Topswara.com -- Baru-baru ini pemerintah tengah mencanangkan program pembukaan kembali sektor pariwisata untuk wisatawan mancanegara. Setelah beberapa waktu lalu ditutup karena tingginya kasus Covid-19 di tanah air.
Dalam sebuah kesempatan di Sidang Majelis Umum PBB ke 76 di New York pada Jumat (24/9/2021), Menteri Luar Negeri Retno Marsudi meminta petinggi negara sahabat untuk menghapus Indonesia dari daftar merah perjalanan.
Dalam sidang tersebut, ia mengatakan sudah melakukan pembahasan dengan 18 negara guna membahas beberapa isu. Salah satunya terkait penanganan Covid-19. Dia mengatakan, situasi Covid-19 di Indonesia sudah semakin membaik karena berbagai upaya yang dilakukan pemerintah. Baik berupa vaksinasi maupun aturan terkait protokol kesehatan, sehingga positivity rate di Indonesia jauh lebih baik yang berada dibawah rata-rata 2 persen. Hal ini dibawah standar WHO sebesar 5 persen, dimana sebelumnya sempat mencapai titik 31 persen.
Untuk itu secara khusus, Retno menyampaikan terhadap beberapa negara yang masih menerapkan red list atau daftar merah larangan masuk bagi WNI, untuk segera dicabut. Dia pula mencontohkan seperti negara Perancis yang sudah mengeluarkan Indonesia dari red list.
Hal senada pula diutarakan Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati. Ia mengharapkan para Duta Besar Republik Indonesia yang bertugas di negara-negara anggot ASEAN dapat turut mempromosikan Wisata Bali karena dinilai sudah sangat siap menerima kunjungan wisatawan mancanegara.
Pendapatan Sektor Pariwisata
Dilansir dari Laporan Kinerja Kementrian Pariwisata tahun 2018, kontribusi sektor pariwisata terhadap Pendapatan Domestik Bruto(PDB) hanya 5,25 persen. Di tahun yang sama, realisasi investasi sektor ini mencapai USD 1,6 miliar atau 80,43 persen dari target yang dicanangkan USD 2 miliar.
Meski demikian, sumber devisa dari sektor pariwisata terus meningkat mencapai Rp 229,5 triliun atau meningkat 15,4 persen secara tahunan. Peluang ini menyerap tenaga kerja mencapai 12,7 juta orang atau 10 persen dari total penduduk Indonesia.
Di tahun 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah kunjungan wisatawan asing ke Indonesia sebesar 16,1 juta atau meningkat 1,88 persen. Namun karena dampak pandemi Covid-19, sektor ini mengalami pukulan. Guna mengantisipasi penyebaran virus, pemerintah menutup akses pariwisata warga asing hingga menyebabkan tingkat okupansi hotel merosot.
Di Bali contohnya, penutupan ini menyebabkan okupansi hotel anjlok 60-80 persen.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) yang pada saat itu dijabat oleh Wishnutama menaksir kerugian sektor pariwisata RI hingga USD 4 miliar atau sekitar Rp 54,6 triliun selama setahun. Sekitar USD 2,8 miliar atau sekitar Rp 38,2 triliun diantaranya berasal dari wisatawan Cina.
Bank Dunia juga mereferensi World Travel and Tourism Council bahwa setiap satu juta dollar yang di belanjakan untuk sektor travel dan pariwisata bisa mendukung 200 lapangan kerja dan USD 1,7 juta PDB bagi Indonesia (World Bank 2016).
Longgarnya Syarat Pariwisata di Masa Pandemi
Menurut Menteri Pariwisata RI (2016) Arif Yahya, pariwisata adalah sektor penyumbang PDB, devisa dan lapangan kerja yang paling mudah dan murah. Karena itu menurutnya tidak salah jika Presiden Joko Widodo menempatkan pariwisata sebagai core economy bangsa kedepan. Karena itu pula Kementerian dan lembaga wajib mensupport pariwisata untuk menuju target spektakuler 20 juta wisman di tahun 2019.
Pemerintah juga tengah terus memikirkan strategi Pemilihan Ekonomi Nasional(PEN) di tengah pendemi dengan sejumlah kebijakan. Namun pembahasan utama difokuskan pada upaya mendorong sektor pariwisata agar bisa segera pulih.
Dikutip dari Siaran Pers Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, pemerintah telah menggelontorkan dana hibah pariwisata untuk hotel dan restoran. Pada tahun 2020 tercatat sebesar Rp 3,3 triliun. Dilanjutkan berbagai program stimulus seperti subsidi bunga, restrukturisasi kredit dan KUR Pariwiaata, hingga pelonggaran syarat masuknya para wisman di tengah pandemi.
Tipumuslihat Kebijakan
Jika kita lihat fakta diatas, tercatat sektor pariwisata telah menyumbang PAD maupun devisa negara. Sehingga membuat banyak pihak terutama pemerintah berusaha keras untuk mengembangkan sektor ini dengan berbagai kebijakan untuk menarik perhatian para wisatawan.
Pariwisata dianggap sebagai penyelamat ekonomi nasional ditengah terjangan pandemi Covid-19 yang kian memperburuk perekonomian nasional. Namun jika diteliti lagi, benarkah pariwisata bisa mengentaskan kemiskinan?
Dari data BPS melaporkan jumlah penduduk miskin pada bulan Maret 2021 mencapai 27,54 juta orang. Jumlah ini hanya menurun tipis 0,01 juta orang dibanding September 2020, yang jumlah penduduk miskin naik 1,12 juta orang.
Kemiskinan akibat pengangguran sebagai dampak pemutusan kerja karena pandemi menjadi penyumbang naiknya angka kemiskinan. Belum lagi ditambah masalah gizi buruk (stunting) pada balita dana anak-anak, hingga Indonesia tercatat masuk dalam daftar negara dengan status gizi buruk versi WHO.
Ternyata slogan pariwisata penyelamat ekonomi nasional hanya mantera menipu. Dari tahun ke tahun masalah kemiskinan dalam sistem kapitalis sudah menjadi hal lumrah di tiap negara. Kemajuan teknologi dan fasilitas tidak serta merta berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyat. Lalu, untuk siapa penghapusan daftar red list di sektor pariwisata?
Dalam sistem ekonomi kapitalis, bukan hal baru jika pemilik modallah yang memegang peranan utama. Negara hanyalah bertindak sebagai instrumen penyeimbang dan tidak bisa mengintervensi penuh atas penguasaan hajat hidup. Namun dewasa ini, aroma kapitalis neolib semakin tercium. Semakin menggeser peran negara sebagai penyeimbang. Negara sekadar menjadi regulator kebijakan-kebijakan pesanan mereka. Tak jarang juga pelaku pengusaha ini merambah sebagai pemangku jabatan.
Kapitalisme tidak bisa dilepaskan dari politik demokrasi. Slogan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat membuka peluang masuknya para plutocrat secara leluasa menguasai dan mengeksploitasi aset-aset strategis dan SDA yang seharusnya dipergunakan untuk kemaslahatan rakyat.
Dengan cara pandang antroposentris yang dicetuskan Aristoteles sebagai bapak demokrasi, ia memandang bahwa manusia adalah makhluk yang paling istimewa yang karena hal tersebut. Ia memandang alam hanya sebagai pemenuhan kebutuhan, sehingga bebas untuk mengeksploitasinya.
Inilah yang menjadi salah satu dasar pemikiran kapitalisme.
Dengan asas sekularisme yang memisahkan aturan agama (Islam) dari kancah perpolitikan yang membentuk mental menghalalkan segala cara demi meraih pundi-pundi cuan.
Tak heran mengapa ketika berbicara demokrasi, seketika kita menjadi maklum dengan segala jenis permainan uang dan para kapital. Korupsi seolah menjadi mental para pejabatnya.
Seperti halnya permintaan penghapusan red list pada sektor pariwisata, serta pelonggaran syarat masuknya wisman. Bukankah bisa memicu penularan varian virus baru?
Apalagi di negara asal wisman juga belum bebas dari Covid-19, bahkan berkembang banyak varian virus baru.
Jadi sangat jelas bahwa rangkaian kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk menarik masuk wisman bukanlah untuk kepentingan ekonomi mayoritas rakyat. Tetapi hanya menguntungkan segelintir pebisnis (konglomerasi hotel-pengelola tempat wisata). Rakyat kecil hanya sebagai penyokong tenaga kerja yang siap dibayar murah.
Pariwisata Dalam Islam dan Pengaturan Pendapatan
Watak kapitalis akan selalu senantiasa mencari keuntungan materi sebanyak-banyaknya.
Negara yang menerapkan ekonomi kapitalis hanya akan menempatkan kesejahteraan rakyat pada mekanisme pasar bebas. Otomatis yang ada hanyalah orang-orang kuat yang bisa berkuasa.
Begitu pun dengan politiknya, semboyan dimana rakyat menempatkan wakil-wakilnya di Parlemen hanyalah kedok yang menipu.
Buktinya, mereka para pemangku jabatan wakil rakyat selalu dari petahana yang siap loyal mengabdi pada kepentingan konglomerat. Memperkaya diri dan dinasti. Inilah mengapa kemiskinan tak pernah bisa dituntaskan.
Meskipun saat pendemi, mereka tak mau kehilangan pundi-pundi cuan walaupun resiko kesehatan bahkan nyawa menjadi korban.
Berbeda halnya dengan Islam. Ketika Islam diterapkan sebagai sistem yang mengatur kehidupan, maka akan tampak sebuah tatanan hidup yang benar dan sesuai fitrahnya manusia. Karena islam adalah suatu aturan yang datangnya dari wahyu Tuhan semesta alam.
Negara yang menerapkan Islam secara kaffah adalah negara dakwah yang akan membentuk pribadi-pribadi rakyat dan pejabat menjadi pribadi yang bertakwa. Islam juga akan lebih mengutamakan kesehatan dan keselamatan manusia terlebih dahulu. Firman Allah SWT:
ومن احيا ها فكان ما احيا الناس جميعا
Artinya: .., barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia,..
[QS. al- Maidah [5]: 32]
Sumber pendapatan negara pun bukan dari sektor pariwisata. Dalam kitab al Amwal fi Daulati al Khilafah, sumber pendapatan tetap negara ialah fa'i, jizyah, kharaj, usyur, harta haram pejabat, harta orang yang tidak memiliki ahli waris dan harta orang murtad.
Kemudian ada sumber pendapatan yang bersifat umum, seperti segala jenis SDA yang pengurusannya dikelola oleh negara untuk kemaslahatan rakyat. Seperti hadis Rasulullah SAW : "Kaum muslimin itu berserikat dalam tiga perkara, yaitu air, padang gembalaan dan api. Menjualnya adalah haram. (HR.Ibnu Majah)
Islam juga mengatur tentang pariwisata. Segala jenis keburukan yang melekat pada kehidupan sekular liberal akan dihilangkan seperti miras, berkhalwat, prostitusi, dan segala jenis keburukan yang bisa ditimbulkan.
Dalam tulisan KH. Hafidz Abdurrahman, prinsip negara yang menerapkan Islam kaffah akan menutup semua celah terjadinya kemaksiatan termasuk sektor pariwisata. Objek wisata berupa keindahan alam dan tempat-tempat bersejarah islam akan dijadikan sebagai sarana dakwah dan di'ayah (propaganda) menanamkan pemahaman Islam dan pengagungan kepada Allah SWT sebagai Zat yang menciptakan keindahan alam. Baik kepada Muslim maupun nonmuslim.
Negara Islam juga tidak membuka celah bagi para segelintir orang kaya untuk memprivatisasi sumber kekayaan alam yang diberikan Allah SWT untuk seluruh umat manusia. Karena khalifah dan para pejabat sangat sadar bahwa jabatan adalah sebuah amanah yang akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT.
Tidak seperti saat ini, SDA mengalir ke kantong-kantong para pemilik modal lewat hubungan simbiosis mutualisme dengan para pejabat yang memuluskan segala bentuk regulasi dan kebijakan yang menguntungkan mereka.
Sudah saatnya umat Islam mengupayakan sebuah perubahan kearah Islam kaffah.
Agar bumi yang kita tinggali menjadi bumi yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
Wallahu a'lam bishawwab
Oleh: Anggia Widianingrum
Sahabat Topswara
0 Komentar