Topswara.com -- Jika negara ibarat sebuah rumah, maka bandara adalah salah satu pintunya. Lalu bagaimana jadinya jika kunci pintunya diserahkan kepada pihak lain? Dengan alasan pihak tersebut mampu memberi dana agar pintu menjadi bagus, serta memuaskan siapa saja yang datang menjadi tamu. Apalagi dana diberikan sangat besar. Saking besarnya dapat digunakan oleh pemilik rumah untuk membuat pintu lain yang baru.
Begitulah, gambaran alih kelola bandara. Sehingga wajar kebijakan alih kelola bandara terbesar ketiga yakni Kualanamu, di Deli Serdang, Sumatera Utara menuai kritik.
Namun, pemerintah tetap bersikukuh. Mereka berdalih hal tersebut sudah biasa dilakukan oleh beberapa negara. Pun, mengklaim negara justru akan banyak mendapatkan keuntungan. Benarkah demikian?
Pelayanan Berbasis Keuntungan Materi
Sudah lazim, jika sistem ekonomi kapitalis diterapkan dalam sebuah negara. Maka kebijakan yang dihasilkan selalu bersandar pada keuntungan materi semata. Termasuk kebijakan kelola dan pengembangan sebuah bandara.
Sejak beberapa tahun lalu, Menhub sudah mewacanakan kebijakan alihkelola bandara Kualanamu. Ialah GMR Airports, perusahaan asal India, yang akhirnya pada 2021 ini, berhasil menjadi mitra strategis PT Angkasa Pura II (AP II) dalam pengelolaannya selama 25 tahun.
Staf Khusus Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Arya Sinulingga mengklaim AP II banyak mendapatkan keuntungan. Yakni, dana sebesar Rp1,58 triliun dari GMR. Serta dana pembangunan dan pengembangan Kualanamu sekitar Rp56 triliun akan ditanggung GMR. Sehingga, sebagian dana bisa digunakan untuk pengembangan dan pembangunan bandara baru (merdeka.com, 26/11/2021 ).
Pemerintah juga menilai alih kelola ini akan mempercepat dan membuka jalan bagi Foreign Direct Investment (FDI) masuk ke wilayah Indonesia bagian barat.
Dari sini terlihat jelas, pemerintah hanya memandang alih kelola dari sisi keuntungan secara ekonomi saja. Sama sekali tidak menimbang bahaya alih kelola dari sisi kedaulatan negara.
Bahkan berulang kali baik Kemenhub maupun pihak AP II menegaskan bahwa alih kelola bukanlah penjualan aset. Padahal, fakta penjualan saham kepemilikan yakni 49 persen kepada GMR justru menunjukkan sebaliknya.
Hal ini mengundang kritik keras dari Said Didu, mantan sekretaris kementerian BUMN. Ia mengatakan bahwa bandara termasuk dalam kategori pintu perbatasan antar negara, dengan kata lain pintu kedaulatan. Maka dengan penjualan saham AP II, berakibat Indonesia tidak berhak lagi mengatur arus pesawat di bandara. Inilah bukti bahwa indonesia tak lagi berdaulat (Pikiran Rakyat, 27/11/2021).
Fakta alih kelola ini bertentangan dengan jaminan keamanan terbatas di bandara. Apalagi yang berkaitan dengan pertahanan negara, maka seharusnya ada dalam kendali negara secara mandiri. Bukan diserahkan seluruhnya atau sebagian kepada pihak asing. Sebab jika itu terjadi, alih-alih negara meraup keuntungan, yang ada justru akan sangat sulit menjaga seluruh aset yang ada di dalamnya.
Pintu Perbatasan Wajib Dijaga
Di dalam Islam, daerah perbatasan haruslah dijaga. Allah berfirman dalam Al-Quran surat Ali Imran ayat 200,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱصْبِرُوا۟ وَصَابِرُوا۟ وَرَابِطُوا۟ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.”
Syaikh Ibnu Katsir menafsirkan murabatah dalam ayat di atas, adalah bersiap siaga di perbatasan negeri dari ancaman musuh. Atau menjaga tapal batas negeri Islam serta melindunginya dari serangan musuh yang hendak menjarah negeri-negeri Islam.
Begitu juga dalam banyak hadis disebutkan bahwa tugas ini pahalanya besar sekali. Di antaranya, Imam Bukhari meriwayatkan melalui Sahl ibnu Sa'd As-Sa'idi, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:
"رباطُ يَوْمٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا عَلَيْهَا"
"Bersiap siaga di perbatasan selama sehari dalam jihad di jalan Allah lebih baik daripada dunia dan semua yang ada di dalamnya".
Dalil-dalil di atas menunujukkan bahwa aturan Islam memerintahkan agar negara bersungguh-sungguh menjaga daerah perbatasan. Tentu termasuk pintu masuknya. Oleh karena itu, bandara dan hal yang berkaitan dengan keamanan dan pertahanan negara tidak boleh diserahkan kepada asing apapun alasannya.
Jika negara membutuhkan dana untuk pengelolaan dan pengembangan bandara. Maka dalam sistem Islam bisa diambil dari harta kepemilikan umum. Sementara jika untuk meningkatkan kemampuan SDM, cukup memanggil ahli pihak asing untuk memberikan ilmu dan pelatihan. Tentu dipastikan dilakukan tanpa mengorbankan kedaulatan negara.
Kebijakan alih kelola bandara pada pihak asing adalah buah penerapan sistem kapitalisme sekuler. Sudah seharusnya dibatalkan. Sebab, keuntungan dana yang diperoleh tidak sebanding dengan bahaya besar yang mengintai, yakni hilangnya kedaulatan negara.
Akan tetapi, kebijakan seperti ini, yang berbasis keuntungan materi semata akan terus berulang selama sistem yang diterapkan tetap sama. Oleh karena itu, tidak cukup hanya dengan membatalkan kebijakan. Namun harus diikuti dengan mengganti sistem kapitalis dengan sitem Islam. Karena, hanya sistem Islam kedaulatan sebuah negara akan terjamin.
Wallahu a’lam bishawab
Oleh: Dewi Masitho
(Sahabat Topswara)
0 Komentar