Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Murtad dan Konsekuensinya


Topswara.com -- Saat ini, seakan menjadi hal yang lumrah jika seorang Muslim berpindah agama menjadi kafir alias murtad. Seperti yang dilakukan Putri dari Presiden Sukarno, Sukmawati Soekarnoputri, pada Selasa 26 Oktober 2021 resmi berpindah agama dari Islam ke Hindu. (Detik.com.26/10/2021).

Mengapa begitu mudah orang menjadi murtad? Tentu saja jawabnya karena sekularisme (akidah /keyakinan dasar yang memisahkan agama dari kehidupan). Sekularisme menjadi dasar ideologi kapitalisme yang melahirkan demokrasi. Dalam demokrasi kebebasan dijamin undang undang, termasuk kebebasan beragama, kebebasan berpendapat/beropini dan kebebasan berperilaku. Meskipun menistakan Al-Qur'an, Rasulullah SAW dan syari'ah, buat mereka enggak masalah.

Akibatnya, di dalam sistem sekuler wajar jika ada Muslim dengan mudah murtad dari Islam. Padahal Allah SWT berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, siapa saja di antara kalian yang murtad (keluar) dari agama kalian, pasti Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia cintai dan mereka pun mencintai Dia. Mereka bersikap lemah-lembut kepada kaum Mukmin dan bersikap keras terhadap kaum kafir (TQS al-Maidah [5]: 54).

Menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullâh, melalui ayat ini Allah SWT menginformasikan tentang kekuasaan-Nya yang agung, siapa saja yang berpaling dari upaya menolong agama-Nya dan menegakkan syariah-Nya, maka sesungguhnya Allah SWT pasti akan mengadakan penggantinya dengan orang yang lebih baik. Mereka lebih sungguh-sungguh dalam melindungi (agama-Nya) dan lebih lurus jalannya. Menurut beliau pula, mengutip Imam al-Hasan al-Bashri, ayat ini turun berkaitan dengan orang-orang yang murtad (keluar) dari Islam pada masa Khalifah Abu Bakar ra. (Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 3/135).

Berkaitan dengan orang yang murtad, Imam Syafi’i di dalam kitabnya, Al-Umm, menjelaskan, seseorang yang berpindah dari kesyirikan menuju keimanan, lalu dia berpindah lagi dari keimanan menuju kesyirikan, maka jika orang itu sudah dewasa baik laki-laki maupun perempuan, dia diminta bertobat. Jika dia bertobat maka tobatnya itu diterima. Sebaliknya, jika dia enggan bertobat, maka dia harus dihukum mati (Asy-Syafi’i, Al-Umm, 6/168).

Pendapat Imam Syafi’i ini didasarkan pada sabda Nabi Muhammad SAW “Tidak halal (menumpahkan) darah seorang Muslim kecuali karena salah satu di antara tiga sebab: kufur setelah beriman; zina setelah beristri; membunuh seseorang bukan karena orang tersebut melakukan pembunuhan” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Hukuman mati atas orang murtad juga ditegaskan di dalam sabda Nabi Muhammad SAW “Siapa saja yang mengganti agamanya (murtad dari Islam, red.), bunuhlah dia!” (HR al-Bukhari dan an-Nasa’i).

Jelas, hukuman mati atas orang murtad, 100 persen berdasarkan keputusan Nabi SAW. Keputusan beliau tentu berasal dari wahyu Allah SWT. Karena itu hukuman ini bukan hasil pemikiran manusia, apalagi dikaitkan dengan latar belakang politik kaum Muslim. 

Namun demikian, hukuman mati atas orang murtad harus dilakukan oleh penguasa kaum Muslim (imam/khalifah) dengan beberapa ketentuan: Pertama, penetapan hukuman mati atas orang murtad hanya bisa diputuskan oleh pengadilan syariah. Kedua, harus ada penundaan hukuman jika pelaku murtad ada harapan untuk kembali ke pangkuan Islam. Imam ats-Tsauri berpendapat, “Ditunda hukumannya jika ada harapan pelaku murtad mau bertobat.” (Ibnu Taimiyah, Ash-Sharim al-Maslul, hlm. 328). Ketiga, selama penundaan hukuman, pelaku murtad didakwahi dengan hikmah dan nasihat yang baik, diajak dialog/debat supaya ia mau bertobat dan kembali ke pangkuan Islam. 

Tapi bagaimana mungkin kita berharap kepada para penguasa Muslim untuk membentengi akidah umat, selama mereka sendiri adalah penjaga sistem sekuler? Kecuali berganti dengan khilafah.[]

Oleh: Ummu Hilmi, 
Aktivis Dakwah di Depok
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar