Topswara.com-- Rumah tangga asmara (as-sakinah mawaddah wa rahmah), siapa yang tak mendambakannya? Sebuah situasi rumah tangga, termasuk di dalamnya relasi suami istri, yang diwarnai ketenteraman dan kasih sayang berdasar kecintaan terhadap Allah SWT dan Rasul-Nya. Namun di tengah belitan sistem sekularisme kapitalistik liberal saat ini, potret keluarga ideal tersebut sering kali sulit ditemui.
Tragedi menyesakkan dada sering kali menimpa pasangan. Setiap hari, kasus rumah tangga seperti KDRT, perselingkuhan, perceraian, hingga pembunuhan, tak berjeda menghiasi pemberitaan media. Alih-alih meraih makna bahagia, fenomena ini kian menjauhkan pasangan dan anggota keluarga dari tujuan pernikahan yaitu tercipta rumah tangga berkarakter asmara.
Jika ditelisik, salah satu penyebab masalah ini ialah ditinggalkannya pengaturan Islam, khususnya terkait pemenuhan hak dan kewajiban masing-masing pasangan. Oleh karena itu, menjadi keniscayaan bagi suami istri Muslim untuk terus belajar, memahami, dan saling bersinergi menerapkan tuntunan Islam dalam pemenuhan hak dan kewajiban masing-masing. Inilah prasyarat yang mesti ditempuh demi meraih rumah tangga asmara.
Karena Allah SWT telah menjadikan kehidupan suami istri sebagai tempat yang penuh kedamaian. Allah SWT berfirman, “Dan di antara tanda–tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri–istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Ruum: 21)
Jadi, ketentuan dasar dalam pernikahan adalah kedamaian, dan dasar kehidupan suami istri adalah ketenteraman. Namun, suasana damai dan tenteram ini hanya akan diperoleh dalam relasi suami istri yang berbalut persahabatan. Pergaulan suami istri bukanlah interaksi bisnis atau perseroan yang berbasis untung rugi secara materi. Pun bukan layaknya hubungan komandan sebuah divisi militer dengan anggota pasukan yang mau tak mau harus diiyakan.
Islam memandang, istri merupakan sahabat bagi suami. Demikian sebaliknya. Pergaulan di antara suami istri adalah pergaulan persahabatan. Satu sama lain merupakan sahabat sejati dalam segala hal. Jenis persahabatan yang diharapkan mampu memberikan rasa damai dan tenteram satu sama lain, saat keduanya bersama dalam mahligai rumah tangga.
Selain itu, agar persahabatan suami istri dipenuhi kedamaian dan ketenteraman, syariat Islam telah menjelaskan apa yang menjadi hak istri atas suami dan hak suami atas istri. Berikut kewajiban istri terhadap suami, pun kewajiban suami terhadap istri. Pengabaian terhadap pemenuhan hak dan kewajiban tersebut niscaya mengantarkan suami istri pada kegagalan pencapaian tujuan pernikahan, salah satunya tak akan terwujud sakinah mawaddah wa rahmah.
Hanya saja, pasangan Muslim saat menjalankan pemenuhan hak dan kewajibannya tak sekadar demi meraih kesakinahan rumah tangga. Yang lebih utama adalah melaksanakannya sebagai bagian dari ketaatan kepada Allah SWT. Sehingga apa yang dilakukannya akan bernilai ibadah dan mendapat pahala di sisi Allah SWT. Bukankah Allah SWT adalah ghayatul ghayah (tujuan dari segala tujuan), dan ridha Allah menjadi prioritas peraihan setiap hamba dalam segala aktivitasnya?
Allah SWT telah berfirman, “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyaat: 56)
Menjalankan pernikahan sebagai bagian ibadah karena juga mengimplementasikan ajaran Rasulullah SAW. Rasulullah SAW bersabda, “Menikah adalah sunahku. Barang siapa yang tidak mengamalkan sunahku, bukan bagian dariku. Maka menikahlah kalian, karena aku bangga dengan banyaknya umatku (di hari kiamat).” (HR. Ibnu Majah)
Pemahaman bahwa menikah adalah ibadah, memenuhi hak dan kewajiban pasangan (juga anggota keluarga lainnya) merupakan bagian ibadah, menjadi hal penting. Maka, pernikahan harus didasarkan semata-mata demi menjalankan perintah Allah SWT dan tuntunan Rasulullah SAW. Bukan karena materi, kecantikan, dan jabatan.
Pernikahan akan mudah hancur jika dorongan utama karena ketiganya. Bukankah semua itu bisa berkurang atau hilang? Jika seseorang menikah karena materi, cintanya akan berkurang saat pasangan hidupnya kesulitan materi atau jatuh miskin. Kalau didasarkan pada jabatan, ia bisa hilang dan berakhir. Bila menikah karena rupa, kecantikan wanita tentu saja akan memudar seiring usia menua.
Dengan demikian, pastikan pernikahan dilakukan sebagai bentuk ketaatan hamba kepada Allah SWT. Insya Allah akan langgeng karena yang diharap hanyalah ridha Allah SWT. Selama manusia berupaya, ketaatan itu akan selalu ada. [] Puspita Satyawati
0 Komentar