Topswara.com -- “Ummiii…” teriak Aya dari kejauhan yang digandeng tangan Abinya. Matanya menyipit menandakan si bungsu yang bernama lengkap Azka Mazaya itu sedang tersenyum di balik maskernya. Hari ini memang jadwal sekolah tatap muka. Pembelajarannya berjalan dengan protokol kesehatan yang ketat. Anakku yang menginjak usia delapan tahun saat ini, memang antusias ketika diumumkan akan diuji coba sekolah tatap muka.
Aku hanya menunggunya di dalam mobil yang terparkir di tanah kosong seberang sekolah. Suamiku memang sudah berpesan saat di perjalanan menuju sekolah, “Nanti Abi aja yang masuk ke dalam. Kalau Ummi yang masuk bisa gawat. Ngobrole kesuwen lek ketemu emak-emak (ngobrolnya kelamaan jika bertemu emak-emak). Jam satu nanti Abi ada meeting, jadi harus buru-buru pulang.”
“Yo wes… Aku sama Asmaa nunggu di parkiran aja. Berarti entar langsung pulang ya Bi?” tanyaku dengan nada berat. Karena sebenarnya aku ingin menjemput Aya ke kelas. Sementara Asmaa, anak keduaku yang bernama lengkap Asmaa Zahiidah dan sering juga dipanggil dengan Ama, bergeming. Gadis berusia tiga belas tahun itu sibuk membuat desain di Canva dengan menggunakan tablet suamiku.
Tak berapa lama, Aya masuk ke dalam mobil. Segera kedua tangannya disodorkan kepadaku untuk disemprot dengan hand sanitizer. Kemudian aku beralih ke tangan suamiku dan menyemprotkan cairan yang sama. Ritual yang sudah setahun lebih kami lakukan sejak pandemi berlangsung. Menyemprot dengan hand sanitizer saat masuk ke mobil setelah dari luar. Sedangkan, jika memasuki rumah, cuci tangan dengan sabun dan air mengalir.
Kamis (22/04/2021) hari ini cuaca cukup menyengat. Menambah kering kerongkongan yang sedang berpuasa Ramadhan. Kemudian, mobilku pun melaju perlahan meninggalkan parkiran sekolah. Kukira mobil ini akan menyusuri jalan yang biasa kulalui untuk sampai ke rumah. Ternyata tidak. Suamiku berkata, “Ke Bintaro Plaza dulu ya sebentar.”
“Mau ngapain?” tanyaku heran. Karena sebelum berangkat menjemput si bungsu pulang sekolah, tidak ada omongan dari suamiku kalau akan jalan-jalan.
Kami memang tidak pernah lagi jalan-jalan ke mal atau pun plaza sejak pandemi. Hanya sekali waktu itu ke Bintaro Plaza. Itu pun bukan untuk jalan-jalan atau pun belanja. Tetapi ke Disdukcapil (Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil) untuk mengganti Kartu Identitas Anak (KIA) si tengah yang hilang. Karena waktu itu akan masuk pondok pesantren. Pondok pesantren anakku, Nahdhatul Muslimat, terletak di luar kota, yaitu Solo. Maka kupikir wajib dia membawa KIA.
Suamiku hanya tersenyum dan tidak menjawab pertanyaanku. Ya sudahlah, mungkin ada kebutuhan mendesak yang harus segera dibeli untuk urusan kantor.
Di tengah perjalanan, anakku si tengah Asmaa tetiba berkata, “Mik, nanti masuk Bintaro Plaza enggak usah pakai face shield ya? Males Ama Mik.”
“Males apanya?” tanyaku balik pada si tengah yang biasa membahasakan dirinya Ama.
Sambil menggerutu ia menjawab, “Masak kayak anak kecil aja pakek face shield. Iya kalau Aya enggak apa-apa, dia masih kecil.”
“Lagian Ama kan udah pernah positif (terpapar Covid-19), berarti sekarang udah kebal kan Mik,” ujarnya mencoba berargumentasi dengan nada mulai meninggi.
Belum sempat kujawab pernyatannya, suamiku berkata, “Dek, Abi aja yang sudah divaksin lengkap, tetap harus menjalankan protokol kesehatan. Enggak ada jaminan orang yang pernah positif akan kebal terhadap virus itu.”
Tepat saat suamiku selesai bicara, kami tiba di pintu masuk Bintaro Plaza. Tampak dari kejauhan dua orang bagian keamanan menunggu di sebelah mesin loket parkir. Yang satu terlihat memegang metal detector, sedangkan satunya lagi memegang termoter jenis tembak.
Moncong mobil berhenti tepat di depan mesin tersebut. Suamiku membuka kaca. Satu petugas keamanan meminta tangan suamiku untuk dideteksi temperatur badannya. Kulihat petugas keamanan yang satunya lagi menyisir mobil bagian bawal dengan metal detector. “Sila jalan Pak,” ujar petugas keamanan setelah hasil pengecekan semuanya baik.
Kuarahkan kaca di depan kursiku untuk melihat anak-anak yang duduk di baris tengah mobil. Bibir si tengah tampak sedikit monyong. Arah pandangannya ke luar mobil penuh kekesalan. Sementara tablet yang sedari tadi dibuat mendesain di Canva, tampak tergeletak di sampingnya.
Aku paham betul apa yang dirasakannya. “Dek, kata dr. Dhika (dokter sekaligus influencer Instagram yang kocak) bilang lho. Orang yang pernah positif, tetap ada kemungkinan akan tertular lagi. Jadi tidak menimbulkan kekebalan seperti vaksin cacar misalnya. Maka tetap harus pakai prokes. Dan sudah banyak kasus reinfeksi itu,” ujarku menjelaskan.
“Istrinya teman Abi yang kerjanya perawat, selang dua minggu setelah negatif, ternyata positif lagi Dek. Pokoknya enggak menjamin yang sudah pernah positif akan jadi kebal,” suamiku menambahkan fakta lagi pada si tengah.
Si tengah mencoba berargumen lagi, “Tapi kan Ama udah balig Bi, bukan anak-anak lagi. Kayak Abi sama Ummi enggak pakek face shield.” Wajahnya semakin bersungut. Bibirnya pun tambah manyun.
Kujawab argumentasinya, “Ama balig kalau dalam sistem Islam. Tapi di Indonesia yang UU-nya sekuler, usia di bawah 17 tahun dianggap anak-anak. Jadi kudu nurut sama UU yang berlaku.”
“Ayo udah sampai. Ama mau nunggu di mobil atau ikut Abi ke dalam?” tanya suamiku sekali lagi untuk memastikan pilihan si tengah.
Dengan bersungut-sungut seraya mengenakan face shield-nya, Ama menjawab, “Ikut masuk. Enggak mau nunggu di parkiran.”
Kugandeng tangan si tengah saat berjalan memasuki Bintaro Plaza. Kuberkata lagi, “Tahu kan ribetnya aturan pemerintah masalah mudik? Itu menandakan bahwa penanganan pandemi ini belum beres. Orang tambah cuek ‘kan? Pemerintah yang dipikirin itu masalah ekonomi doang Dik. Lihat tadi, cara petugas keamanan ngecek temperatur di tangan itu salah. Tapi tetap saja dilakukan.”
Tepat di pintu masuk plaza, ada petugas lagi yang memeriksa setiap pengunjung dan bawaannya dengan metal detector yang ukurannya sepanjang pentungan petugas hansip. Lagi-lagi suhu tubuh yang di cek tangannya. “Tuh kan enggak bener lagi cek suhunya.”
Tepat di depan eskalator, suamiku mengarahkan kami ke lantai dua plaza itu dan langsung menuju sebuah konter resmi gawai. Tetiba suamiku berkata padaku, “Mau milih yang mana?”
Aku masih kaget dan tidak menyangka. Perasaan gajetku belum butuh peremajaan. Palingan aku hanya meminta ganti casing luar yang sudah buluk warnanya. Suamiku pun memintaku segera menentukan pilihan. Alasannya seperti di awal dikatakan kalau ada meeting.
“Yang ini ya… Warnanya yang violet,” pilihku mantap
“Mbak, yang ini warna violet memori 256 GB ready?” segera suamiku bertanya pada sales promotion girl (SPG) yang sedari kami masuk setia mendampingi.
“Dicek dulu ya Pak,” ujar SPG tersebut seraya menuju lemari penyimpanan. Tak lama kemudian SPG tadi menginfokan bahwa gawai yang kumau tidak ada. Yang tersedia hanya warna putih.
“Mau enggak warna putih?” suamiku meminta persetujuanku.
Kutatap matanya sambil berkata lirih ditelinganya, “Kan warna putih udah pernah punya. Bosan…”
“Yo wes… Kalau enggak mau, kita coba cari di Lotte Mall. Kalau yang Ummi mau enggak ada juga, kita langsung pulang. Abi mau meeting. Besok aja lagi nyari di tempat lain,” putus suamiku segera.
Kulihat anak-anak asyik memegang dan mencoba gawai yang terpajang menggoda. Kemudian kupanggil mereka, “Ayo, tangannya buka semua!” dan kusemprotkan lagi hand sanitizer pada mereka.
Mereka selalu kuingatkan untuk menjaga jarak dengan para SPG atau pun SPB konter. Jika ada pengunjung lain pun, kusuruh mereka melipir (menjauh). Tidak boleh dekat pokoknya. Saat mereka hendak duduk pun, kusemprot dulu bangkunya dengan hand sanitizer.
Akhirnya, kami tinggalkan Bintaro Plaza yang tak seberapa banyak pengunjung tersebut. Memang sejak pandemi, pusat perbelanjaan serasa melompong. Tapi kami tetap tidak berani untuk berlama-lama dalam ruangan tertutup ber-AC, apalagi sambil makan-makan. Meskipun mereka merengek minta dibelikan makanan yang dulu sering kami beli saat jalan-jalan ke mal.
Sampai juga di Lotte Mall yang hanya berjarak sekitar empat kilometer dari Bintaro Plaza. Prosedur pun sama persis seperti sebelumnya. Cek metal detector dan termometer. Kulihat si tengah masih agak cemberut. Berkali-kali dia membetulkan posisi face shield-nya yang berwarna merah muda. Ngambek-nya belum hilang.
“Tuh kan… Di mana-mana sama cara periksa suhu tubuhnya. Itu enggak akurat. Makanya kita harus jaga diri dan orang lain Dek. Jangan maksain pergi jalan-jalan kalau badan merasa kurang sehat. Adik masih ingat kan rasanya diisolasi di Asrama Haji Donohudan Solo? Enak enggak?” tanyaku beruntun.
Si tengah hanya menggeleng dan sambil tersenyum sedikit. Bisa terlihat dari matanya yang sedikit menyipit. Pasti dia masih ingat peristiwa di hari Rabu (23/03/2021) kala itu. Dia harus menjalani isolasi mandiri di pondok karena berinteraksi dengan temannya yang bergejala Covid-19. Serasa badanku waktu itu ditimpa bangunan runtuh saat ustazahnya berkabar melalui WA bahwa dia diisolasi.
Tambah kaget lagi saat hasil swab antigen-nya positif. Malam itu, saat aku menyimak kajian ekonomi bersama Ustaz Dwi Condro, pesan dari ustazahnya masuk dan mengabarkan berita pahit itu. Perlahan butiran air mataku membuat layar laptop memudar. Tak ingin diketahui orang lain, kamera Zoom kumatikan. Kuusap pipiku dengan kerudung kuning yang sedang kupakai. Suamiku yang sedang online saat itu kuteriaki. Kukabarkan percakapan dari ustazah si tengah. Pikiranku semakin berkecamuk. Bagaimana kalau ada gejala berat pada anakku, sementara tempat perawatan tidak ada. Bagaimana jika anakku meninggal di sana dan kami tidak boleh menengoknya. Pikiran negatif terus berputar di kepalaku.
“Udah enggak usah khawatir. Kita berdoa semoga Asmaa tidak apa-apa. Insya Allah dia kuat. Di antara anak-anak kita, dia ‘kan yang jarang sakit,” suamiku mulai menghibur dan menguatkanku.
“Kalau ditangani oleh petugas, Insya Allah terkontrol dengan baik. Kalau ada hal mendesak, Abi nanti langsung ke Solo,” imbuh suamiku lagi.
Badai ujian itu pun berlalu. Si tengah dinyatakan negatif setelah karantina enam hari dan langsung dibawa pulang kembali ke pondok. Seperti saat dijemput ke tempat isolasi, saat dikembalikan ke pondok pun diantar oleh bis Pemkot Solo serta didampingi oleh petugas kesehatan dan aparat kepolisian. Di pondok mereka disambut oleh Kiai Pengasuh Pondok, Pak RT, dan warga sekitar pondok.
“Ingat enggak, Adek yang selalu nangis saat menelepon ummi dan bilang, ‘Jemput pulang Mik… Ama enggak mau hidungnya dicolok-colok lagi. Enggak mau diisolasi. Pokoknya segera jemput’,” ujarku mengingatkan kejadian yang membuatnya belum mau jika disinggung masuk pondok hingga saat ini.
“Jadi Nduk… Kita masih harus banyak bersabar dengan pandemi ini. Enggak mungkin ngarep pemerintah maksimal untuk kita selama enggak pake aturan Islam. Kita sendiri yang harus berupaya menjaga diri sendiri. Kan pakai face shield doang,” tuturku padanya.
Si tengah mulai ceria. Terlihat dari ocehannya yang mulai terdengar. Ngobrol dengan si bungsu tentang apa yang dilihat. “Ngajinya harus mulai lagi. Enggak apa-apa masih online. Kalau enggak mau online ya ngaji sama ummi aja kayak dulu. Ngaji itu membuat kita semakin paham, mana yang benar dan mana yang salah. Semakin tahu mana yang dicintai Allah Ta’ala dan mana yang dibenci. Biar pemerintah ada yang mengingatkan kalau salah,” tandasku.
“Iya Mik…” ujarnya singkat.
Akhirnya, ngambek si tengah sirna, gajet yang kumau pun kudapat di sebuah konter yang interiornya didominasi warna kuning. Lucunya lagi saat suamiku berkata pada anak-anak, “Abi itu lega kalau maunya ummi udah dapat. Bisa tidur nyenyak,” pungkasnya dan anak-anak pun tertawa.[] Reni Tri Yuli Setiawati
0 Komentar