Topswara.com -- Ahli Fiqih Islam Kiai Shiddiq Al-Jawi, M.Si. membeberkan hukum tafaqquh fid diin (memperdalam pengetahuan tentang agama). “Hukum-hukum tafaqquh fid diin atau memperdalam pengetahuan tentang agama) adalah sebagai berikut,” bebernya dalam live streaming bertajuk Belajar Agama Jangan Terlalu Mendalam: Benarkah? di kanal Khilafah Channel Reborn, Jumat (10/12/2021).
“Pertama, fardu ain, yaitu wajib hukumnya bagi setiap muslim untuk mengetahui ilmu-ilmu syariah yang berkaitan dengan pekerjaan atau aktivitasnya sehari-hari. Misal, seorang pedagang, fardu ain mempelajari hukum syariah mengenai jual beli, utang piutang, rahn (gadai), dan sebainya. Seorang dokter, fardu ain mempelajari hukum syariah mengenai hukum berobat, hukum terkait pasien (al mariidh), hukum rukhsah bagi orang sakit, dan sebagainya,” paparnya.
Kedua, hukum memperdalam ilmu tentang agama adalah fardu kifayah. ”Yaitu, wajib hukumnya tidak bagi setiap muslim untuk mengetahui ilmu-ilmu syariah yang tidak berkaitan dengan pekerjaan atau aktivitasnya sehari-hari. Misalnya, seorang pedagang, fardu kifayah mempelajari hukum syariah tentang kedokteran, yakni ilmu fiqih di luar bidang pekerjaanya,” urainya.
Lebih lanjut, Kiai Shiddiq menguraikan, fardu kifayah menjadi seorang ulama yang ahli dalam bidang ilmu syariah tertentu, misalnya ulama ahli tafsir, ahli hadis, ahli fiqih (mujtahid), dan sebagainya.
Dalil
“Tafaqquh fid diin atau memperdalam pengetahuan agama maksudnya adalah memahami berbagai masalah (tema) dalam agama Islam, seperti shalat, puasa, muamalah, dan nikah,” tutur Kiai Shiddiq.
Ia menjelaskan lebih lanjut bahwa tafaqquh fid diin juga mempunyai makna memahami segala sesuatu yang diwajibkan atas mukalaf untuk mengetahuinya, seperti urusan ibadah dan muamalahnya, bahkan termasuk ilmu yang berkaitan dengan Allah SWT, sifat-sifat-Nya, dan apa saja yang wajib diketahui untuk menyucikan Allah dari segala sifat kekurangan.
“Syaikh Sholeh bin Humaid dalam kitab At Tafaqquh fid diin Fadhluhu wa Wasa`iluhu mengatakan, semua ini tidak terwujud kecuali dengan ilmu-ilmu syariah yang sudah dikenal, seperti tafsir, hadis, fiqih, dan segala ilmu yang melayani ilmu-ilmu tersebut, seperti ilmu mushthalah, hadis, ushul fiqih, dan sebagainya,” jelasnya lagi.
Kiai Shiddiq menukil surah At-Taubah ayat 122 sebagai dalil wajibnya tafaqquh fid diin.
“Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya.”
“Sedangkan dalil berupa hadis Rasulullah SAW diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim mengatakan, ‘Dari Mu’awiyah RA dia berkata, “Rasulullah SAW telah bersabda, ‘Siapa saja yang Allah kehendaki kebaikan baginya, maka Allah menjadikannya paham dalam perkara agama.’,” bayannya.
Bahaya
Kiai Shiddiq memperingatkan, “Muslim yang lalai dari kewajiban tafaqquh fid diin, akan mudah terjerumus dalam penyimpangan-penyimpangan syariah.”
Ia menyitat hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi nomor 487, ”Khalifah Umar bin Khaththab ra berkata ’Tidak boleh berjual beli di pasar kami, kecuali orang yang sudah melakukan tafaqquh fid diin (mempelajari hukum Islam terkait dengan jual beli)’.”
Memungkasi penjelasannya, Kiai Shiddiq menyampaikan peringatan yang disampaikan oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib yang termaktub dalam kitab Mughni al Muhtaj, juz 2, halaman 22 karangan Syarbaini Khathib, “Barang siapa yang berdagang sebelum melakukan tafaqquh fid diin (mempelajari hukum Islam terkait dengan jual beli), maka dia akan terjerumus ke dalam riba, kemudian akan terjerumus, kemudian akan terjerumus.” [] Reni Tri Yuli Setiawati
0 Komentar