Topswara.com -- Bulan Oktober lalu, terjadi aksi buruh di depan Balai Kota DKI Jakarta. Mereka menuntut kenaikan UMP 2020 sebesar 10 persen, berlakukan upah minimum sektoral kabupaten/ kota, dan mencabut UU Omnibus Law atau UU Cipta Kerja.
Walaupun UU Cipta Kerja ini masih menjadi sengketa di Mahkamah Konstitusi, namun munculnya PP no 36 tahun 2021 tentang pengupahan turunan dari undang undang cipta kerja. Dalam peraturan ini, ditetapkan adanya kenaikan upah minimum pekerja di Indonesia tahun 2022 naik 1,09 persen. Kenaikan ini berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS).
Tentu saja, kebijakan ini menuai penolakan dari para buruh, naik 10 persen saja belum tentu mencukupi biaya hidup yang semakin mahal karena inflasi. Inilah yang melatarbelakangi mereka akan melakukan aksi lebih besar lagi sebelum kebijakan ini mulai berlaku di bulan Januari. Untuk gambaran perbandingan, UMP DKI Jakarta tahun lalu sebesar Rp 4.416.186 per bulan dengan biaya hidup 4,86 juta per bulan (single akan berbeda dengan yang sudah berumahtangga).
Biaya ini meliputi tempat tinggal, konsumsi, transportasi, biaya komunikasi, kebutuhan bulanan, dan biaya life style. Adapun tabungan dan dana mendesak bisa diperoleh dari uang lembur atau bonus kerja.
Untuk tahun ini, UMP DKI Jakarta sebesar Rp 4.453.724 dan tertinggi di Indonesia. Itu saja para pekerja harus pandai mengatur pemasukan, apalagi daerah lain yang lebih kecil? Mengingat kenaikan harga pangan, kesehatan, pendidikan tidak pilih pilih tempat. Harga minyak goreng saat ini naik merata di seluruh pelosok negeri. Upah minimum hanya sebatas untuk bertahan hidup. Masih ada kebutuhan lain yang sama sama penting selain makan. Belum lagi gaya hidup lain seperti refreshing mengusir lelah dan jenuh bekerja.
Untuk menutupi semua, banyak pegawai yang kerja lembur atau mencari bisnis sampingan demi pundi pundi tabungan cepat terkumpul agar bisa meningkatkan taraf kesejahteraan. Siapa yang tidak ingin sejahtera? Rumah nyaman milik sendiri, kendaraan, kepastian kerja.
Besar kecil upah yang didapat tidak akan membuat pekerja pusing tujuh keliling jika saja negara benar-benar mengurusi kebutuhan rakyatnya. Pekerja nyaman kerja sesuai kemampuannya. Gaji yang didapat bisa dikelola dengan baik. Tanpa dipikirkan masalah biaya pendidikan anak, bayar jasa konsultasi dokter saat ada keluarga yang sakit. Ditambah banyaknya pungutan pajak. Perusahaan pun sama, dia tidak banyak dituntut negara. Butuh keseriusan pemerintah mengatasi hal ini. Kesungguhan melepaskan diri jerat penjajahan atas nama demokrasi.
Sejak negeri ini menerapkan demokrasi, perusahaan multinasional diundang masuk atas nama investasi. Padahal sejatinya penguasaan dan eksploitasi kekayaan alam untuk kepentingan mereka. Jika kekayaan alam dikelola dengan benar dan menjadi milik negara, tentu hasilnya memenuhi kebutuhan rakyatnya. Hasil kekayaan mineral saja sudah lebih dari cukup. Tapi apalah dikata, semuanya sudah berbendera asing.
Inilah fakta permasalahan yang terus berulang di bawah naungan sistem perekonomian kapitalisme. Dalam sistem kapitalisme, penetapan UMP berdasarkan pada Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang terdiri dari beberapa komponen kebutuhan hidup yang amat sederhana dan hanya cukup untuk memenuhi standar hidup paling minimal dari masyarakat.
Berbedanya biaya hidup di masing-masing daerah, menjadikan adanya perpedaan upah minimal. Jadi jika suatu wilayah mendapatkan UMP yang tinggi belum tentu memberikan kesejahteraan pada buruh tersebut karena diimbangi dengan biaya hidup yang lebih mahal pula di daerah tersebut.
Kesalahan yang lebih mendasar lagi dalam kapitalisme, jasa pekerja tidak dibayar sesuai dengan manfaat jasa yang dikeluarkan pada masing-masing pekerjaan. Jadi hanya dipukul rata berdasarkan besaran wilayah saja.
Berbeda dengan sistem Islam. Islam menetapkan mekanisme ijarah dalam pengupahan. Islam menetapkan besaran upah buruh diukur berdasarkan manfaat yang diberikan dari tenaga pekerja, bukan kebutuhan hidup paling minimum. Hal tersebut akan meminimalisir adanya potensi eksploitasi buruh oleh para pengupah.
Jadi sebelum buruh mulai bekerja, akan disepakati dulu secara terbuka terkait dengan upah yang akan diberikan. Detail pekerjaan serta lamanya jasa tersebut dimanfaatkan oleh pengupah.Yang lebih penting lagi, sistem Islam tidak akan menilai standar kesejahteraan berdasarkan perhitungan pendapatan per kapita karena hal tersebut sama sekali tidak mengagambarkan taraf kehidupan masyarakat sesuai realita. Namun, sistem Islam dalam naungan khilafah akan memastikan bahwasanya setiap individu telah terpenuhi kebutuhan pokoknya.
Inilah sejatinya kesejahteraan dari penerapan Islam secara kaffah dalam naungan khilafah yang dapat dirasakan oleh semua kalangan masyarakat. Yang telah terbukti keberhasilannya dalam mengurus urusan umat disemua aspek kehidupan.
Wallahu a'lam bishawab
Oleh: M. Vidya Anggreyani, S.I.Kom.
(Sahabat Topswara)
0 Komentar