Topswara.com -- Di dalam sistem kehidupan yang sekuler, ditemui banyak sekali pertentangan antara menantu dengan mertua. Apakah menantu yang kurang dalam hal adab dan ada upaya menjauhkan suami dari ibunya. Atau mungkin dari sisi mertua yang terlalu mengintervensi kehidupan keluarga. Tidak mengizinkan anak membuat keputusan sendiri. Bagaimana seharusnya peran suami diantara istri dan ibu kandungnya?
Kewajiban Berbakti Kepada Orang Tua
Islam telah membuat ketentuan di semua lini kehidupan, termasuk pada lingkup kecil dari masyarakat yakni dalam berkeluarga.
Allah SWT telah memerintahkan untuk bersikap rendah hati kepada orang tua. Sebagaimana yang terdapat di dalam surat Al Isra ayat ke 23 tentang perintah Allah SWT untuk berbuat baik bagi ibu bapak, tidak mengatakan kata “ah”, dan jangan membentak melainkan berkata mulia kepada orang tua.
Rasulullah SAW juga telah mengingatkan bahwa, “alangkah merugi, alangkah merugi, sungguh merugi.” Ada yang bertanya, “Siapa, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, ”(alangkah merugi) seseorang yang mendapati kedua orang tuanya masih hidup atau salah satu dari keduanya telah tua, akan tetapi tidak masuk surga karenanya.” (HR. Muslim no. 2551)”
Kedua dalil di atas menunjukkan bahwa anak baik laki-laki maupun perempuan memiliki kewajiban yang sama yakni berbakti kepada orang tua. Berkata baik, dan tidak membentak orang tua dengan perkataan yang menyinggung mereka. Ini adalah kewajiban yang berlaku bagi anak laki-laki dan perempuan ketika belum menikah. Akan tetapi, setelah menikah terdapat perbedaan di dalam kewajiban berbakti kepada orang tua ini.
Jika secara syariat laki-laki tetap harus berbakti kepada orang tuanya, maka perempuan secara syariat berpindah kewajiban berbakti dan taat dari orang tua beralih kepada suami. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam At- Tirmidzi, “Seandainya aku akan memerintahkan seseorang sujud kepada seorang niscaya aku perintahkan istri sujud kepada suaminya,”.
Ini bukan berarti bahwa ajaran Islam mendiskreditkan posisi perempuan. Akan tetapi ini adalah bagian syariat juga menjadi bagian ujian bagi perempuan di dalam menjalankan tuntunan hukum syara’. Apakah perempuan (istri) akan mampu melewatinya hingga meraih surga melewati pintu surga mana saja, sebagaimana sabda Rasulullah SAW “Apabila seorang istri mengerjakan shalat yang lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya (kehormatannya), dan taat kepada suaminya, maka ia akan masuk Surga dari pintu mana saja yang dikehendakinya.”
Oleh karena itu, seorang wanita salehah harus menundukkan egonya dalam hal menjadikan suami sebagai pemimpin demi meraih Jannah.
Kehidupan Anak Laki-laki Setelah Menikah
Di tengah posisi kewajiban berbakti tetap berlaku bagi laki-laki yang telah menikah untuk orang tuanya, terlebih ibu. Maka ada dua kehidupan yang dijalani oleh suami secara bersamaan, yakni:
Yang pertama, kehidupan rumah tangganya dengan istri dan anak-anaknya. Perlakuan suami bagi istri haruslah bersahabat dengan makruf (‘asyiruhun bil makruf). Jika istri telah mentaati suami, maka Allah SWT telah meminta agar suami tidak mencari-cari kesalahan istri. Bahkan jika ada hal yang tidak disukai suami dari istri, boleh jadi Allah SWT memberikan kebaikan yang banyak darinya. Karena pada hakikatnya tidak ada istri yang sempurna sebagaimana suami.
Rasulullah SAW juga memberitakan bahwa jika seorang mukminah, calon penghuni surga ditampakkan ke muka dunia. Niscaya tidak ada arti dunia karena kekaguman pada keindahan dari seorang istri calon penghuni surga. Terkait dengan hubungan dengan istri, Rasulullah SAW telah mewanti-wanti bahwa sebaik-baik laki-laki adalah yang baik kepada istrinya.
Kehidupan kedua, kehidupan dengan orang tua. Ummul mukminin Aisyah ra. pernah menanyakan, “manusia manakah yang haknya lebih besar untuk seorang perempuan?” Maka Rasulullah SAW menjawab, “suaminya”. Lalu Aisyah ra. bertanya kembali “untuk laki-laki, manusia mana yang haknya lebih besar yang harus ditunaikan?”, maka Rasulullah SAW menjawab, “ibunya”.
Dari kedua kehidupan ini, tampak bahwa laki-laki menanggung beban yang tidak ringan dalam menjalankan perannya. Di satu sisi ia adalah anak yang harus berbakti kepada orang tuanya sementara di sisi lain ia harus berlaku makruf kepada anak dan istrinya yang menjadi tanggung jawabnya.
Peran yang Tidak Mudah
Laki-laki harus mampu bersikap sebagai “shahibul qawwam” (pemimpin) dan harus adil sesuai dengan tuntunan syariat. Jika ditimbang secara syariat, bobot mana yang lebih berat antara ibu dengan istri? Maka jawabannya adalah ibu sehingga laki-laki harus lebih memuliakan ibunya.
Oleh karena itu, istri tidak boleh mengambil posisi keqawwaman suami, apalagi sampai merongrong suami untuk menjauhi ibunya. Rasulullah SAW bersabda, “jika umatku mengerjakan 15 perkara, maka terbukalah bala...” diantara 15 perkara itu adalah jika laki-laki taat kepada istri dan durhaka kepada ibu.
Muslimah yang baik adalah yang senantiasa sadar dan ingat bahwa di hadapan Allah SWT posisinya atas suaminya berada di posisi kedua setelah ibu mertuanya. Sehingga ia harus betul-betul mengingat bahwa suami bukanlah miliknya. Akan tetapi, suami tetap milik ibunya, sementara ia adalah sahabat di dalam menjalani kehidupan demi meraih rida Allah SWT.
Oleh karena itu, seorang sahabat harusnya membantu sahabatnya untuk berbakti kepada orang tuanya. Ini sebagai tanda bahwa ia adalah orang yang beriman. Paham bahwa ini adalah jalan ke surganya suami dan ia membantu suaminya agar terselamatkan dari kedurhakaan. Karena berbakti kepada orang tua adalah kewajiban bagi suami. Sehingga jangan pernah memaksa suami untuk memilih antara istri dengan ibunya.
Suami juga wajib berlaku adil kepada istri dan anak-anaknya. Bukan berarti karena alasan berbakti kepada ibu kandung, lantas suami menelantarkan hak istri dan anak. karena itu adalah perbuatan dosa. Jika ada benturan antara kewajiban yang harus dijalankan antara ibu dengan istri, maka ibu harus diprioritaskan dengan catatan penting tanpa menelantarkan istri dan anak.
Kemudian suami juga tidak boleh membanding-bandingkan istri dengan ibu kandung seperti seperti pada akhlak, masakan, perilaku. Karena istri sesungguhnya adalah sahabat kehidupan yang menyesuaikan hidupnya bersama suami sementara ibu adalah orang yang telah mengenal persis anaknya. Tindakan ini juga merupakan su’ul adab jika dilakukan apalagi jika suami berat kepada ibunya lalu menjatuhkan istri dan keluarganya.
Tidak mudah menjalankan peran laki-laki bagi ibu dan istrinya. Laki-laki harus mampu menjadi jembatan jika terdapat perbedaan antara istri dengan ibu. Ibu adalah orang yang wajib ditaatinya, sementara istri wajib diriayahnya dengan makruf. Sama-sama tidak boleh saling berupaya untuk mendominasi kehidupan yang satu dengan yang lain. Oleh karenanya, laki-laki harus memiliki sifat qawwam (pemimpin) yang kuat agar dua kehidupan/ perannya dapat dijalankan dengan baik. Semoga Allah Swt. memudahkan para laki-laki untuk mendapatkan wanita shalihah yang akan menjadi ibu bagi anak-anak yang shalih.
Wallahu a’lam bishawwab
Oleh: Novida Sari, S.Kom
(Ketua Majelis Taklim Islam kaffah Mandailing Natal)
0 Komentar