Topswara.com-- Cabut Permendikbud Ristek 30! Demikian sikap Muhammadiyah yang menilai peraturan ini melegalisasi perbuatan asusila dan seks bebas. Penolakan juga datang dari Majelis Ormas Islam, Majelis Ulama Indonesia, Partai Keadilan Sejahtera, dan beberapa tokoh masyarakat.
Ironis. Berdalih demi mencegah kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi, justru beberapa poin dalam Permendikbud Ristek 30 mengandung multitafsir yang mengarah pada legalisasi zina. Titik kritis penafsiran ini terdapat dalam Pasal 5 ayat 2 poin b, f, g, h, j, l, m, yang menunjukkan bahwa kekerasan seksual merupakan tindakan berbau seksual tanpa persetujuan korban. Hal ini memicu tafsir, jika dengan persetujuan maka aktivitas seksual bukan terkategori kekerasan seksual dan boleh dilakukan.
Tak urung, Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta yang juga Pakar Kebijakan Publik, Prof. Dr. Purwo Santoso turut mengkritisinya. Ia memandang, logika Mendikbud liberal karena mengacu pada perasaan dipaksa dan tidak dipaksa, consent, persetujuan. Ini menjadikan seks luar nikah yang disetujui antara pihak itu jadi normal, memperlihatkan kelamin dalam persetujuan dan yang bersetuju tidak dalam pernikahan itu jadi boleh, di situlah kontroversialnya. Menurutnya, kata consent, kesepakatan, persetujuan, itulah yang menunjukkan pasal-pasal tersebut liberal, nalar liberal, frameworknya liberal (republika.co.id, 5/11/2021).
Meski pihak Mendikbud menyangkalnya, namun aroma liberalisasi dalam Permendikbud Ristek 30 terlanjur menyengat. Mengundang para pemilik hati nurani dan kepedulian terhadap nasib generasi untuk bersuara nyaring. Jika peraturan bernuansa liberal dan sejenisnya dibiarkan, bukankah kerusakan generasi akan menjadi-jadi?
Kebijakan Liberal
Semua orang tentu tak menginginkan kekerasan seksual, baik di perguruan tinggi dan di mana pun terjadi. Semua juga mendamba kejahatan ini dihapuskan. Di satu sisi, kehendak Mas Menteri untuk mencegah kekerasan seksual di kampus bisa dimengerti.
Namun, niatan tersebut nampak kontraproduktif saat ditimbang dengan beberapa poin di Pasal 5 ayat 2 Permendikbud Ristek 30 itu sendiri. Dari sini ada dua hal yang layak disoroti. Pertama, alih-alih memberantas kekerasan seksual, Permen ini justru berpotensi menyuburkan sex bebas atau zina. Mengapa? Berbasis pada sexual consent/persetujuan, tindakan secara verbal, nonfisik, fisik, dan melalui teknologi informasi serta komunikasi yang berbau seksual, jika tidak mendapat persetujuan korban terkategori sebagai kekerasan seksual dan tidak diperbolehkan.
Sebaliknya, poin ini berpeluang ditafsirkan, ketika tindakan tersebut mendapat persetujuan atau suka sama suka, maka boleh dilakukan. Sehingga aktivitas seperti yang disebut dalam Pasal 5 ayat 2 poin l yaitu menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban dengan persetujuan, menjadi tak masalah dilakukan karena bukan termasuk kekerasan seksual. Jika ditarik lebih jauh, berpacaran lantas bergandengan tangan hingga berzina-- dan ini banyak dilakukan mahasiswa-- legal berdasarkan Permen ini. Maka, apakah berlebihan jika peraturan ini dinilai hendak melegalisasi seks bebas?
Kedua, timpang dalam melihat masalah pelanggaran seksual. Pelanggaran seksual di kampus tak hanya soal apa yang disebut kekerasan seksual. Justru kasus terbanyak adalah perilaku seks bebas yang berbasis sexual consent, suka sama suka. Lantas, apakah saat tindakan seksual di luar pernikahan dilakukan tanpa pemaksaan dan penekanan, pelakunya sama-sama menikmatinya, itu bukan bentuk kesalahan, sehingga layak dibiarkan?
Saat ini, fenomena pacaran, indekos campur pria wanita, hingga kumpul kebo mahasiswa dan mahasiswi, seolah menjadi perkara lumrah. Apakah Permen ini juga mengatur perilaku penyimpangan seksual yang berbasis persetujuan ini? Terkait cara mencegah atau sanksi misalnya. Sementara jumlah kasus ini jauh lebih banyak dan dampak buruknya pun telah nampak. Jika tidak mengaturnya, maka ketimpangan ini jelas akan berbuntut masalah.
Tak dipungkiri, Permendikbud Ristek 30 telah membuka topeng kebijakan cacat logika dan tak sesuai fitrah manusia. Tak mengherankan, karena peraturan ini lahir di tengah penerapan sistem sekularisme liberalistik yang diadopsi rezim. Sebuah sistem hidup yang mengabaikan pengaturan agama (Islam) dalam ruang publik dan menjunjung tinggi kebebasan berdalih hak asasi manusia.
Jika seperti ini yang terjadi, fragmen kekuasaan ruwaibidhah tengah dipertontonkan. Liberalisasi masif justru dengan tangan penguasa melalui kebijakannya. Alih-alih menjauhkan warga dari seks bebas, penguasa malah diduga membuka peluang zina. Lantas, mau jadi apa wajah generasi muda selanjutnya?
Butuh Aturan Menyeluruh
Jika Permendikbud Ristek 30 kekeuh diterapkan, tentu berdampak buruk bagi generasi muda khususnya kalangan mahasiswa. Sebelum Permen ini hadir, kerusakan moral telah membanjiri anak muda. Gaul bebas hingga jumlah kehamilan tak dikehendaki (KTD) kian menggila. Mengapa penguasa tega menambahinya dengan Permen ini?
Padahal pergaulan atau seks bebas jelas sebuah kesalahan, baik dipandang dari nilai ketimuran maupun norma agama. Terlebih dalam pandangan Islam, ajaran yang dianut oleh mayoritas penduduk di negeri ini. Allah SWT berfirman,
"Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya ia merupakan perbuatan keji dan jalan yang buruk." (QS. Al Isra': 32)
Dalam pandangan Islam, memaksa orang lain (tanpa persetujuan korban) untuk melakukan hubungan seksual seperti pemerkosaan dan kekerasan seksual lainnya adalah tindak kejahatan. Sanksi pemerkosaan ditimpakan terhadap pelakunya. Bahkan korban bisa menuntut qishas jika ada luka atau kerugian. Adapun orang yang diperkosa adalah korban kezaliman yang harus dilindungi.
Adapun hubungan seksual di luar ikatan pernikahan meski atas dasar sexual consent, suka sama suka, itu namanya zina, diharamkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Bagi pelaku zina yang telah menikah, sanksinya dirajam hingga meninggal. Sanksi bagi yang belum menikah adalah dicambuk seratus kali.
Dan tak hanya zina yang dilarang, segala aktivitas mendekati zina pun tak diperbolehkan. Misalnya berpacaran. Realitasnya, aktivitas ini sering diisi dengan tindakan mengarah pada seksualitas bahkan zina. Memang tidak semua pacaran berakhir dengan perzinaan. Namun semua perzinaan berawal dari pacaran.
Tak hanya memandang pergaulan bebas sebagai keburukan, syariat Islam telah memberikan cara-cara pencegahan dan penanganannya. Hal ini dilakukan dengan melibatkan sinergi peran berbagai komponen: individu, keluarga, masyarakat, dan negara.
Individu beriman dan bertakwa dalam binaan keluarga, bersanding dengan kepedulian serta kawalan amar makruf nahi mungkar masyarakat. Tak kalah penting, peran negara melindungi warga dari segala pemicu seks bebas seperti pornografi, memberikan edukasi, serta menerapkan sanksi tegas bagi pelaku kekerasan/penyimpangan seksual.
Dengan demikian, berharap kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi hilang dengan Permendikbud Ristek 30, bak jauh panggang dari api. Tak hanya tak menjadi solusi, Permen ini justru berpotensi menambah masalah. Dengan demikian, alangkah bijaknya jika Permen beraroma liberal ini dicabut. Sebagai pengganti, hadirkan aturan yang bersumber dari wahyu Ilahi, Dzat yang paling tahu hakikat masalah berikut solusi sejati.
Hanya saja, aturan Islam hanya akan terterapkan sempurna dalam khilafah islamiyah, satu-satunya institusi pemerintahan warisan Rasulullah SAW yang dipraktikkan pada masa Khulafaur Rasyidin dan khalifah-khalifah seterusnya. Menjadi tugas umat Islam untuk tak hanya menanti, tapi memperjuangkannya agar hadirnya tak lama lagi. []
Oleh: Puspita Satyawati
(Analis Politik dan Media)
0 Komentar