Topswara.com -- Apa yang ada di benak anda jika mendengar kata nuklir? Lalu nuklir tersebut akan dioperasikan dekat dengan domisili anda? Anda takut? Terbayang Chernobyl dan Fukushima?
Di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat saat ini sedang berlangsung studi tapak dan uji kelayakan (meneliti kestabilan tanah, akses lokasi, sisi ekonomi) terkait nuklir yang akan menjadi Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Objek studi hingga tahun 2022 ini ditargetkan beroperasi pada Tahun 2034.
Ini digadang-gadang menjadi fasilitas setrum tenaga nuklir pertama dengan skala komersial di Asia Tenggara karena Vietnam dan Filipina pun batal membangun PLTN dan tidak jelas nasibnya.
Sejak April 2021, prokontra terus bergulir. Peneliti senior di Organisasi Riset Tenaga Nuklir Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN (sebelumnya bernama Badan Tenaga Nuklir Nasional/ Batan) mengundang sejumlah tokoh dari tiga kelompok masyarakat terbesar di Bengkayang; Dayak, Melayu, Tionghoa untuk menyosialisasikan penelitian lembaga itu atas calon tapak dan kelayakan PLTN. Pihak lain yang diajak bertemu antara lain kepala desa, camat, Majelis Ulama Indonesia Bengkayang, Forum Kerukunan Umat Beragama Singkawang, dan perwakilan Komite Nasional Pemuda Indonesia.
Ada beberapa pendapat dari kalangan yang mendukung pembangunan PLTN di Bengkayang-Kalbar. Baik itu terkait impor listrik selama ini. Hasil survei, potensi geografi nonvulkanik, Grand Strategi Energi Nasional dan paris agreement.
Pertama, peneliti senior di Organisasi Riset Tenaga Nuklir BRIN berkata, kemungkinan besar hasil studi menyatakan wilayah itu layak dibangun PLTN. Pemilihan lokasi menurutnya tak lepas dari ‘sentimen impor listrik dari Malaysia. Mengingat sejak tahun 2016 impor listrik dialirkan ke enam kota dan kabupaten di Kalimantan Barat yakni Pontianak, Mempawah, Bengkayang, Singkawang, Sambas, dan Kubu Raya.
Kedua, 87 persen masyarakat Kalimantan Barat setuju atas pembangunan PLTN 2019 berdasarkan hasil jajak pendapat yang dilakukan Batan dengan menggandeng Badan Pusat Statistik dan lembaga survei. Kepala daerah disebut-sebut mendukung dan sangat ingin punya PLTN.
Ketiga, Kalimantan tidak masuk dalam ring of fire atau zona di mana terdapat banyak aktivitas vulkanik. Kalimantan juga rendah potensi tsunami.
Keempat, sudah masuk dalam Grand Strategi Energi Nasional (GSEN). Demikian diungkap anggota Dewan Energi Nasional, Satya Widya. Pembangkit nuklir sebagai pilihan terakhir jika pembangkit dari energi baru dan terbarukan lainnya mengalami kendala. Pada tahun 2040 atau 2045, PLTN diharapkan menjaga keandalan sistem distribusi tenaga listrik.
Kelima, pemerintah Indonesia ingin mencapai target nol emisi gas rumah kaca (net zero emission). Hal ini sebagai konsekueksi Perjanjian Paris Tahun 2016 lalu. Salah satu caranya dengan membangun pembangkit listrik tenaga nuklir. Ditargetkan pada Tahun 2060 kapasitas listrik PLTN mencapai 35 gigawatt.
Jika hasil studi, Bengkayang layak dibangun PLTN maka tahap selanjutnya memilih teknologi reaktornya. Kemudian diajukan ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Keputusan terakhir pada presiden.
Sementara itu ada kalangan dan beberapa pengamat energi yang menolak pembangunan PLTN karena beberapa faktor; risiko riskan human error, konsekuensi mahalnya harga listrik, persetujuan masyarakat lokal, ongkos pembangunan besar dan ketersediaan uranium.
Pertama, ada risiko keselamatan, keamanan, dan ekonomi jika pemerintah nekad membangun pembangkit dari nuklir. Trauma melihat Chernobyl dan Fukushima, dua malapetaka dikarenakan radiasi mematikan dan sangat berisiko. Misalnya tantangan kasus penyakit kanker dikarenakan terkontaminasi.
Pengamat energi dan kelistrikan dari Institute for Essential Services Reform, Fabby Tumiwa tegas mengatakan "Indonesia tidak membutuhkan PLTN".
Hanya saja, seharusnya kita melihat lebih dalam mengenai apa penyebab dari dua kecelakaan reaktor nuklir tersebut. Kecelakaan Chernobyl bisa dikatakan merupakan kecelakaan yang hampir mustahil terjadi kembali di masa mendatang. Hal ini karena kecelakaan Chernobyl disebabkan oleh desain reaktornya yang sangat buruk serta dioperasikan oleh tenaga yang memang tidak kompeten dan tidak pada tempatnya. Apalagi didukung oleh fakta perpolitikan negara Uni Sovyet saat itu yang tertutup dan diktaktor sehingga standar keselamatan reaktor nuklirnya sangat buruk, jauh di bawah standar keselamatan yang diberlakukan secara internasional.
Sementara pada kasus kecelakaan PLTN Fukushima Daichi, ini merupakan kasus khusus karena kejadian gempa besar 9 M yang langsung diikuti oleh tsunami. Permasalahan utama kecelakaan PLTN Fukushima Daichi sebenarnya bukan pada gempanya, mengingat unit reaktor langsung shutdown atau berhenti beroperasi tepat saat gempa melanda. Permasalahannya adalah tsunami besar menerobos dinding pembatas tempat generator diesel pendingin reaktor berada. Hal ini menyebabkan diesel terendam air dan memutus suplai listrik untuk pendinginan reaktor.
Namun, dengan segala rentetan bencana yang terjadi, kerusakan yang terjadi di PLTN Fukushima Daichi sesungguhnya adalah ledakan hidrogen (bukan ledakan bejana reaktor nuklir). Bahkan, menurut UNSCEAR, komite ilmiah PBB yang bertanggung jawab terhadap analisis dampak radiasi menyampaikan hasil penelitiannya bahwa tidak ada potensi kanker di masyarakat umum akbat kecelakaan PLTN Fukushima Daichi. Hal ini mengingat pelepasan material radioaktif ke lautan Pasifik dari PLTN sesungguhnya sangat kecil, ribuan kali jauh lebih kecil dibandingkan unsur radioaktif alami yang dimiliki oleh air laut sendiri.
Kedua, meski Kalimantan bukan wilayah vulkanik, gempa atau tsunami namun riskan faktor human error pada teknologinya itu sendiri.
Ketiga, PLTN memerlukan subsidi besar-besaran dari pemerintah dan harga listrik yang mahal. Sementara Energi Baru Terbarukan (EBT) bisa dikembangkan misalkan pembangkit dari tenaga air, angin atau surya. Meski tidak stabil akibat ketergantungan pada kondisi cuaca, namun dengan support system, bisa seperti Australia yang telah 100 persen memanfaatkan energi terbarukan yakni pembangkit listrik tenaga angin dan surya sejak 2020 tanpa ada pemadaman. Jika memiliki storage system, jauh lebih murah daripada PLTN dan pastinya lebih aman dari musibah reaktor bocor dan masalah limbah. Sementara di Bengkayang banyak sumber air potensial untuk pembangkit tenaga listrik.
Dari segi faktor kapasitasnya, sebenarnya energi nuklir mempunyai faktor kapasitas lebih besar dibandingkan PLTU Batu bara, yakni mencapai 90 persen sementara batu bara hanya 60 persen saja. Artinya, PLTN bisa terus beroperasi selama 90 persen dari waktu operasionalnya. Hal ini mengingat penggantian batu bara dapat dilakukan selama 1 tahun sekali atau bahkan 1,5 tahun sekali. Beberapa jenis reaktor nuklir bahkan bisa terus beroperasi saat penggantian bahan bakar seperti reaktor CANDU dan AGR.
Nilai ini tentu jauh lebih tinggi ketimbang EBT dari matahari dan angin. Jika dirata-rata, energi matahari mungkin hanya bisa beroperasi sekitar 11 persen dan angin di bawah 30 persen (dengan perkiraan optimis). Hal ini karena sifat kedua sumber listrik tersebut yang intermittent sehingga sangat bergantung pada cuaca. Bagaimana jika menyimpan listriknya di dalam baterai? Pengembangan baterai penyimpanan energi listrik sebesar itu sejauh yang diketahui membutuhkan dana sangat besar dan masih memiliki efisiensi rendah.
Biaya konstruksi yang tinggi bisa dikatakan memang menjadi salah satu kelemahan dari PLTN, apalagi semenjak terjadinya kecelakaan PLTN Fukushima Daichi membuat regulator mensyaratkan penambahan berbagai komponen keselamatan yang akhirnya membuat biaya konstruksi membengkak. Namun, biaya konstruksi yang mahal ini sebenarnya bisa dikompensasi menggunakan harga bahan bakarnya yang jauh lebih murah dan juga memiliki densitas daya lebih tinggi. Sebagai contoh, satu pellet bahan bakar nuklir dengan tinggi 1 cm dan diameter 1 cm, dapat menghasilkan energi yang hampir menyamai satu ton batubara.
Jika kita melihat data biaya pembangkitan listrik dari berbagai moda yakni nuklir, batu bara, dan angin yang diterbitkan oleh World Nuclear Association tahun 2010 menunjukkan bahwa nuklir memiliki biaya pembangkitan paling rendah. Di Korea misalnya, biaya pembangkitan energi nuklirnya hanya 2.9 – 3.3 sen Dollar/kWh sementara biaya pembangkitan listrik dari batu baranya mencapai 6.6-6.9 sen Dollar/kWh.
Keempat, belum ada persetujuan dari masyarakat. Dalam jangka panjang perlu memikirkan rencana tersebut, mengingat adanya penolakan mayoritas komunitas Melayu yang tinggal di pesisir Pantai Gosong, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Ratusan keluarga nelayan akan tergusur, mata pencaharian mereka terputus karena area tangkapan berkurang.
Kelima, ongkos membuat satu pembangkit listrik tenaga nuklir bisa tiga kali lipat lebih mahal dari pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batu bara atau sekitar Rp69 miliar. Hal ini membutuhkan waktu setidaknya 10 tahun untuk membangun PLTN. Daya dari pembangkit itu pun, menurut Djarot, bisa mencapai 1.400 megawatt. Tapi untuk jangka pendek, daya yang dihasilkan berkisar antara 200 hingga 300 megawatt.
Keenam, terkait bahan bakar uranium. Meski Kabupaten Melawi memiliki potensi dieksplorasi, namun untuk menggunakannya, kita masih harus melakukan pengayaan uranium (asumsi jika kita masih menggunakan PLTN konvensional yang banyak beroperasi hari ini). Sementara pengayaan uranium sendiri memang tidak bisa dilakukan di dalam negeri akibat adanya perjanjian nonproliferasi nuklir. Hal ini tentu menyebabkan biaya bahan bakar uranium menjadi lebih tinggi namun sebenarnya harga bahan bakar uranium tersebut jauh lebih stabil ketimbang batu bara yang sangat dinamis.
Segencar apapun pro kontra terkait pengadaan PLTN, amat riskan jika diaplikasikan pada sistem kapitalis. Karena kapitalisme memiliki perspektif ideologis yang memuja adanya kebebasan kepemilikan. Siapapun berhak memiliki sumber daya alam, infrastruktur dan teknologi jika memiliki uang atau faktor produksi. Tidak pandang apakah yang dikelola individu, swasta maupun asing. Akses rakyat kecil tentu tidak akan tercapai karena modal yang dimiliki pun tidak ada bahkan sangat kecil.
Dalam kapitalisme meniscayakan semakin sedikitnya campur tangan pemerintah maka semakin membangkitkan ekonomi kapitalisme. Jelas dari sisi asasnya, pengelolaan nuklir sebagai sumber energi PLTN kurang aman dari konsep kapitalisme ini.
Belum lagi sistem kapitalis yang meniscayakan investasi swasta serta pinjaman luar negeri untuk pembangunan pembangkit listriknya akan menyebabkan biaya pokok produksi (BPP) listrik membengkak. Hal ini karena kedua instrumen tersebut bersandar kepada ribawi yang mengharuskan pembayaran menjadi berkali-kali lipat karena disertai pembayaran bunga hutang. Bayangkan saja, berapa besar pembengkakan BPP listrik jika menggunakan sistem ribawi dengan tingkat suku bunga 10 persen saja pertahunnya? Biayanya bisa menjadi dua kali lipat lebih tinggi terutama untuk pembangkit listrik tenaga geothermal yang overnight cost-nya paling besar.
Dalam sistem Islam yang mempedomani Al-Qur’an dan sunah dalam segala sendi kehidupan, pengelolaan sumber daya alam dan energi adalah bagian tanggungjawab khalifa. Daulah akan mengatur agar energi termasuk nuklir, bisa berpotensi menyejahterakan rakyat dan memenuhi kebutuhan militernya.
Hal ini tak lepas dari paradigma industri untuk ri’ayatul su’unil ummah, mengurusi urusan umat (Muslim maupun nonmuslim). Hal ini wajib hukumnya dilakukan penguasa Islam dalam mewujudkan Maqashid asy-syaria (gagasan/ tujuan syariah) dalam kepemimpinannya sebagaimana khulafaur rasyidin. Khilafah membangun reaktor-reaktor atom untuk penyediaan sumber energi di dalam negeri, maupun untuk kepentingan-kepentingan non militer lainnya, dengan tetap memperhatikan dampak-dampaknya bagi lingkungan hidup.
Industri nuklir dalam khilafah yang dimaksud, adalah untuk menggerakkan seluruh sendi-sendi perekonomian dan tendensi pembangunan persenjataan nuklir yang kuat adalah untuk menggentarkan musuh-musuh Allah.
Khilafah membangun reaktor-reaktor atom untuk penyediaan sumber energi di dalam negeri, maupun untuk kepentingan-kepentingan non militer lainnya, dengan tetap memperhatikan dampak-dampaknya bagi lingkungan hidup. Serta tidak mengandalkan investor swasta dan asing kecuali menggaji mereka saja sampai batas waktu tertentu. Kemudian mandiri berkembang tanpa intervensi dan pengawasan lembaga internasional. Serta tidak akan rida terikat dengan konvensi dan perjanjian nuklir internasional yang sangat riskan melemahkan Khilafah dan rakyatnya.
Menghasilkan listrik yang bersih, murah dan mencukupi seluruh kebutuhan masyarakat hanya bisa dilakukan oleh negara yang berasas kepada syariah Islam. Sebab, di dalam negara dengan sistem Islam, privatisasi pembangkitan listrik oleh investasi swasta dan asing yang sarat akan praktik ribawi sangat dilarang.
Namun, kebaikan tersebut tidak akan didapatkan jika kita masih bersandar pada ideologi kapitalisme yang sangat sarat ambisi keuntungan dan menguatkan plutokrasi yang kekuasaannya bertumpu pada menambah kekayaan semata. Bukan kemaslahatan bersama.
Namun sadarkah kita, bahwa dalam kapitalisme memang tidak akan memberi solusi yang komprehensif. Ketika kemajuan riset, sains dan teknologi tidak dibarengi dengan kepemimpinan ideologi yang benar, maka rentan mudharat yang diterima umat manusia. Sebaliknya, akan berbeda jika dipimpin dengan sistem politik dan pemerintahan Islam. Kemaslahatan manusia amat diperhatikan dan optimal dalam pelayanan kebutuhan energi rakyatnya dengan tidak bergantung pada perjanjian Internasional seperti paris agreement yang menampakkan ketundukan politik dan pemerintahan negeri ini pada kapitalisme.
Wallahu a'lam bishawab
Oleh: Yeni Arissa, S.STP. dan Dessy P, S. T.
(Sahabat Topswara)
0 Komentar