Topswara.com -- Lagi dan lagi, satu per satu kasus terkuak berawal dari pinjol (pinjaman online) menjadi aneka kasus lainnya. Di antaranya ada kasus seorang istri yang melakukan bunuh diri. Ada pula yang baru-baru ini terjadi kasus seorang ibu sampai menipu, mengaku dibegal padahal hanya siasat agar terbebas dari jeratan tuntutan penagih pinjol. Semua itu bertumpu pada satu masalah, yaitu ketidaksanggupan untuk mengembalikan uang pinjaman dan malu diteror penagih utang.
Sebenarnya, pinjaman online adalah salah satu bentuk kemajuan teknologi, terutama bisa dirasakan oleh orang-orang yang tak tersentuh oleh perbankan. Melalui Financial Technology (Fintech) konsep loan atau pinjaman secara umum dibawa dengan mudahnya ke publik oleh fintech lender menggunakan jaringan internet.
Bagi seseorang yang sedang terdesak suatu kebutuhan, atau menginginkan suatu barang dengan cepat, pinjaman online ini seolah bisa menjadi solusi. Proses pengajuannya juga terbilang mudah dan cepat.Dilansir dari laman cbncindonesia.com, persyaratan transaksi pinjaman online cukup bermodal KTP dan pendaftaran online (melalui website atau aplikasi ponsel), lalu pinjaman senilai Rp500.000 hingga Rp20 jutasudah cair.
Namun, mereka seolah melupakan persyaratan lain yang membahayakan, yaitu akses penuh terhadap data pribadi (nomor handphone bahkan koleksi foto) dan suku bunga yang sangat tinggi, sampai 1 persen per hari. Bayangkan jika tidak mengembalikan uang pinjaman selama 1 bulan, maka bunga berkembang mencapai angka 30 persen.
Walaupun demikian, banyak masyarakat yang tertarik dengan pinjaman online ini, tanpa melihat bahaya dan unsur riba di dalamnya. Apalagi penduduk Indonesia sebagian besar Muslim tapi riba seakan dibolehkan. Fenomena ini sungguh memprihatinkan. Ternyata, pinjol ini dilegalkan, bagi mereka yang mendaftarkan perusahaannya ke OJK. Berdasarkan laman finansial.bisnis.com, sampai dengan 8September 2021, total jumlah penyelenggara fintech P2P (peer-to-peer) terdaftar dan berizin sebanyak 107 perusahaan. Dan masih banyak lagi yang ternyata ilegal.
Sebenarnya Islam sudah mengatur bagaimana bertransaksi, bahkan lebih detail pada barang-barang ribawi, salah satunya emas, perak dan uang (sebagai alat sah pembayaran pengganti emas dan perak).
“Emas ditukarkan dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum (al-burru bil burri), jewawut dengan jewawut (asy-sya’ir bi asy-sya’ir), kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus sama takarannya (mitslan bi mitslin sawa’an bi sawa’in) dan harus dilakukan dengan kontan (yadan bi yadin). Dan jika berbeda jenis-jenisnya, maka juallah sesukamu asalkan dilakukan dengan kontan (yadan bi yadin)” (HR Muslim no. 1587)
Dari hadits diatas, jelaslah dalam bertransaksi dengan uang sebagai alat pembayaran tidak boleh mengambil kelebihan, walaupun sebagai hadiah. Hal itu dikuatkan lagi dengan hadits riwayat Bukhari, “Jika seseorang memberi pinjaman (qardh), janganlah dia mengambil hadiah.”
Karena menurut bahasa, setiap tambahan (ziyadah) itu adalah riba. Dan menurut istilah syari’ah, “Riba adalah setiap tambahan bagi salah satu pihak yang berakad dalam akad pertukaran, tanpa ada pengganti, atau riba adalah tambahan sebagai pengganti dari waktu.” (Abdul Aziz al-Khayyath, Asy-Syarikat, 2/168).
Dalam Qur’an surahal-Baqarah ayat 275, “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata, sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Jauhnya pemahaman kaum Muslimin terhadap dalil-dalil diatas dan mudahnya tergiur pinjaman yang berbasis ribawi, merupakan salah satu bukti lemahnya penjagaan pemerintah terhadap terpeliharanya Akidah. Bahkan juga lalainya pemerintah terhadap terpeliharanya harta, karena sistem pinjol yang melipatgandakan pengembalian pinjaman justru malah menjerat alih-alih memberikan solusi.
Dengan kata lain, sistem pemerintahan dan pemimpin yang berkuasa saat ini, sedikit menggambarkan ketidakpahaman atas syariat Islam sehingga lahirlah kebijakan-kebijakan yang sangat jauh dari solusi Islam dalam setiap pemecahan permasalahan kehidupan.
Masyarakat seolah diberi teladan yang sangat baik dari pemimpinnya, bagaimana mencari solusi dari mengembalikan pinjaman dengan melakukan pinjaman baru. Sehingga cara-cara seperti ini, sudah pasti dianggap oleh masyarakat sebagai solusi bagi permasalahan kehidupan mereka, ekonomi khususnya. Dan lagi-lagi, masyarakat yang minim ilmu tentang muamalah Islam, banyak yang terjebak mendapatkan solusi semu yang ditawarkan oleh pihak-pihak yang hanya mementingkan materi dan keuntungan semata.
Disinilah pentingnya diri ini membekali ilmu, disetiap sudut interaksi dan hubungan dengan sesama manusia, termsuk muamalah. Agar, jika sebuah sistem yang melindungi diri kita dari pemeliharaan akidah dan harta belum diterapkan secara sempurna, kita menjadi wajib mencari ilmunya, mengamalkannya dan mendakwahkannya agar lebih banyak lagi masyarakat yang tercerahkan oleh solusi-solusi yang dibawa oleh Islam ke dalam kehidupan.Wallahu’alam bi shawab
Oleh: Haryani Chotijah
Anggota Komunitas Muslimah Menulis Depok
0 Komentar