyak dan perairan termasuk milik umum. Islam mengharamkannya dikelola asing dan swasta. Dengan begitu, negara bisa menjaga dan mengontrol pemanfaatan SDA. Sehingga, manusia tidak dapat mengeruk kekayaan itu semaunya. Demikian juga masalah deforestasi, Islam melarang pembukaan hutan secara berlebihan. Kegiatan ini hanya akan dilakukan untuk kepentingan mendesak, itupun setelah melakukan analisa dampak lingkungan (AMDAL).

Masalah perubahan iklim, deforestasi hingga bencana alam terjadi karena ulah manusia yang mengambil Kapitalisme sebagai acuan. Jadi, jika permasalahan ini ingin selesai, hanya Islam yang pantas dijadikan solusi fundamental. Karena Islam telah terbukti mampu menyelesaikan persoalan yang terjadi secara tuntas.

Wallahu a'lam bishawab


Penulis: Henyk Widaryanti
(Sahabat Topswara)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar