Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pembajakan Potensi di Kalangan Santri


Topswara.com -- Tanggal 22 Oktober ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional sejak tahun 2015 berdasarkan keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 Tahun 2015 sebagai bentuk pengingat seruan resolusi jihad Nahdlatul Ulama (NU). Pasalnya aksi resolusi jihad pada 22 Oktober 1945 dimulai dari seruan KH Hasyim Asy’ari kepada para santri dan ulama pondok pesantren dari berbagai penjuru Indonesia. 

Instruksi tersebut berisi untuk membulatkan tekad dalam melakukan jihad membela tanah air dari kaum penjajah. Dalam situs resmi Universitas Islam Nusantara (Uninus) “KH Hasyim Asy’ari menyebut aksi melawan penjajah hukumnya Fardhu ‘ain. Melalui semangat resolusi jihad tersebut para laskar ulama-santri mempunyai semangat yang sama dalam mengusir tentara sekutu yang ingin merebut kembali Surabaya”. (Detik.news)

Dari peristiwa sejarah ini sebenarnya makna eksplisit dari pesantren adalah sebagai aktor penting perubahan sesuai syariat. Mengusir penjajah dari tanah kaum Muslim adalah bagian dari hukum syara. Sebagaimana Firman Allah SWT: “Telah diizinkan berperang bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya dan sesungguhnya Allah benar- benar Mahakuasa menolong mereka. (Yaitu) orang-orang yang telah diusir tanpa alasan yang benar, tak lain karena perkataan mereka, ‘Tuhan kami hanyalah Allah’.” (TQ.S All-Hajj: 39-40)

Nahasnya, semangat jihad yang dikobarkan para ulama dalam perspektif sekularisme kapitalisme yang menjadi sistem kehidupan saat ini terkooptasi dengan narasi “penggerak ekonomi” sebagaimana yang dinyatakan pemerintah pada peringatan Hari Santri Nasional 2021 lalu, dan sekaligus Peluncuran Logo Baru Masyarakat Ekononi Syariah atau MES berharap pengembangan ekonomi syariah terus dilakukan termasuk dikalangan santri. 

Dari upaya ini diharapkan bermunculan wirausahawan dikalangan santri dan lulusan pondok pesantren. (www.viva.co, 22/10)

Orientasi santri seharusnya bukan lagi mencari pekerjaan akan tetapi menciptakan lapangan pekerjaan bagi banyak orang agar bermanfaat seluas-luasnya bagi umat. Tentu saja upaya ini sejatinya merampas potensi santri sebagai calon penegak agama. Semestinya dengan kelebihan yang mereka miliki yaitu tsaqafah Islam baik dari kalangan santri maupun ulama diharapkan melahirkan gelombang perubahan menentang segala bentuk penjajahan berdasarkan tuntunan Islam.

Tsaqafah Islam ibarat “amunisi” untuk melenyapkan kejahiliahan modern yaitu sekularisme, kapitalisme dan liberalisme yang tengah menjajah pemikiran kaum muslimin saat ini.  

Sekularisme, kapitalisme, dan liberalisme menjadikan kondisi syariat saat ini terabaikan dan malah mencari solusi dari selain Islam. Padahal Islam adalah solusi kehidupan dari semua aspek baik terkait aqidah, akhlak, sosial, ekonomi, politik dan lain-lain. 

Disinilah kebutuhan kiprah para santri, umat yang buta dan kabur tentang agama Islam butuh pencerahan dari para ulama dan santri lulusan pesantren. Para santri inilah yang akan mempelajari Islam secara mendalam dengan mengkaji aneka kitab yang memuat tsaqafah Islam. Kemudian mereka mengajarkan kepada umat agar beraqidah yang lurus dan tidak sekuler. Mengajarkan tafsir Al-Qur’an agar umat paham isinya dan tergerak menjalankannya serta mengajarkan fiqih agar umat paham syariat Islam kaffah dan tergugah menerapkannya. 

Para santri mempunyai tanggung jawab besar mewujudkan kebangkitan ditengah umat yaitu bangkit dengan ideologi Islam. Bukan sebagai pemberdaya ekonomi yang sejatinya adalah tugas penguasa. Ketika penguasa gagal menciptakan lapangan kerja untuk rakyat dan banyaknya penggangguran harusnya mereka melakukan evaluasi diri bukan malah menyuruh rakyat yakni (santri) untuk membuka lapangan kerja. 

Para santri hanya punya tanggung jawab pribadi untuk mencari nafkah jika dia laki- laki. Meski banyak juga alumni pesantren yang menjadi pengusaha dan membuka lapangan kerja bagi banyak orang tetapi hal itu hanyalah amal saleh mereka tidak untuk menggeser tanggung jawab penguasa. 

Sayangnya tugas yang demikian tidak bisa dilakukan pemimpin sekuler kapitalis sebab mereka adalah regulator kepentingan kapital bukan periayah umat. Lihat saja ketika rakyat membutuhkan pekerjaan, pemerintah justru memberikan lapangan kerja bagi tenaga kerja asing (TKA). 

Alasannya karena adanya para TKA bagian dari syarat yang investor asing kehendaki. Para TKA yang menyerbu Indonesia bukan hanya yang mempunyai keahlian akan tetapi juga buruh asing. Rakyat asing mendapat kerja, rakyat sendiri malah jadi pengangguran. 

Tugas penguasa yang mampu menempatkan santri dan para ulama pada posisi strategsnya seperti yang dijelaskan sebelumnya serta menjalankan kewajibannya sebagai periayah hanya bisa dilakukan oleh pemimpin dalam sistem sahih yaitu sistem Islam (khilafah).

Dalam Islam penguasa bertugas mengurusi urusan rakyatnya, termasuk urusan lapangan kerja. “Pemimpin masyarakat adalah pengurus dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya” (HR Bukhari dan Muslim)

Dalam khilafah membuka lapangan pekerjaan bukan hal yang sulit, banyak hal yang bisa dilakukan. Diantaranya, mengelola secara mandiri SDA yang dimiliki oleh Negara. Pengelolaan secara mandiri bukan diserahkan kepada asing yang notabene hukumnya juga haram. Dengan pengelolaan mandiri negara membutuhkan banyak tenaga ahli dan teknisi sehingga tercipta luas lapangan pekerjaan. Selain itu, sistem ekonomi Islam nonribawi menjadikan ekonomi masyarakat sehat. Sebab memudahkan pedagang dalam pemasarannya, memudahkan pebisnis dalam mengembangkan usahanya sehingga tidak akan kurang lapangan pekerjaan.

Dari perekonomian syariah pula, negara mendukung pembiayaan sistem pendidikan yang diantara hasil outputnya menghasilkan para ulama. Alhasil dalam sistem khilafah para ulama dapar fokus belajar mencerdaskan umat dan melakukan amal ma’ruf nahi munkar kepada penguasa. 

Inilah gambaran negara yang benar dalam mengurus rakyatnya yang hanya bisa terwujud dalam sistem Islam yakni khilafah. 

Wallahu a'lam bishawab

Oleh: Lesa Mirzani, S.Pd.
(Sahabat Topswara)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar