Topswara.com -- Satu lagi kebijakan pemerintah yang mengundang kontroversi yaitu Permendikbudristek No.30 tahun 2021 yang selanjutnya bernama permen PPKS. Permen PPKS ini mengatur tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi, diteken pada 31 Agustus 2021 dan diundangkan pada 3 September 2021. Namun dalam Permendikbudristek ini ada pasal yang ditengarai bisa menjadi pintu legalisasi zina.
Maka muncullah penolakan dari berbagai macam ormas Islam terkait Permendikbudristek ini. Diantaranya dari Muhammadiyah, PKS dan Majelis Ormas Islam(MOI). Majelis Ormas Islam yang beranggotakan 13 ormas menilai bahwa Permendikbudristek tersebut secara tidak langsung telah melegalisasikan perzinaan. Dengan demikian akan mengubah dan merusak standar nilai moral mahasiswa di kampus yang semestinya perzinaan itu kejahatan malah kemudian dibiarkan (Republika.co, 4/11/2021).
Senada dengan Majelis Ormas Islam, PKS juga tidak setuju dengan aspek "consent" atau konsensual (persetujuan) yang menjadi syarat aktivitas seksual. PKS juga menilai permen PPKS ini tidak mempunyai cantolan hukum (detik.com, 6/ 2021).
Ketua Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Lincoln Arsyad menafsirkan salah satu pasal yang dinilai telah melegalkan perzinaan atau seks bebas di lingkungan kampus. Perumusan norma kekerasan seksual yang diatur dalam pasal 5 ayat 2 yang memuat frasa "tanpa persetujuan korban" dalam Permendikbudristek nomor 30 tahun 2021 mendegradasi substansi kekerasan seksual, yang mengandung makna dapat dibenarkan apabila ada persetujuan korban (consent). (Suara.com, 8/11/2021.
Meski klarifikasi dan bantahan sudah disampaikan oleh Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Riset dan Teknologi. Nizam mengatakan Permendikbudristek nomor 30 tahun 2021 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi bukan produk hukum yang melegalkan seks. Mendikbudristek, Nadiem Makarim juga menyampaikan bahwa aturan tersebut untuk melindungi civitas akademika dari tindak kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus. Tapi adanya frasa "tanpa persetujuan korban" dalam pasal 5 ayat 2 Perrmen PPKS tersebut bisa membuka peluang adanya pelegalan zina. Karena suatu perbuatan seksual akan dibenarkan ketika ada persetujuan korban atau consent.
Memang secara teks formalnya dalam Permendikbud tersebut tidak ada yang menunjukkan secara vulgar tentang pelegalan zina tetapi dengan definisi kekerasan seksual adalah ketika perbuatan tersebut tidak mendapat persetujuan korban. Bukankah bisa dipahami makna sebaliknya bahwa ketika mendapat persetujuan korban maka itu bukanlah kekerasan seksual dan bukanlah suatu pelanggaran hukum sehingga perbuatan tersebut menjadi legal.
Sehingga dengan adanya permen tersebut yang tujuannya adalah melindungi civitas akademika di lingkungan perguruan tinggi dari kekerasan seksual. Justru malah bisa berakibat menyuburkan perbuatan seks bebas selama dilakukan suka sama suka. Permendikbudristek ini semakin menunjukkan bahwasanya pembuat kebijakan tidak memahami akar masalah kekerasan seksual yang banyak terjadi di lingkungan perguruan tinggi.
Masalah kekerasan seksual yang terjadi sebenarnya adalah karena diadopsinya sekularisme oleh bangsa kita. Paham yang memisahkan antara kehidupan beragama dengan kehidupan sehari-hari dimana peran Tuhan dibatasi hanya mengatur urusan agama saja.
Maka muncullah liberalisasi dalam semua aspek kehidupan, manusia berbuat semau mereka selama tidak mengganggu kebebasan orang lain. Termasuk dalam hal interaksi laki-laki dan perempuan tidak ada pengaturan yang jelas. Sehingga mereka boleh melakukan interaksi apapun antara laki-laki dan perempuan atas dasar suka sama suka. Maka kita lihat banyak kemudian laki-laki dan perempuan yang berdua-duaan bercampur-baur tanpa ada aturan yang kemudian membatasi interaksi mereka.
Aktivitas-aktivitas semacam ini bisa menghantarkan kepada pergaulan bebas, seks bebas, kekerasan seksual yang semuanya itu merupakan pintu masuk perbuatan zina. Sebanyak apapun aturan yang di keluarkan untuk menekan kekerasan seksual yang terjadi baik di lingkungan kampus maupun di lingkungan masyarakat secara umum, akan gagal ketika tidak mampu memahami akar dari permasalahan yaitu tidak adanya pembatasan interaksi antara laki-laki dan perempuan.
Ketika permen ini tetap dijalankan maka akan menyuburkan pergaulan bebas di kampus tanpa bisa tersentuh oleh hukum selama dilakukan atas persetujuan. Sehingga tujuan dari pendidikan tinggi untuk menghasilkan agen perubahan, ilmuwan, para cendekiawan yang akan menjadi generasi penerus bangsa akan jauh panggang dari api.
Padahal mayoritas penduduk negeri ini adalah Muslim. Sebagai seorang Muslim segala perbuatan yang dilakukan di dunia ini akan dimintai pertanggungjawaban di sisi Allah SWT. Maka ketika melakukan suatu perbuatan haruslah selalu mengikatkan seluruh perbuatannya dengan aturan-aturan Allah SWT. Tidak kebebasan berperilaku didalam Islam. Allah tegas menyatakan agar kita menjauhi zina, sebagaimana firman Allah dalam Quran surat al-isra ayat 32:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰىٓ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةً ۗوَسَاۤءَ سَبِيْلًا
"Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk".
setiap aktivitas zina atau yang mengantarkan pada zina baik yang dilakukan atas dasar suka sama suka maupun pemaksaan adalah perbuatan yang diharamkan. Maka untuk menghindari aktivitas zina Islam punya seperangkat aturan diantaranya adalah larangan khalwat atau berdua-duaan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram di tempat ramai atau sepi. Larangan ikhtilat atau bercampur baur antara laki-laki dan perempuan, anjuran untuk ghadul bashar (menundukkan pandangan) dan perintah untuk menutup aurat dengan sempurna baik kepada laki-laki maupun perempuan.
Laki-laki dan perempuan boleh melakukan interaksi dalam jual beli, pendidikan dan kesehatan dengan tetap memperhatikan aturan-aturan dalam berinteraksi dengan lawan jenis. Ketika kita menggunakan hukum Allah dalam masalah interaksi antara laki-laki dan perempuan maka kekerasan seksual bisa diminimalisir bahkan dihilangkan.
Namun ketika kita menggunakan hukum buatan manusia yang memiliki keterbatasan yang terjadi adalah perselisihan pro dan kontra. Aturan Islam tidak hanya berfokus kepada bagaimana menghilangkan kekerasan seksual tapi juga mencegah agar celah untuk melakukan aktivitas seksual diluar pasangan yang dihalalkan itu bisa dihilangkan. Ketika ada yang melakukan pelanggaran melakukan aktivitas zina, maka Islam pun punya sanksi yang tegas ketika dia sudah menikah maka akan dihukum dengan rajam dan ketika dia belum menikah maka hukumannya adalah dijilid atau dicambuk.
Dengan adanya aturan yang mencegah terjadinya aktivitas seksual di luar pernikahan dan sanksi yang tegas bagi pelanggarnya akan mampu meminimalisir terjadinya perzinaan yang diharamkan di dalam agama. Sehingga akan terwujud generasi generasi penerus yang menghiasi dirinya dengan akhlak-akhlak islami, menguasai ilmu sains dan teknologi menjadi ilmuwan dan generasi penerus yang mumpuni di masa depan.
Maka masihkah kita berharap kepada hukum buatan manusia yang tidak pernah memberikan solusi tuntas atas setiap permasalahan? Padahal Allah SWT berfirman dalam Quran surat al-maidah ayat 50:
اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ ࣖ
"Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?"
Wallahu a'lam bishawab
Oleh: Ummu Zha
(Sahabat Topswara)
0 Komentar