Topswara.com -- Proyek genosida rezim Tirai Bambu terhadap etnis minoritas Uighur terus memantik kemarahan dunia. Di berbagai kesempatan, banyak negara berbondong-bondong mengecam tindakan genosida tersebut. Kini, isu Uighur kembali mengemuka di Sidang Komite III Majelis Umum PBB ke-76 di Amerika Serikat, pada 21 Oktober 2021 lalu.
Sebanyak 43 negara anggota Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) melakukan pernyataan bersama di Sidang Komite III Majelis Umum PBB. Pernyataan yang diwakili Prancis tersebut berisi kecaman tentang perlakuan pemerintah Cina terhadap beberapa kelompok minoritas di Xinjiang. Termasuk di dalamnya etnis muslim Uighur. Sayangnya, dari jumlah 43 negara tersebut, Indonesia tidak ada di dalamnya. (sindonews.com, 23/10/2021)
Menanggapi absennya suara Indonesia, Juru bicara Kementerian Luar Negeri RI Teuku Faizasyah mengatakan, Indonesia akan tetap menyuarakan isu-isu HAM melalui mekanisme yang lain. Seperti melalui Universal Periodic Review (UPR) atau pelaporan instrumen HAM. Indonesia juga akan menggunakan mekanisme bilateral untuk membahas berbagai isu, termasuk di dalamnya mengenai HAM. (republika.co.id, 25/10/2021)
Derita Etnis Uighur dan Diamnya Penguasa Muslim
Kaum Muslim minoritas Uighur di Xinjiang menjadi salah satu minoritas yang paling terzalimi. Sejak aneksasi rezim komunis Cina di Xinjiang pada 2017 lalu, Muslim Uighur hidup dalam suasana mengerikan. Berdasarkan laporan PBB, diperkirakan terdapat lebih dari satu juta orang dari etnis Uighur, Kazakh, serta minoritas lainnya ditahan di penjara terbesar yang dikenal dengan nama 'kamp pendidikan ulang'.
Tak sekadar menahan, rezim komunis Cina telah melakukan pelanggaran HAM berat terhadap fisik dan psikologis Muslim Uighur. Sekretaris Jenderal Amnesty Internasional, Agnes Calamard, bahkan menuduh rezim komunis Cina telah menciptakan "situasi distopia dalam proporsi yang tidak terbayangkan". Mereka membuat banyak etnis Uighur menjadi korban penyiksaan, cuci otak, dan perlakuan keji lainnya di kamp-kamp pendidikan ulang. Sementara jutaan orang lainnya dicekam ketakutan di tengah pengawasan aparat yang sangat masif.
Namun, tampaknya selimut duka Muslim Uihgur belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Meski kecaman dunia khususnya negara-negara Barat masih menggema, tetapi diamnya penguasa-penguasa negeri Muslim justru membuat miris. Indonesia misalnya, memilih tidak mengambil satu opsi pun dalam Sidang Komite Majelis Umum PBB. Tidak mendukung, juga tidak mengecam pemerintah Cina terkait Muslim Uighur.
Hal ini dilakukan karena Cina memegang kebijakan "nonintervensi". Maksudnya, Cina menghindari keterlibatan terhadap urusan dalam negeri negara lain. Untuk membalas kebijakan tersebut, penguasa negeri-negeri Muslim termasuk Indonesia melakukan hal yang sama terhadap Cina. Mereka tetap membisu dari pembelaan secara langsung terhadap Muslim Uighur dan tidak mau mencampuri urusan dalam negeri Cina.
Para pengamat menilai, penguasa Muslim tetap membisu karena pertimbangan ekonomi, politik, dan kebijakan luar negeri. Mereka tidak mau mengambil risiko jika mencampuri urusan negara Cina. Apalagi, investasi Cina di negeri ini terbilang cukup besar. Sejak 2015 sampai triwulan III 2020 saja, investasi asing langsung dari negeri Tirai Bambu tersebut mencapai 17,29 miliar dollar AS.
Nasionalisme Memutus Ukhuwah
Derita Muslim Uighur yang tidak pernah berakhir ternyata berkelindan dengan bungkamnya suara para penguasa negeri Muslim. Slogan internasional "nonintervensi" dan jeratan investasi asing yang membelenggu negeri ini, menjadi rantai pengikat yang tidak mampu dilepaskan.
Padahal, acuh tak acuh terhadap penderitaan saudaranya merupakan cara pandang yang lahir dari roh sekularisme. Spirit ini telah menggerus empati para penguasa muslim terhadap derita kaum muslim di belahan bumi yang lain. Ditambah lagi, sekat-sekat nasionalisme yang membelenggu seolah menjadi keabsahan untuk tidak ikut campur urusan saudaranya di negara lain. Nasionalisme yang lahir dari rahim kapitalisme inilah yang kemudian melahirkan pemimpin-pemimpin minim empati.
Tak heran, meski diskriminasi, penyiksaan, hingga pembunuhan menimpa kaum Muslim dunia, para pemimpin negeri-negeri Muslim tetap menutup mata dan telinga. Pembelaan terbaiknya hanyalah mengecam dan mengecam. Padahal, siapa pun tahu jika mengecam tidak akan menghasilkan perubahan apa pun. Nasionalisme jualah yang menggerus ukhuwah sesama Muslim atas derita saudaranya yang lain. Sikap apatis tersebut telah menjangkiti kaum Muslim di sudut-sudut negeri yang menganut roh sekularisme.
Sebagai negeri Muslim terbesar, pemerintah seharusnya memberikan pembelaan konkret terhadap Muslim Uighur. Pembelaan tersebut dapat dilakukan dengan mengirimkan kekuatan kaum muslim untuk membebaskan etnis Uighur dari penjajahan dan proyek genosida rezim komunis Cina.
Wujud Ukhuwah Hakiki dalam Islam
Setiap Muslim adalah saudara. Kiranya itulah yang diamanahkan oleh Al-Qur'an kepada seluruh umat Islam di dunia. Persaudaraan tersebut haruslah terwujud dalam tindakan nyata, bukan sekadar retorika. Ukhuwah hakiki adalah ketika seorang Muslim sakit, maka saudara Muslim yang lainnya akan merasakan deritanya. Ketika Muslim Uighur terzalimi, maka seluruh Muslim seharusnya ikut membelanya.
Apalagi, bagi mereka yang berkedudukan sebagai penguasa negeri-negeri Muslim. Merekalah yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam membela dan menyelamatkan kaum muslim dari berbagai bentuk kezaliman. Sebab, Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya al-Imam (khalifah) itu perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya." (HR Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll)
Penguasa sejati memiliki sifat yang gambarkan dalam hadis di atas. Mereka akan menjadi tameng terhadap musuh yang menyakiti dan menyerang umat Islam. Mereka tidak akan rela darah kaum Muslim tertumpah satu tetes pun tanpa hak. Karena mereka yakin bahwa amanah kepemimpinan akan dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT di akhirat.
Karakter pemimpin seperti ini hanya akan lahir dari rahim yang hak, yakni Islam. Di bawah naungan Islam, umat terjaga dan terayomi dari hal-hal yang membahayakan. Karena itu, untuk membebaskan Muslim Uighur dari kekejaman rezim komunis Cina, dibutuhkan kekuatan negara. Dan negara tersebut terwujud dalam khilafah. Karena itu, menegakkan khilafah menjadi urgen saat ini untuk membebaskan kaum Muslim dari berbagai bentuk penjajahan.
Wallahu 'alam bishshawab
Oleh: Sartinah
(Pemerhati Masalah Publik)
0 Komentar