Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Dampak UU Cipta Kerja bagi Kaum Pekerja


Topswara.com -- Tanggal 25 November 2021 Mahkamah Konstitusi (MK) memerintahkan DPR dan Pemerintah untuk memperbaiki UU Cipta Kerja dalam jangka waktu 2 tahun ke depan. Jika tidak, maka aturan tersebut akan dinyatakan inkonstitusional.

Ketua MK Anwar Usman dalam sidang yang disiarkan channel YouTube MK, Kamis (25/11/2021) menyatakan, "apabila dalam tenggang waktu 2 tahun pembentuk Undang-undang tidak dapat menyelesaikan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, maka Undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU Nomor 11/2020, harus dinyatakan berlaku kembali."

Guru Besar Hukum Tata Negara, Denny Indrayana menilai MK mencoba mengakomodasi berbagai kepentingan dan mengambil jalan tengah yang membuat putusan menjadi ambigu. Mantan Wamenkumham itu mengatakan uji formil UU Ciptaker dilakukan MK untuk menilai keabsahan prosedur pembuatan UU, bukan terkait isinya.

Deni Indrayana juga mengatakan MK pada  awalnya terlihat tegas dengan menyatakan bahwa UU Ciptaker bertentangan dengan UUD 1945. Namun, karena alasan obesitas regulasi dan tumpang tindih UU, MK memberi pemakluman inkonstitusionalitas bersyarat.
Sehingga akhirnya MK memberi waktu 2 tahun untuk pemerintah dan DPR memperbaiki pembuatan UU Ciptaker. Jika dalam kurun waktu tersebut tidak diperbaiki, maka UU Ciptaker menjadi inkonstitusional permanen.

Selain itu, MK tetap mendapat kritikan terkait putusan perkara nomor: 91/PUU-XVIII/2020 mengenai uji formil UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Sejumlah pihak berpendapat MK mengambil jalan tengah yang justru membuat kebingungan karena putusan dapat ditafsirkan berbeda.

Sejak masih menjadi RUU memang UU Ciptaker ini menjadi polemik. Bahkan secara substansi UU Ciptaker juga bermasalah dan membawa dampak buruk khususnya bagi pekerja/buruh. 

Perspektif dalam substansi UU Ciptaker condong pada kepentingan pengusaha, bukan lagi dilandasi semangat untuk melindungi pekerja/buruh yang relasi kuasanya lebih lemah. Apa saja dampak buruk apabila UU Ciptaker tetap berjalan?

Dampak UU Ciptaker

UU Ciptaker mengubah sejumlah aturan bagi buruh di Indonesia. Perubahan tersebut menuai penolakan dari serikat pekerja dan buruh lantaran dinilai merugikan pekerja.

Setidaknya ada 5 dampak yang diakibatkan dari putusan UU Ciptaker bagi buruh:

Pertama, pekerja terancam tidak menerima pesangon. UU Ciptaker menghapus setidaknya 5 pasal mengenai pemberian pesangon. Imbasnya, pekerja terancam tidak menerima pesangon ketika mengundurkan diri, mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), atau meninggal dunia.

Kedua, TKA lebih mudah masuk RI. Hal ini terdapat pada Pasal 81 poin 4 hingga 11 UU Ciptaker yang mengubah dan menghapus sejumlah aturan tentang pekerja asing dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Ketiga, batasan maksimum tiga tahun untuk karyawan kontrak dihapus. Sebelumnya, pada Pasal 59 poin 1 UU Ketenagakerjaan disebutkan jika PKWT hanya dibuat untuk pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama tiga tahun.

Namun, pasal 81 poin 15 UU Ciptaker mengubah bunyi pasal 59 UU Ketenagakerjaan sehingga hanya menyampaikan jika PKWT hanya dapat dibuat untuk pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama. Jelas pemerintah menghapus batasan maksimal tiga tahun tersebut.

Keempat, jam lembur tambah dan cuti panjang hilang. Dalam UU Ciptaker tepatnya Pasal 81 poin 22 mengubah pasal UU 78 UU Ketenagakerjaan tentang waktu kerja lembur. Mulanya, UU 78 UU Ketenagakerjaan menyebutkan jika waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak tiga jam dalam satu hari dan empat belas jam dalam seminggu. Namun dalam UU Ciptaker, waktu lembur bertambah menjadi paling lama empat jam dalam sehari dan delapan belas jam dalam seminggu.

Kelima, tidak ada UMK. UU Ciptaker menghapus upah berdasarkan provinsi atau kota/kabupaten (UMK) dan upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kota/kabupaten yang tertera dalam Pasal 89 UU Ketenagakerjaan. Sebagai gantinya, UU Ciptaker menyatakan jika gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu yang tertera dalam pasal selipan 88c UU Ciptaker.

Demikianlah dampak buruk UU Ciptaker bagi pekerja. Agar permasalahan ketenagakerjaan dapat diselesaikan dengan tuntas, perlu dilakukan dengan mencari solusi yang paling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Baik bagi pengusaha maupun pekerja.

Lantas bagaimana sebenarnya konsep ketenagakerjaan yang ideal itu?

Sistem Ketenagakerjaan dalam Islam

Islam sebagai sebuah sistem kehidupan (mabda’) telah mampu mengatasi berbagai permasalahan kehidupan. Termasuk permasalahan yang berkaitan dengan ketenagakerjaan akan diselesaikan secara fundamental dan komprehensif.

Permasalahan ketenagakerjaan tidak mungkin dilepaskan dari kebijakan negara dalam bidang politik ekonomi. Menurut Islam, negaralah  pihak yang bertanggungjawab mengurusi urusan rakyatnya.

Dengan politik ekonomi Islam, negara akan menerapkan kebijakan yang menjamin pemenuhan semua kebutuhan pokok (primer) setiap individu secara keseluruhan 
berupa pangan, sandang, dan papan, serta kebutuhan terhadap jasa tertentu berupa pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Untuk  setiap warga negara baik muslim dan non-Muslim, secara menyeluruh. Juga adanya jaminan setiap individu akan terpenuhinya kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) sesuai kemampuan mereka.

Islam lebih menekankan pada pemenuhan kebutuhan masyarakat secara individu dan bukan secara kolektif. Maka dari itu aspek distribusi sangat penting sehingga setiap individu dapat dijamin secara pasti segala kebutuhan hidupnya.

Ketika mensyariatkan hukum-hukum yang berkenaan tentang ekonomi kepada manusia, Allah SWT telah mensyariatkan hukum-hukum tersebut untuk pribadi, masyarakat, dan negara.

Termasuk dengan ketenagakerjaan, Islam telah menjelaskan secara rinci bagaimana kontrak kerja antara pengusaha dengan pekerja melalui hukum yang menyangkut ijarah al-ajir.

Imbalan yang diperoleh akan sesuai dengan manfaat yang diberikan, bukan kebutuhan atau living cost terendah.

Oleh karena itu masalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja dapat diselesaikan sendiri oleh pengusaha dan pekerja. Diselesaikan melalui perantaraan khubara (ahli) independen yang dipilih oleh kedua belah pihak atau oleh aparat negara jika keduanya tak sepakat. Aparat negara seperti qadhi turut berwenang menyelesaikan perselisihan secara adil.

Dengan mematuhi ketentuan Islam dalam hubungan antara pengusaha dan pekerja akan dapat diselesaikan dengan baik. Demikianlah keindahan syariat Islam mengatur ketenagakerjaan.


Oleh: Hidayati 
(Aktivis Muslimah)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar