Topswara.com -- Pakar parenting Islam Ustaz Budi Ashari, Lc. mengungkapkan, ayat pernikahan adalah ayat Allah SWT yang luar biasa.
"Ayat pernikahan adalah ayat Allah SWT yang luar biasa," ungkapnya dalam Nasehat Pernikahan, di YouTube Nabawiyyah TV Jumat (26/11/2021).
Ia mengatakan, jika sudah disebut ayat Allah SWT, maka tidak ada yang kecil. Apabila ada pernikahan yang rasanya remeh atau ada orang yang beranggapan bahwa pernikahan adalah suatu sifat tambahan dalam kehidupan, berarti orang tersebut tersesat dalam hidupnya.
"Karena ini ayat Allah SWT, dan semua ayat-Nya Agung, maka mari kita muliakan dan hormati pernikahan ini. Dan Allah SWT meminta pernikahan dan ayatnya ditadaburi, baik pernikahan kita maupun pernikahan orang lain. Jadi banyak sekali yang bisa tadaburi dalam ayat pernikahan ini. Karena di ayat ini juga kunci keberkahan rumah tangga," katanya.
Budi Ashari kemudian membacakan Al-Qur'an Surah Ar-Rum ayat 21
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir."
"Ternyata Allah SWT meringkas dengan satu kalimat di ayat tersebut, yakni Allah SWT memberikan resep yang luar biasa untuk memberikan kebahagiaan, kenyamanan, ketentraman, keabadian dan kelanggengan sebuah rumah tangga," paparnya.
Ia menjelaskan, Allah SWT menyampaikan bahwa lafadz ajwaja artinya pasangan. "Dia bukan hanya lelaki atau perempuan, karena ayat-Nya menyampaikan babnya lelaki dan perempuan yang duduk berduaan di pelaminan, bukan hanya lelaki dan perempuan, tapi mereka pasangan," jelasnya.
Budi Ashari mengibaratkan, pasangan seperti sandal kanan dan kiri. Bisa juga seperti tangan kanan dan kiri. "Sehingga, pasangan tidak mungkin sama, jika sama berarti bukan pasangan," ujarnya.
Ia mempermisalkan, jika ada yang bertanya, 'Kenapa kok cocok menikah? Karena sama-sama suka makan bakso', yang demikian bukan pasangan. Sebab pasangan tidak mesti sama dan tidak mungkin sama.
"Kanan pasangannya kiri, siang pasangannya malam, gelap dengan terang, matahari dengan rembulan, dan itu sangat berbeda. Tidak mungkin malam disebut siang atau sebaliknya dan begitupun dengan contoh lainnya, pasti berbeda," tegasnya.
Budi Ashari menerangkan, untuk menjadi pasangan harus ada penyesuaian diri dan kerjasama yang baik agar menjadi ajwaja atau pasangan. Bukan sekadar tandatangan bersama, bukan hanya duduk berdampingan di pelaminan, atau berjalan berduaan di bawah payung di tengah rintik hujan. "Jika dia bukan pasangan, akan menjadi masalah dalam kehidupan, maka jadilah pasangan," terangnya.
Sakinah
Ia mengatakan, setelahnya Allah SWT akan menyampaikan bahwa rumah tangga adalah listakunu alaiha bahwa rumah tangga harus sakinah dulu, yaitu ketenangan dan kenyamanan. Maka dua kata tersebut merupakan hal yang mahal yang diperlukan dalam pernikahan.
"Maka, mulailah dari ketenangan atau sakinah, di mana di sana ada ketenangan dan kenyamanan dari kedua belah pihak, dari dua orang yang berbeda tapi menjadi pasangan. Maka setelah itu, Allah SWT menghadirkan wajaala bainakum mawddatan wa rahmatan," tuturnya.
Budi Ashari mempertanyakan, mengapa bukan mahabbah. Hal tersebut tadabbur yang luar biasa. "Hari ini kita setiap berbicara cinta, kosa katanya pasti mahabbah. Ada yang beranggapan bahwa mawaddah sesuatu yang tinggi dan agung. Kemudian, mengapa banyak rumah tangga masalah? Karena kosakata cinta itu hanya dengan mahabbah, padahal Allah SWT membahasakannya mawaddah," jawabnya.
"Dalam bahasa Indonesia, kita sulit mencari terjemahannya, akhirnya diterjemahkan sama, yaitu cinta. Mawaddah dan mahabbah akarnya sama. Dalam bahasa Indonesia, dua kata tersebut tidak bisa dibedakan," bebernya.
Ia mengatakan, mawaddah terlahir dari sikap, karena orang tidak hanya cukup dirasa, tetapi perlu menunjukkan tentang rasa dalam sikapnya. Mahabbah adalah sesuatu yang dirasakan, sedangkan mawaddah dibuktikan melalui akhlak, dan perlu akhlak dalam rumah tangga.
"Jika baca syair cinta atau di sastra Arab, di syairnya Majenun jatuh cinta kepada Laila sampai gila. Nah, kisaran bahasannya hanya mahabbah tidak pernah pindah ke mawaddah. Sehingga, cinta membuat orang jadi gila, tidak tahu arah, jadi sedih, dan merintih. Lihatlah kalimat Qais Al-Mulawah, laki-laki yang mencintai sampai gila. Dan itulah yang diajarkan cinta picisan saat ini," kisahnya.
Ia melanjutkan kisahnya, Qais mengatakan bahwa, 'Saya mencinta Laila dengan cinta yang andai ia punya cinta semisal cintaku, maka ia akan gila sepertiku, karena hari ini aku hidup dengan hati yang siang harinya kesedihan dan malam harinya adalah impian. Lalu jika demikian, apa indahnya cinta begitu?'
"Allah SWT menginginkan mawaddah tidak hanya dibuktikan bahwa cinta adalah rasa yang ada dalam hati, namun dibuktikan dengan semua tindakan dalam kehidupan dirinya, baru mahabbah menjelma menjadi mawaddah. Maka, ubah kosa katanya dari mahabbah menjadi mawaddah," ungkapnya.
Ia meyakinkan, jika sudah tumbuh menjadi mawaddah rumah tangga akan penuh dengan akhlak mulia dan yang terakhir adalah warahmah.
"Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya yang simpel dan sederhana, mawaddah itu antara suami dan istri, sedangkan rahmah saat nanti punya keturunan. Jika direnungi, sungguh luar biasa, ada banyak makna dalam kalimat tersebut. Di antara maknanya adalah, jika seseorang hanya berhenti di mahabbah dan belum berlanjut ke level mawaddah, maka akan kesulitan ketika memiliki anak, karena akan susah naik ke level warahmah," yakinnya.
Budi Ashari menyarankan, segeralah miliki mawaddah kemudian Allah SWT izinkan memiliki rahmah. Mawaddah hadir saat keadaan lapang atau menggembirakan, sedangkan warahmah hadir saat dalam keadaan sempit, sedih, sedikit rezeki, gundah gulana, dan semua adalah rasa.
"Ternyata hal tersebut, terhubung dengan kalimat Ibnu Katsir. Jika ditadaburi bahwa ternyata banyak keluarga ketika punya anak, maka mahabbah suami istri berkurang sangat jauh disebabkan anak. Tiba-tiba anak yang dimuliakan dan dititipkan Allah SWT merenggut keindahan seperti saat pengantin baru, itu salah," imbuhnya.
Ia mengatakan, hal tersebut terjadi karena baru berhenti di level mahabbah belum naik ke level mawaddah.
"Padahal, pernikahan memerlukan _
mawaddah warahmah saat memiliki keturunan, akhirnya nanti terpelihara keduanya. Sehingga, ketika mempunyai anak, sesibuk sekalipun tidak lupa dengan mawaddah yang pernah membahagiakan saat di awal hari pernikahan," pungkasnya.[] Nurmilati
0 Komentar